Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Susu formula dapat menggantikan air susu ibu (ASI) dalam kondisi tertentu. Contohnya ketika ibu memiliki masalah kesehatan dan tidak bisa memberikan ASI atau muncul kontraindikasi menyusui yang mengakibatkan bayi tidak dapat memperoleh ASI karena ibu menjalani kemoterapi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena itu, Guru Besar Ilmu Gizi dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Profesor Tria Astika Endah P, menyebut pelarangan promosi susu formula atau sufor dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 28 tahun 2024 perlu dikaji kembali. Ia menilai perlunya kajian ulang tersebut sebab pelarangan tersebut seolah menyamakan sufor dan rokok yang juga dibatasi kegiatan promosinya, seperti iklan. Menurutnya, pelarangan yang membuat sufor seolah berdampak buruk pada bayi itu salah besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Susu formula ini memberikan kontribusi terhadap hak hidup bayi pada saat kondisi memang ibunya tidak bisa memberikan ASI. Berbahaya mana antara rokok dengan susu formula? Dua-duanya memberikan dampak berbeda,” jelasnya.
Selain itu, Tria menilai satu hal lain yang perlu dikaji kembali dari PP tentang pelaksanaan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan adalah soal kental manis. Dia melihat dalam PP tersebut tidak mengatur kental manis. Padahal, kental manis yang masih kerap dipersepsikan sebagai susu memiliki dampak buruk bagi kesehatan cukup besar dibanding sufor.
“Kita berbaik sangka kepada pemerintah. Berbaik sangka yang tujuannya apakah memang kental manis sudah tidak dikategorikan susu? Karena patokannya mungkin sudah tidak dianggap susu,” ujarnya.
Sekadar larangan dagang
Hal senada juga disampaikan Guru Besar UMJ lainnya, Profesor Ibnu Sina Chandranegara, yang menilai pelarangan promosi susu formula di PP 28 tahun 2024 tidak menjawab persoalan pemenuhan ASI untuk bayi.
“Harusnya pemenuhan pemerintah agar bayi memperoleh haknya terhadap ASI, bukan mengatur produsen dan distributor. Ini dua sektor yang berbeda, ini larangan dagang sebetulnya,” kata Ibnu.
Menurutnya, pelarangan promosi tersebut dapat membuat interpretasi sufor sama dengan rokok sebab esensi pelarangan karena produk tersebut berbahaya. “Kalau memang pada faktanya susu formula itu bahaya, dilarang. Konsepnya dilarang karena bahaya, jadi akan meletakkan susu formula sama seperti rokok,” tutur Ibnu.
Karena itu, dia menilai langkah yang seharusnya pemerintah ambil adalah melakukan berbagai tindakan untuk memastikan pemberian ASI kepada bayi, bukan menerbitkan peraturan yang tidak komprehensif dalam menyelesaikan masalah.