Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Tembakan Laser untuk Pilek Kronis

Laserpunktur, terapi akupunktur dengan laser, ternyata juga bisa diterapkan untuk menuntaskan pilek kronis akibat alergi

18 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELAMA berbilang tahun, pilek dan bersin sudah menjadi bagian dari kehidupan Yuliwati Surya, seorang dokter di Surabaya. Ke mana pun pergi ia selalu berbekal tas plastik untuk menampung tisu bekas yang terkena ingus. Berbagai pengobatan sudah dijalaninya, mulai dari tablet, obat tetes, obat hisap, sampai obat semprot, tetapi pilek belum juga menjauh. Ia juga telah pantang minum kopi, yang semula diduga memicu alergi yang dideritanya. Tak juga berhasil. Sampai akhirnya, ia mencoba laserpunktur, terapi akupunktur menggunakan sinar laser. Ia pun dihujani tembakan laser 17 kali. Hasilnya, "Pilek saya sembuh dan tidak kumat," kata Yuli, yang selama setahun ini tak terserang alergi dan sudah berani menyeruput kopi lagi.

Sebenarnya, laserpunktur bukan terapi yang tergolong baru. Rumah Sakit Adi Husada Surabaya telah mengembangkannya sejak tiga tahun lalu. Meski begitu, tak banyak rumah sakit yang menawarkan laserpunktur. Dari penelusuran TEMPO terhadap 30 situs internet rumah sakit yang tergabung dalam Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), tak ditemukan layanan semacam itu.

Padahal, sepanjang pengalaman di Adi Husada, terapi alternatif ini cukup menjanjikan. Hingga saat ini laserpunktur di Adi Husada telah diterapkan untuk 120 pasien anak-anak dan dikembangkan terutama untuk pengobatan rinitis atau pilek-bersin karena alergi. Hasilnya, menurut Eko Suyanto, dokter spesialis anak yang mengembang laserpunktur di RS Adi Husada, "Tingkat kesembuhannya 80 persen."

Laserpunktur, sesuai dengan namanya, tak jauh berbeda dengan akupunktur atau yang biasa disebut tusuk jarum. Teknik pengobatan tradisional Cina ini sebenarnya juga tak lagi dipandang sebelah mata oleh kedokteran Barat. Badan Kesehatan Dunia (WHO) pun pada 1979 bahkan telah merekomendasikannya untuk terapi beberapa penyakit kronis, misalnya bronkitis. Selain itu, Askes juga telah mengakui dan bersedia mengganti biaya pengobatan dengan terapi akupunktur.

Laserpunktur boleh dibilang merupakan pengembangan metode yang sudah berumur 3.000 tahun itu. Pada laserpunktur, peran jarum untuk "menusuk" titik-titik tertentu dalam tubuh digantikan dengan sinar laser yang ditembakkan oleh sebuah mesin yang berbentuk mirip alat untuk mengelas.

Menurut Eko, yang pernah memperdalam akupunktur di Universitas Beijing, Cina, ada tiga komponen utama dalam akupunktur: qi (baca: chi), meridian, dan titik akupunktur. Seseorang disebut sehat bila posisi qi atau energi vitalnya berada dalam keseimbangan. Energi qi ini menyebar di seluruh permukaan tubuh dan terhubung dalam 14 garis meridian yang melintang dan membujur.

Untuk mengatasi penyakit, terlebih dulu harus ditemukan titik-titik akupunktur yang saling terhubung dalam garis meridian—anatomi yang tak dikenal dalam dunia kedokteran Barat. Dalam terapi ini, titik-titik akupunktur—terletak pada 3 milimeter sampai 5 sentimeter di bawah permukaan kulit—dicari dan kemudian ditusuk dengan jarum atau ditembak dengan sinar laser. Titik bidikan bisa melalui dahi, kepala, lutut, daun telinga, ujung tangan, atau ujung kaki. Melalui penusukan atau penyinaran laser, tubuh dipacu untuk menormalkan metabolisme, yang akhirnya menyeimbangkan energi qi dan menghasilkan tubuh yang sehat.

Pengobatan laserpunktur pada prinsipnya terdiri dari dua seri pengobatan. Tiap seri terdiri dari 12-14 penyinaran laser berkekuatan 5 miliwatt per 30 detik, alergi bakal sembuh. Di RS Adi Husada tarif setiap seri dipatok Rp 30.000 dan pasien tak perlu merogoh kocek untuk membeli obat lain. Bila melampaui dua seri penyinaran tapi rinitis terus berlanjut, pengobatan dianggap gagal. Umumnya, tingkat kegagalan yang 20 persen itu terjadi karena pasien rinitis punya penyakit lain seperti radang amandel, radang sinus, atau radang telinga tengah.

Bagaimana laserpunktur bisa menuntaskan alergi? Penjelasan ilmiah cara kerja akupunktur sebenarnya masih belum gamblang betul. Ada teori yang menyebutkan tusukan jarum pada titik-titik tertentu membuat tubuh memproduksi endorfin. Zat kimia ini lazim disebut opium alami tubuh karena sanggup mengatur fungsi otot dan menetralkan rasa sakit. Endorfin ini juga yang diduga merangsang tubuh menyembuhkan diri dengan mekanisme self healing (penyembuhan sendiri). Ada pula teori lain yang menyebutkan akupunktur bekerja melalui sistem saraf.

Yang jelas, pendekatan dalam terapi akupunktur sama sekali berbeda dengan standar pengobatan konvensional. Dalam kedokteran Barat, penanganan alergi—termasuk yang memicu rinitis—dimulai dengan pencarian faktor pencetusnya. Sedapat mungkin pencetus ini dihindari. "Tapi ini sulit juga karena pencetusnya ada dalam hidup sehari-hari," kata Arwin Akib, dokter spesialis alergi anak di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Pencetus alergi kebanyakan debu rumah yang biasanya mengandung jasad renik berupa tungau atau semacam kutu yang sangat mikro. Tungau, baik serpihan badannya maupun kotorannya, sangat sulit dihindari.

Bila pencetus alergi tidak bisa dihindari, apa boleh buat, penderita harus meminta bantuan obat. Pengobatan alergi secara garis besar ada dua macam: pengobatan untuk mengatasi gejala yang muncul (reliever) dan menghindarkan dari serangan (controller). Pendekatan yang sangat berbeda ini membuat laserpunktur tidak disentuh para dokter yang kebanyakan memang menimba ilmu dari Barat. "Kami tidak mengenal cara itu karena kami tidak mempelajarinya," kata Arwin.

Toh ini tak berarti akupunktur adalah sesuatu yang dialergikan para dokter. Setidaknya, RSCM pun memiliki unit khusus pelayanan akupunktur. Menurut Fransiscus K., dokter akupunktur di Kedokteran Akupunktur RSCM, akupunktur sudah banyak diterapkan di rumah sakit rujukan di Indonesia itu, antara lain untuk nyeri, rematik, dan alergi. Bahkan, di RSCM, terapi itu tak hanya dikembangkan dengan laser tapi juga dengan ultrasound. Hanya, menurut Fransiscus, laserpunktur saat ini tengah mandek karena alatnya rusak, dan peminatnya pun kurang banyak.

Menurut Sekjen Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Hasbullah Thabrany, baik akupunktur maupun laserpunktur masih tergolong jenis pengobatan alternatif. Sebab, sistematika teknis medis terapi ini belum bisa dijelaskan. Karena itu, rumah sakit penyedia layanan laserpunktur dan para dokter perlu memberitahukan secara jujur kepada pasien bahwa terapi itu masih berstatus uji coba. "Supaya jangan salah paham dan masyarakat tidak perlu membuang uang tapi tak mendapatkan hasil yang memadai. IDI sendiri selalu welcome dan menyetujui setiap penemuan terapi baru, sejauh itu dibuktikan secara klinis efektif," katanya kepada Adi Prasetya dari TEMPO. Karena itu, sikap IDI jelas. Bila dokter tak memberi tahu pasien, IDI akan memberi sanksi. Sebab, "Itu melanggar etika kedokteran," kata Hasbullah.

Sebagai pengobatan alternatif yang belum diterima semua kalangan medis, pilihan terhadap laserpunktur sebaiknya memang diserahkan ke pasien. Yang penting, pasien secara sadar menjatuhkan pilihannya setelah mendapat informasi yang jujur.

Mardiyah Chamim, Zed Abidien (Surabaya), dan biro Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus