Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Awet Muda Berkat Puasa

Penelitian membuktikan, berpuasa memangkas radikal bebas sampai 90 persen, mencegah penuaan, dan menghindarkan kita dari berbagai penyakit.

18 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANDA tak ingin cepat tua? Mungkin Anda memilih satu di antara puluhan merek suplemen makanan (food supplement) yang kini gencar diiklankan. Tapi, untuk cara satu ini, harap siap siaga merogoh kocek dalam-dalam. Sepuluh tablet food supplement—yang menjanjikan antioksidan, menekan radikal bebas, dan mencegah penuaan—bisa berharga ratusan ribu rupiah.

Padahal, ada cara lain yang lebih aman dan murah ketimbang mengonsumsi suplemen makanan. ''Dengan berpuasa," kata Siti Setiati, dokter di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI). Anjuran berpuasa ini bukan tanpa dasar. Setiati telah meneliti keampuhan puasa selama dua tahun terakhir. Bulan depan, penelitian ini bakal disampaikan dalam Kongres Persatuan Ahli Penyakit Dalam se-Indonesia, di Surabaya.

Riset Setiati berawal dari berbagai penelitian tentang puasa di luar negeri. Puasa, yang berarti pembatasan masukan kalori (restriksi kalori), terbukti berdampak bagus bagi binatang percobaan. Clive McCay, ilmuwan Universitas Cornell, Amerika Serikat, misalnya, membuktikan bahwa restriksi kalori sanggup memperpanjang umur tikus putih. Paling banter, rentang hidup tikus putih hanya 33 minggu. Dengan restriksi kalori, umur maksimal tikus putih bisa mulur sampai 47 minggu.

Bagaimana bila kiat sama dicobakan pada manusia? Sampai kini belum ada ilmuwan Barat yang meneliti khasiat puasa bagi manusia. Bersama tim di FK UI, Setiati mengisi kekosongan riset ini dengan memanfaatkan ritual puasa pada bulan Ramadan. Pada 1998, tim Setiati meneliti 63 pasien rawat jalan klinik geriatri (klinik perawatan orang lanjut usia) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), yang berusia 55-76 tahun. Para responden ini diukur kadar radikal bebasnya sebelum, selama, dan sesudah Ramadan. Radikal bebas adalah komponen tak stabil yang dihasilkan dari proses oksidasi yang bisa merusak sel dan menyebabkan berbagai penyakit, termasuk penuaan. Riset mencatat ada penurunan pasokan kalori 12-15 persen selama puasa. Dan restriksi kalori ini membuat radikal bebas anjlok sampai 90 persen. Sesudah puasa, radikal bebas kembali naik tetapi masih jauh lebih rendah—hanya seperlima—dibandingkan dengan angka sebelum puasa.

Ramadan setahun berikutnya, kembali Setiati meneliti khasiat puasa. Kali ini, penelitian melibatkan 15 laki-laki sehat sebagai responden. Terbukti kembali, kadar radikal bebas terpangkas 90 persen. Selain itu, tercatat peningkatan kadar total antioksidan sekitar 12 persen. Kesimpulannya, ''Puasa menekan radikal bebas dan mendongkrak antioksidan," kata Setiati.

Sebenarnya, radikal bebas adalah hasil sampingan yang selalu mengiringi metabolisme tubuh. Beberapa faktor—sinar matahari, nutrisi rendah, dan aliran darah yang terganggu—membuat kadar radikal bebas melimpah. Banjir radikal bebas ini berdampak merusak sel tubuh, yang mempercepat penuaan. Radikal bebas juga menjadi biang penyakit yang berkaitan dengan tubuh yang aus seperti katarak, penyempitan pembuluh jantung, dan kepikunan.

Untungnya, tubuh punya sistem untuk mengerem laju radikal bebas, yakni dengan memproduksi antioksidan. Hanya, antioksidan alami tak mencukupi sehingga harus dipasok dari luar. Berbagai sayur dan buah segar mestinya bisa menjadi pilihan utama. Tetapi, dunia industri farmasi telah menyediakan cara mudah mendapatkan antioksidan dengan menyodorkan suplemen makanan yang antara lain mengandung vitamin C dan E, beta-karoten (salah satu bentuk vitamin A), dan enzim superoksida dismutase.

Para ilmuwan sebenarnya masih berselisih paham soal efektivitas food supplement. Pasokan antioksidan jenis enzim superoksida dismutase, misalnya, bisa jadi hanya mubazir. Sebab, enzim ini sangat gampang digelontor sistem pencernaan. Setiati juga menyebut risiko pasokan vitamin dalam jumlah berlebihan. Overdosis vitamin C menimbulkan diare, sedangkan kelebihan vitamin E bisa merusak fungsi hati. Nah, daripada mengonsumsi suplemen makanan mahal yang belum tentu tepat sasaran, Setiati lebih menyarankan berpuasa.

Budi Hartati, ahli gizi dari RSCM, menekankan, yang ideal bukanlah puasa ''balas dendam" yang bersemboyan makan sepuasnya begitu saat berbuka tiba, dan juga bukan puasa yang berpantang makan salah satu unsur nutrisi. Misalnya puasa mutih—hanya makan nasi putih—yang akan menimbulkan kekurangan vitamin. Yang ideal, menurut Budi, berbuka dan sahur dengan porsi biasa dan tetap berkomposisi seimbang. Dengan pola ini, ''Masukan kalori turun sekitar 15 persen," kata Budi.

Dalam praktek sehari-hari, puasa bisa dimodifikasi sesuai dengan selera. Misalnya, makan dua kali sehari dengan porsi biasa, atau makan tiga kali sehari dengan porsi separuh. Namun, Budi mengingatkan, restriksi kalori terancam gagal bila kebiasaan makan cemilan tidak dikikis. Intinya, bila ''puasa balas dendam" dan ngemil yang dipilih, panen radikal bebas tetap mengancam. Dan impian menjadi awet muda pun tak bakal terwujud.…

Mardiyah Chamim dan Edy Budiyarso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus