SHEIK Ahmad Zaki Yamani tidak banyak bicara kepada wartawan
selama sidang OPEC di Kuta, Bali. Berheda dengan sidang-sidang
sebelumnya, dalam sidang reguler yang ke-59 ini, senior OPEC
yang dikenal sadar publisitas itu lebih suka diam. Ia tidak
memberikan konperensi pers, suatu hal yang biasanya merupakan
gong dari setiap sidang OPEC. "Yamani tak ingin dituduh sebagai
mempengaruhi sidang, terutama di tengah ketegangan Iran-lrak
sekarang," kata seorang anggota delegasi Indonesia.
Sejak belakangan ini Menteri Minyak Arab Saudi itu
nampaknya mulai menyerahkan urusan penentuan harga ekspor minyak
OPEC kepada "saudara-saudaranya yang lebih muda," kata seorang
anggota delegasi dari Venezuela. Maksudnya: Khalifa Al-Sabah
dari Kuwait, Mana Saeed Al-Otaiba dari Uni Emirat Arab dan Abdul
Aziz bin Khalifa Al-Thani dari Qatar.
Toh Yamani sempat membuka sedikit kartunya ketika beberapa
wartawan berhasil mencegatnya Senin malam, di tengah penjagaan
yang cukup rapi di Pertamina Cottages. Mengenakan hem lengan
pendek warna abu-abu kembang, Yamani bersama istrinya yang
cantik itu llampak keluar lebih dulu dari acara kesenian Bali,
yang diselenggarakan di Mawar Room, ruang sidaang utama.
"Kami sudah menalklan harga," kata Sheik Yamani. Ia belum
bersedia mengungkapkan lebih jauh berapa persisnya kenaikan itu.
Tapi, katanya, "seperti biasanya akan dibuat longgar." Esoknya,
pukul 10 pagi, ke-13 anggota OPEC iru mencapai kata sepakat yang
di luar dugaan sebagian pengamat di Barat: Harga patokan minyak
OPEC yang didasarkan pada jenis Saudi Arabian Light Crude,
dinaikkan dari US$ 30 menjadi US$ 32, dan berlaku surut mulai
1 November 1980. Pada awal September lalu, harga patokan itu
dinaikkan dari US$ 28 (semenjak keputusan sidang reguler di
Caracas setahun lalu) menjadi US$ 30 per barrel.
Sidang yang, sekalipun tegang (lihat box), berjalan sesuai
dengan rencana (dua hari) itu juga memutuskan bahwa untuk para
anggota di luar Arab Saudi dibolehkan menetapkan harga patokan
di atas US$ 32 per barrel, sampai batas US$ 36 per barrel. Di
samping itu, bagi negara-negara di Afrika Utara yang
menghasilkan minyak mentah kualitas tinggi -- Nigeria, Aljazair
dan Libia-berlaku apa yang dikenal sebagai differentials
Terjemahannya: pungutan ekstra, dari US$ 36 sampai batas
maksimum US$ 41 per barrel. Tadinya, dalam sidang reguler yang
ke-58 di Aljir, enam bulan lalu, batas tertinggi differentials
itu adalah US$ 37 per barrel.
Ternyata dalam soal harga, OPEC bisa kompak, Sheik Zaki
Yamani, sesaat sebelum meninggalkan Bali untuk menuju Australia,
Selasa sore itu memberi komentar: 'Apa yang kami capai ini saya
kira adalah yang paling baik." Pada dasarnya keputusan kenaikan
harga di Bali itu sama dengan apa yang dicapai di Aljir:
seolah-olah ada dua macam "harga patokan", disertai
differetials tadi. Suatu keputusan, dalam katakata Presiden
OPEC, Dr. Subroto, "sekaligus merangkul semua pihak."
Tapi siapa yang bersedia membeli semahal 41 dollar? "Setiap
orang nampaknya amat berhati-hati, sekalipun harga naik," kata
Subroto. Berkaus biru, bersepatu Adidas, Menteri Pertambangan
dan Energi yang banyak senyum itu, sesaat sebelum pulang ke
Jakarta Rabu pagi lalu, menerangkan, ingin mempelajari dulu.
"Itu tergantung dari beberapa perkiraan," katanya.
Salah satu adalah: berapa kira-kira produksi minyak Irak
dan Iran selama 1981. Menurut seorang delegasi Irak, negeri yang
sedang perang itu kini menghasilkan antara 1,2 sampai 1,3 juta
barrel. Sebelum perang, Irak yang berpenduduk 13 juta itu
menghasilkan sekitar 3,5 juta barrel sehari.
Dan Iran? Seorang anggota Komisi Ekonomi OPEC (ECB)
mengatakan, sulit menduga produksi di negeri yang masih
berevolusi itu. "Ya antara 500.000 sampai 600.000 barrel
sehari," katanya mengutip perkiraan yang optimistis. Kalau kedua
pihak masih belum capek berperang, harga minyak yang tinggi itu
mungkin saJa ada yang membelinya--di luar pasaran spot yang
mulai menurun.
Lebih dari itu, beberapa negara, mulai dari Afrika sampai
Indonesia, nampaknya ingin melihat lebih dulu berapa harga yang
akan diputuskan oleh negaranegara minyak Arab. James Tanner dari
koran The Wall Street Journal memperkirakan kenaikan rata-rata
akan jatuh di seputar US$ 3 per barrel. Kalau itu benar, maka
negara-negara Arab, seperti Kuwait, Uni Emirat Arab dan Qatar
mungkin akan memasang harga rata-rata baru setinggi US$ 35 per
barrel.
Namun semua itu terpulang kepada Arab Saudi jua. Penghasil
minyak OPEC terbesar itu tadinya naembatasi produksi dengan 8,5
juta barrel sehari. Lalu akibat revolusi di Iran, produksi
terpaksa dikatrol menjadi 9,5 juta barrel sehari. Sekarang,
dengan pecahnya perang Iran-Irak, untuk mengisi kekurangan
konsumen di Barat, Arab Saudi menambah lagi produksi sehari
mereka dengan 1 juta barrel.
Beberapa pengamat berpendapat, sulit untuk menjual USS 41
per barrel. Selain negara-negara Barat sudah memenuhi persediaan
mereka, antara lain dari pasaran spot (tunai), sekarang masih
mereka-reka apakah Arab Saudi mau menurunkan produksi mereka
menjadi 9,5 juta barrel sehari. "Itu masih dirahasiakan oleh
Yamani" kata seorang peserta OPEC di Bali.
Menteri Zaki Yamani, pasti akan memegang janggutnya yang
mulai memutih, bila ditanya soal produksi. Sidang di Bali tidak
bicara soal produksi. Soal itu sejak dulu diserahkan kepada
masingmasing negara. Maka kalau Yamani tidak mcngerenl produksi
minyak negerinva, beberapa pengamat di Bali, melihat sulitnya
bisa menjual setinggi US$ 41 per barrel.
Presiden OPEC Dr. Subroto sendiri menilai akan terjadi
kenaikan harga tertinggi 7%. Sedang perhitungan kenaikan harga
yang 10% seperti diputuskan di Kuta, Bali, didasarkan pada
perhitungan harga tertinggi US$ 41 per barrel. Menteri Minyak
Venezuela Dr. Humberto Calderon Berti yang dekat dengan wartawan
selama sidang, beranggapan para produsen di Afrika Utara tak
akan memasang harga setinggi itu. "Secara pribadi saya menaksir
mereka tidak akan melewati harga US$ 40 per barrel," katanya.
Reaksi di dunia Barat macam-macarn. Juru bicara Deplu AS,
John Trattner, berpendapat itu "tidak adil dan mengecewakan".
Seorang bankir di Frankfurt, yang mengkaitkan kenaikan harga
minyak di Bali dengan posisi mata uang dollar yang mulai
lumayan, khawatir pengeluaran para pengusaha di negerinya
semakin besar saja. Lalu seorang bankir AS di Paris, berpendapat
akan ada akibat jelek, selama perang Iran-lrak belum selesai.
"Naiknya harga minyak akan diikuti dengan spekulasi main borong
oleh para pengusaha, yang dengan sendirinya makn mendorong
inflasi," kata bankir itu.
Tapi lembaga terkenal seperti Badan Energi Internasional
(IEA) yang bermarkas di Paris berpendapat "kenaikan harga minyak
di Bali masih dalam batas batas yang wajar." Sementara itu IEA
juga memperkirakan akan sulit untuk mencari pembeli yang serius.
"Persediaan minyak masih besar di dunia, dan para pembeli sudah
mengurangi jatahnya di pasaran," kata sumber IEA.
Itu pula sebabnya Presiden OPEC yang baru menilai tak ada
alasan buat negeri-negeri Barat untuk menjadi panik. "Betul
perlu ada persediaan yang normal, dalam batas-batas yang tetap
komersial. Tapi kalau sudah terlalu besar, saya tidak melihat
manfaatnya," kata Subroto. "Persediaan yang besar-besaran itu
akan menaikkan biaya penyimpanan . "
Dia lalu meramalkan harga baru minyak yang terjadi di Bali
itu akan berlaku untuk suatu waktu yang cukup lama. Kalau pun
dalam sidang reguler OPEC bulan Juni 1981 akan terjadi kenaikan
secara resmi lagi, Prof. Subroto memperkirakan tambahan itu akan
kecil saja. Presiden OPEC itu, seperti halnya Sheik Yamani
sewaktu sidang di Caracas akhir tahun 1979, mungkin mulai
melihat datangnya suatu mini-glut -- penawaran yang berlebih di
pasaran. Lebih-lebih bila Arab Saudi tak bersedia mengerem kran
produksi minyak mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini