Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Tembakan Serdadu Berdasi

Penggemar olahraga menembak di kalangan eksekutif muda terus meningkat. Keamanan jadi motif utama.

24 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perempuan muda itu membidikkan pistol Siq Sauer dengan saksama, menarik pelatuknya hati-hati, lalu... dor! Dan dia tersenyum. Tembakannya tepat melubangi bulatan yang dibidiknya dari kejauhan. Di siang yang terik pekan lalu itu, Eva—dia hanya mau disebut begitu—berada di Lapangan Tembak Senayan, Jakarta. Mengenakan baju kantoran, setelan blazer, dan celana panjang hitam bergaris putih, dia tak seperti seorang atlet menembak. Dan memang bukan. Bersama empat teman sebayanya yang berlatih hari itu, Eva adalah anggota Executive Shooting Club (ESC), sebuah klub menembak para eksekutif muda Jakarta. Eva sendiri seorang eksekutif pada sebuah perusahaan internet. "Di samping berlatih," ujarnya, "saya datang ke sini untuk melepaskan kepenatan selepas meeting di kantor." Eva mengaku gemar membidikkan pistol setelah kuliah di Amerika untuk meraih gelar master dalam bidang komputer. "Di sana banyak tempat latihan dan tidak perlu menjadi anggota klub untuk bisa menembak," katanya. Eva sendiri mengaku tidak memiliki senjata. Ia masih menyewa senjata milik klubnya. Banyak kaum muda lain dengan rata-rata umur 30-an kini menyukai hobi dar-der-dor itu. Tidak sekadar olahraga atau kegemaran, tapi juga keamanan. Dalam catatan Mabes Polri, ada peningkatan tajam jumlah permohonan izin memiliki senjata, terutama setelah kerusuhan 1998. Data tiga tahun terakhir menunjukkan di Jakarta saja ada 30 persen pemilik senjata api yang terdaftar. Keseluruhan izin yang dikeluarkan Mabes Polri hingga tahun 2002 berjumlah 4.000. Tentu saja ini jumlah yang terdaftar. Di luar itu, jumlahnya tentu lebih banyak: orang-orang sipil yang memiliki senjata tanpa izin dan yang merakit sendiri senjatanya. Faktor keamanan memang merupakan alasan utama orang memiliki senjata api. "Banyak penjahat berkeliaran di jalanan Jakarta, dan mereka kerap mengganggu pengendara mobil," kata Rony Hendropriyono, putra Kepala Badan Intelijen Negara A.M. Hendropriyono, yang siang itu datang bersama Eva dan teman-teman di Senayan. Selain faktor keamanan, ada juga orang yang memang gemar mengoleksi senjata sebagai hobi. Poempida Hidayatullah, direktur perusahaan keamanan di Jakarta, misalnya, bahkan memiliki lebih dari 10 senjata, baik api, gas, maupun angin. Dari pistol sampai senapan. "Sejak kecil, jika disuruh memilih mainan, saya pasti memilih pistol atau senapan," katanya. Ia mengoleksi lima senapan angin kaliber 4,5 milimeter merek Falcon buatan Inggris, sebuah pistol otomatis Smith & Wesson kaliber 22, dan sebuah lagi Rohm seri Rg 88 berpeluru gas buatan Jerman. Khusus senapan angin, Poempi menyebutnya sebagai koleksi lama ketika masih menjadi mahasiswa di Inggris. Poempi mengaku gemar mengotak-atik bedil miliknya, menambahkan aksesori seperti teleskop dan peredam suara. Untuk menambah wawasannya tentang persenjataan, termasuk informasi tentang model-model terbaru, Poempi pernah berlangganan majalah yang menulis tentang senjata ketika masih mahasiswa. "Sekarang sih tinggal klik saja di internet," katanya. Walaupun memiliki banyak senjata, Poempi mengaku hanya membawa satu senjata gas untuk berjaga-jaga selama bepergian di Jakarta. Doktor bidang teknik lulusan Imperial College, London, itu tahu betul risiko yang harus ditanggung jika tampil petantang-petenteng membawa beceng. Prinsip penggunaan senjata itu untuk bela diri. "Kalau terdesak, cukup bikin takut atau melumpuhkan saja," katanya. Komisaris Besar Polisi Benny Mamoto, Ketua Bidang Teknik Persatuan Olahraga Menembak Indonesia (Perbakin), memang melihat tren naik minat kalangan eksekutif muda terhadap jenis olahraga ini. Ada tiga kategori dalam olahraga ini: tembak target (sasaran diam), berburu, dan tembak reaksi cepat. Menurut Benny, para eksekutif muda terutama menggemari olahraga tembak jenis reaksi cepat atau perang-perangan. Di situ penembak dibawa dalam suasana ruangan mirip perang. Si penembak berperan sebagai agen sebuah pasukan khusus. Tidak hanya menembak sasaran diam, mereka dihadapkan pada sasaran bergerak atau yang tiba-tiba muncul sehingga selain konsentrasi juga dibutuhkan kecepatan dan ketepatan. "Di sini kaum muda lebih tertantang," kata Benny. Namun, pertambahan penggemar di kelas ini tidak terlalu menggembirakan buat Antonius Sunaryo, Ketua Badan Pelaksana Pusat Perbakin. Pasalnya, kelas ini belum dipertandingkan untuk olahraga prestasi. "Kalau soal gaya, permainan perang-perangan itu memang enak ditonton," katanya. "Tapi, yang bisa mengangkat nama Indonesia adalah cabang menembak jenis target," katanya. Meningkatnya jumlah pemilik senjata juga menambah jumlah perkumpulan menembak. Di Jakarta saja kini ada 50 perkumpulan, dan di seluruh Indonesia jumlah perkumpulan mencapai 289. Ini belum termasuk perkumpulan menembak militer. Namun, beberapa shooting club milik militer belakangan bahkan dibuka untuk masyarakat sipil. Sebut saja, misalnya, Setia Waspada SC milik Pasukan Pengawal Presiden, yang markasnya terletak di kompleks perumahan mereka di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Menurut Kolonel Doni Munardo, bekas pengurus Setia Waspada, anak-anak muda itu rata-rata mewarisi kegemaran akan senjata dari orang tua mereka. Seorang anggota sebuah perkumpulan bisa memiliki dua kartu latihan yang bisa dipakai oleh teman atau bahkan anak mereka. "Yang muda-muda ini memang sekarang lebih jago," kata Doni, "Kami yang tentara bisa kalah." Tentu saja anak-anak muda itu lebih jago. Mereka rata-rata berlatih dalam porsi sering. Eva, misalnya, yang sebelumnya tampak berlatih di Senayan, dua hari kemudian sudah terlihat di Tanah Abang. "Kelompok eksekutif muda ini umumnya tidak berhitung dengan uang yang harus mereka keluarkan," kata Benny Mamoto. "Itu sebabnya mereka bisa lebih hebat dari tentara ataupun polisi." Seberapa besar anggaran yang harus dikeluarkan para penggemar senjata tersebut? Poempi, yang sudah tiga tahun menjadi anggota Perbakin, mencoba menghitung: lima senapan yang semuanya dibeli dalam mata uang Inggris poundsterling, plus dua pistol lengkap dengan pengurusan izin dari polisi, bernilai total sekitar Rp 500 juta. Setelah berkeluarga, dia merasa tidak bisa terlalu leluasa mengumbar hobi mahalnya itu. "Sekarang kalau mau beli harus mendapat approval dari komisaris utama, yaitu istri," kata Poempi sambil tertawa. Tidak semua penggemar senjata segila Poempi. Bahkan, jika ingin memiliki pistol berkaliber 22 milimeter, Anda harus merogoh kocek Rp 150 juta. Harga yang dipatok para penjual itu biasanya sudah lengkap dengan urusan izin polisi, yang besarnya bisa mencapai Rp 50 juta. Kalangan eksekutif yang tidak cukup kaya umumnya memilih jenis senapan atau pistol angin kaliber 4,5 milimeter. Harga senjatanya masih terjangkau, apalagi kalau hanya buatan lokal seperti yang diproduksi di Pabrik Cipacing, Bandung. Tempat latihan pun tidak harus dilakukan di lapangan tembak. Bisa di kebun atau tempat aman yang lain. Biaya sewa lapangan termasuk mahal. Belum lagi iuran anggota perkumpulan serta ongkos membeli peluru untuk latihan. Untuk pistol kaliber 22 milimeter, para penembak umumnya menggunakan peluru merek Flocchi, yang harga satu kotaknya, berisi 50 butir, bisa mencapai Rp 500 ribu. Ini pun termasuk jenis peluru yang paling murah di kelas senjata api atau peluru tajam. Padahal, dalam sekali latihan, minimal seseorang bisa menghabiskan 100 pelor. Dan dalam sepekan, seseorang bisa berlatih dua kali. Tapi, meski ada lonjakan peminat, tidak semua tempat latihan tembak tampaknya mudah menangguk untung. Stevanus Ridwan, pemilik Plaza Blok M Shooting Club, yang mengkhususkan kelas senapan dan pistol angin, mengaku "masih tekor terus" dari segi bisnis. Namun, Ridwan mengatakan tetap membuka sasana tembak itu karena misi. "Olahraga menembak ini bisa menjauhkan orang muda dari penyalahgunaan narkoba," tuturnya, "Juga melatih mereka berdisiplin, sabar, menjaga diri, serta berlatih konsentrasi." Edy Budiyarso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus