Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Surat Cinta Di Pinggir Jalan

Suka duka (pengalaman) pembuat kartu hari raya natal atau lebaran banyak diminati anak-anak muda. mereka mangkal antara lain di jalan pos, jakarta pusat, dan di sanggar monas.

27 Desember 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA yang terik siang itu tiba-tiba diperciki hujan rintik-rintik. Tapi di Jalan Pos, Pasar Baru Jakarta Pusat--tepat di bawah jembatan penyeberangan di depan Kantor Pos Pusat--kesibukan tahunan tak terhenti. Duduk di bangku pendek, beberapa orang lelaki dirubung oleh sejumlah anak muda yang berseragam sekolah. Pelajar-pelajar itu sedang memesan kartu Natal. "Ini pekerjaan sambilan," kata Ismail Kelana R.S., 28 tahun, lelaki kelahiran Batusangkar, Sum-Bar, yang telah 6 tahun mangkal di situ. Tiap hari, mulai pukul 10 pagi ia sudah nongkrong menunggu langganan yang memesan kartu ucapan selamat: selamat lebaran ulang tahun seseorang dan kartu Natai serta Tahun Baru seperti pada hari-hari menjelang tutup tahun seperti sekarang. Untuk setiap lembar kartu berukuran 9 x 19 cm (Ismail memasang tarif Rp 250. Sedangkan untuk kartu Natal yang berukuran 14 x 21 cm, uang jasa nya sampahRp 3 50. "Semoga Natal membawa kedamai an di hatimu dan Tahun Baru membawa kesuksesan dalan hidupmu," tulis Ismail pada kartu itu. Huruf-hurufnya dibuat seindah mungkin. Kadangkala ia harus menulis beberapa buah baris yang dikutip dari sebuah sajak. "Anakanak muda senang puisi," jarnya. Itu sebabnya kalau lewat di toko buku, matanya selalu awas melirik ke arah kumpulan puisi. Sajak Chairil Anwar antara lain termasuk pernah dikutipnya. Yang lain ia tak ingat lagi. "Pokoknya puisi yang bernada cinta," kata Ismail sambil tersenyum. Ingin Berpameran Berbeda dengan anak muda, orangtua selalu memesan kartu dengan katakata sederhana. Paling banter, "tidak bisa pulang, cukup kartu ini sebagai pengganti," kata lsmail menirukan pesan kartu golongan ini. Pada bulan Ramadhan ia juga dapat pesanan menulis di kartu yang bergambar masjid. Ismail tinggal di Sanggar Monas di Arena Jakarta Fair. Setiap malam ia melukis kartu-kartu itu. Sendirian. Modalnya hanya beberapa poster color dan satu set cat air dengan warna-warna cerah. Sebuah gunting dan dua pena. Kertasnya ia beli di Pasar Jatinegara, Rp 800 per kilo--diambil dari kertas-kertas potongan. Setiap hari rata-rata ia bisa menjual 25 kartu. "Paling enak lebaran lalu," katanya menjelaskan. Waktu itu dagangannya laku kcras, tak kurang dari Rp 75 ribu keuntungan berhasil disisihkannya. Ismail yang suka memakai topi baret ini awalnya adalah tamatan STM Negeri Padangpanjang jurusan Mesin. Tetapi rupanya darah seninya lebih berkuasa. Ia bercita-cita menjadi pelukis dan sekali tempo bisa berpameran di Taman Ismail Marzuki (TIM). Pada 1978, ia masih tampak di Pasar Seni Anco', sebagai pelukis potret. Tetapi kemudian setelah menghitunghitung, ia memilih jadi pembuat kartu di pinggir jalan. "Lebih bebas di sini," katanya memberikan alasan. Kini sebulan 2 kali ia melangkah ke TIM melihat-lihat pameran lukisan untuk mencari perbandingan. Kalau bukan Natal, lebaran atau Tahun Baru, rezeki Ismail memang seret. Di saat-saat begini ia mengharap banyak orang kawln dan memesan kartu kepadanya. Kalau Ismail ketiban pesanan undangan kawin, tarifnya melonjak jadi Rp 3000. "Memang mahal, sebab harus hati-hati, karena harus dicetak," katanya. Tak jauh dari tempat Ismail membuka "praktek", terlihat Medy Darmo sedang sibuk meladeni pemesan. Ayah dari 4 anak ini menjadi koordinator para pelukis yang tergabung dalam (arpos (Sanggar Pos). Sebuah sanggar yang mewajibkan para anggotanya membayar iuran Rp 100 per minggu. Dana itu dikumpulkan untuk cadangan apabila salah seorang anggota tertimpa musibah, jadi tak bisa kerja--sakit misalnya. Darmo sudah 11 tahun mematok dirinya di situ. Ketika ia memulai karirnya, tim penertib DKI dan DLLAJR masih sedang galak-galaknya. Kini, kata sepakat telah didapat, sehingga para seniman kartu dengan damai dapat beroperasi menjelang peralihan tahun . Karena banyak makan garam, Darmo juga sudah punya sikap dan bisa menghargai profesinya. Pada suatu kali misalnya, ia berhadapan dengan seorang dokter. Orang itu datang dengan pakaian rapi, minta dibuatkan undangan pernikahan. Untuk 100 buah undangan, Darmo minta jasa Rp 7.500. Tawar menawar terjadi. Dokter itu bersikeras hanya mau membayar Rp 3000. "Saya menolak," kata Darmo mengenang peristiwa itu. Dokter itu, entah jengkel, atau karena iseng saja, kemudian nyeletuk, "Masa menulis saja kok mahal benar." Darmo scgera menjawab, "Kalau bapak sebagai dokter saya bayar murah, mau nggak? Kan sama-sama punya keahlian?" Tentang hari depan, Darmo sudah sejak lama berpikir membuat sebuah biro iklan. Keinginan tersebut mungkin makin menggebu, karena menjelang munculnya tahun 1981 ini pemesan sepi. Yang lumayan adalah lebaran tahun lalu--selama 3 minggu, setiap hari 200 buah kartunya terjual. "Yah lumayan untuk membesarkan anak-anak saya," kata Darmo mengomentari profesinya. kini. Darmo pernah bekerja sebagai pelukis relief. Selama satu bulan ia dilatih menulis huruf indah. Tapi ia juga dikenal para langganannya memiliki keahlian lain, yaitu menulis surat cinta. Dalam satu jam ia mengaku dapat menyelesaikan 2 buah surat. "Saya sudah bisa di luar kepala kalau bikin rayuan gombal," katanya dengan serius. Surat-surat ini ternyata punya langganan tetap, terutama anak-anak muda. Profesi menulis surat cinta, memang merupakan bagian kesibukan di antara para penulis kartu di sepanjang jalan itu. Ahlinya selain Darmo ada beberapa. Antara lain Ripto Rifai, yang berwajah penuh berewok. Lulusan SMA Sos-Bud Ambarawa ini, termasuk orang baru debutnya mulai Juni yang lalu. Tapi langganannya sudah banyak. Mungkin karena surat cinta terkadang harus disertai bunga-bunga kata yang tidak semua orang mampu merangkainya menjadi surat yang penuh cumbu rayu. Untuk menulis sebuah surat cinta, Ripto meminta jasa Rp 2000. Langganannya terdiri dari pelajar, jandajanda muda yang ingin bercinta lewat surat, bahkan termasuk juga bapak-bapak. Seorang langganan cukup datang dan menjelaskan apa yang diinginkannya. Kemudian Ripto akan menuliskan konsep. Kalau ada persetujuan, transaksi dilaksanakan. Tak jarang, apabila langganannya itu kemudian menerima balasan --muncul lagi, untuk memesan surat lanjutannya. Bahkan ada yang kemudian berhasil menjadi pengantin setelah surat-suratan. Pada suatu kali misalnya, ia dapat langganan, seorang wanita berusia 25 tahun. Wanita itu menceritakan nasibnya sambil menangis, bahwa ia ditinggal pacarnya, lari dengan gadis lain. Wanita yang patah hati itu kemudian minta dibuatkan surat yang berisi penjelasan bahwa ia akan bunuh diri karena ditinggal pergi. "Saya terkejut," kata Ripto mengenangkan. Mula-mula ia ragu, tetapi setelah wanita itu menjelaskan, iapaham bahwa itu hanya ujian mental. "Tapi saya betul-betul kaget, kalau ia benar-benar bunuh diri, kan saya ikut berdosa," kata Ripto. Tentu saja tidak tiap hari ada orang bercinta. Sering Ripto dapat pekerjaan untuk menulis ijazah. Bahkan ada sebuah universitas swasta yang menjadi langganannya. Kadangkala ia juga harus menulis untuk sebuah piagam penghargaan. Untuk itu ia hanya mengenakan tarif Rp 1000. Lebih murah memang. "Tanggung jawabnya tipis dan tidak usah mikir susah-susah," kata Ripto sambil menunjuk sebuah surat cinta di tasnya yang akan segera diambil oleh seorang yang rupanya sedang kena panah asmara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus