JAKARTA yang terik siang itu tiba-tiba diperciki hujan
rintik-rintik. Tapi di Jalan Pos, Pasar Baru Jakarta
Pusat--tepat di bawah jembatan penyeberangan di depan Kantor Pos
Pusat--kesibukan tahunan tak terhenti. Duduk di bangku pendek,
beberapa orang lelaki dirubung oleh sejumlah anak muda yang
berseragam sekolah. Pelajar-pelajar itu sedang memesan kartu
Natal.
"Ini pekerjaan sambilan," kata Ismail Kelana R.S., 28
tahun, lelaki kelahiran Batusangkar, Sum-Bar, yang telah 6 tahun
mangkal di situ. Tiap hari, mulai pukul 10 pagi ia sudah
nongkrong menunggu langganan yang memesan kartu ucapan selamat:
selamat lebaran ulang tahun seseorang dan kartu Natai serta
Tahun Baru seperti pada hari-hari menjelang tutup tahun seperti
sekarang. Untuk setiap lembar kartu berukuran 9 x 19 cm (Ismail
memasang tarif Rp 250. Sedangkan untuk kartu Natal yang
berukuran 14 x 21 cm, uang jasa nya sampahRp 3 50.
"Semoga Natal membawa kedamai an di hatimu dan Tahun Baru
membawa kesuksesan dalan hidupmu," tulis Ismail pada kartu itu.
Huruf-hurufnya dibuat seindah mungkin. Kadangkala ia harus
menulis beberapa buah baris yang dikutip dari sebuah sajak.
"Anakanak muda senang puisi," jarnya. Itu sebabnya kalau lewat
di toko buku, matanya selalu awas melirik ke arah kumpulan
puisi. Sajak Chairil Anwar antara lain termasuk pernah
dikutipnya. Yang lain ia tak ingat lagi. "Pokoknya puisi yang
bernada cinta," kata Ismail sambil tersenyum.
Ingin Berpameran
Berbeda dengan anak muda, orangtua selalu memesan kartu
dengan katakata sederhana. Paling banter, "tidak bisa pulang,
cukup kartu ini sebagai pengganti," kata lsmail menirukan pesan
kartu golongan ini.
Pada bulan Ramadhan ia juga dapat pesanan menulis di kartu
yang bergambar masjid.
Ismail tinggal di Sanggar Monas di Arena Jakarta Fair.
Setiap malam ia melukis kartu-kartu itu. Sendirian. Modalnya
hanya beberapa poster color dan satu set cat air dengan
warna-warna cerah. Sebuah gunting dan dua pena. Kertasnya ia
beli di Pasar Jatinegara, Rp 800 per kilo--diambil dari
kertas-kertas potongan. Setiap hari rata-rata ia bisa menjual
25 kartu. "Paling enak lebaran lalu," katanya menjelaskan.
Waktu itu dagangannya laku kcras, tak kurang dari Rp 75 ribu
keuntungan berhasil disisihkannya.
Ismail yang suka memakai topi baret ini awalnya adalah
tamatan STM Negeri Padangpanjang jurusan Mesin. Tetapi rupanya
darah seninya lebih berkuasa. Ia bercita-cita menjadi pelukis
dan sekali tempo bisa berpameran di Taman Ismail Marzuki (TIM).
Pada 1978, ia masih tampak di Pasar Seni Anco', sebagai
pelukis potret. Tetapi kemudian setelah menghitunghitung, ia
memilih jadi pembuat kartu di pinggir jalan. "Lebih bebas di
sini," katanya memberikan alasan. Kini sebulan 2 kali ia
melangkah ke TIM melihat-lihat pameran lukisan untuk mencari
perbandingan.
Kalau bukan Natal, lebaran atau Tahun Baru, rezeki Ismail
memang seret. Di saat-saat begini ia mengharap banyak orang
kawln dan memesan kartu kepadanya. Kalau Ismail ketiban pesanan
undangan kawin, tarifnya melonjak jadi Rp 3000. "Memang mahal,
sebab harus hati-hati, karena harus dicetak," katanya.
Tak jauh dari tempat Ismail membuka "praktek", terlihat
Medy Darmo sedang sibuk meladeni pemesan. Ayah dari 4 anak ini
menjadi koordinator para pelukis yang tergabung dalam (arpos
(Sanggar Pos). Sebuah sanggar yang mewajibkan para anggotanya
membayar iuran Rp 100 per minggu. Dana itu dikumpulkan untuk
cadangan apabila salah seorang anggota tertimpa musibah, jadi
tak bisa kerja--sakit misalnya.
Darmo sudah 11 tahun mematok dirinya di situ. Ketika ia
memulai karirnya, tim penertib DKI dan DLLAJR masih sedang
galak-galaknya. Kini, kata sepakat telah didapat, sehingga para
seniman kartu dengan damai dapat beroperasi menjelang peralihan
tahun .
Karena banyak makan garam, Darmo juga sudah punya sikap dan
bisa menghargai profesinya. Pada suatu kali misalnya, ia
berhadapan dengan seorang dokter. Orang itu datang dengan
pakaian rapi, minta dibuatkan undangan pernikahan. Untuk 100
buah undangan, Darmo minta jasa Rp 7.500. Tawar menawar terjadi.
Dokter itu bersikeras hanya mau membayar Rp 3000. "Saya
menolak," kata Darmo mengenang peristiwa itu. Dokter itu, entah
jengkel, atau karena iseng saja, kemudian nyeletuk, "Masa
menulis saja kok mahal benar." Darmo scgera menjawab, "Kalau
bapak sebagai dokter saya bayar murah, mau nggak? Kan sama-sama
punya keahlian?"
Tentang hari depan, Darmo sudah sejak lama berpikir membuat
sebuah biro iklan. Keinginan tersebut mungkin makin menggebu,
karena menjelang munculnya tahun 1981 ini pemesan sepi. Yang
lumayan adalah lebaran tahun lalu--selama 3 minggu, setiap hari
200 buah kartunya terjual. "Yah lumayan untuk membesarkan
anak-anak saya," kata Darmo mengomentari profesinya. kini.
Darmo pernah bekerja sebagai pelukis relief. Selama satu
bulan ia dilatih menulis huruf indah. Tapi ia juga dikenal para
langganannya memiliki keahlian lain, yaitu menulis surat cinta.
Dalam satu jam ia mengaku dapat menyelesaikan 2 buah surat.
"Saya sudah bisa di luar kepala kalau bikin rayuan gombal,"
katanya dengan serius. Surat-surat ini ternyata punya langganan
tetap, terutama anak-anak muda.
Profesi menulis surat cinta, memang merupakan bagian
kesibukan di antara para penulis kartu di sepanjang jalan itu.
Ahlinya selain Darmo ada beberapa. Antara lain Ripto Rifai, yang
berwajah penuh berewok. Lulusan SMA Sos-Bud Ambarawa ini,
termasuk orang baru debutnya mulai Juni yang lalu. Tapi
langganannya sudah banyak. Mungkin karena surat cinta terkadang
harus disertai bunga-bunga kata yang tidak semua orang mampu
merangkainya menjadi surat yang penuh cumbu rayu.
Untuk menulis sebuah surat cinta, Ripto meminta jasa Rp
2000. Langganannya terdiri dari pelajar, jandajanda muda yang
ingin bercinta lewat surat, bahkan termasuk juga bapak-bapak.
Seorang langganan cukup datang dan menjelaskan apa yang
diinginkannya. Kemudian Ripto akan menuliskan konsep. Kalau ada
persetujuan, transaksi dilaksanakan.
Tak jarang, apabila langganannya itu kemudian menerima
balasan --muncul lagi, untuk memesan surat lanjutannya. Bahkan
ada yang kemudian berhasil menjadi pengantin setelah
surat-suratan. Pada suatu kali misalnya, ia dapat langganan,
seorang wanita berusia 25 tahun. Wanita itu menceritakan
nasibnya sambil menangis, bahwa ia ditinggal pacarnya, lari
dengan gadis lain. Wanita yang patah hati itu kemudian minta
dibuatkan surat yang berisi penjelasan bahwa ia akan bunuh diri
karena ditinggal pergi. "Saya terkejut," kata Ripto
mengenangkan. Mula-mula ia ragu, tetapi setelah wanita itu
menjelaskan, iapaham bahwa itu hanya ujian mental. "Tapi saya
betul-betul kaget, kalau ia benar-benar bunuh diri, kan saya
ikut berdosa," kata Ripto.
Tentu saja tidak tiap hari ada orang bercinta. Sering Ripto
dapat pekerjaan untuk menulis ijazah. Bahkan ada sebuah
universitas swasta yang menjadi langganannya. Kadangkala ia juga
harus menulis untuk sebuah piagam penghargaan. Untuk itu ia
hanya mengenakan tarif Rp 1000. Lebih murah memang. "Tanggung
jawabnya tipis dan tidak usah mikir susah-susah," kata Ripto
sambil menunjuk sebuah surat cinta di tasnya yang akan segera
diambil oleh seorang yang rupanya sedang kena panah asmara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini