KEHENINGAN Istana Negara dipecahkan oleh suara Nusron Wahid. Senin pekan lalu, usai diterima Presiden Megawati, Ketua Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia ini (organisasi di bawah payung Nahdlatul Ulama) menggelar konferensi pers. Bunyinya lalu membuat geger. Presiden, kata Nusron menirukan, telah memutuskan tak akan memecat Jaksa Agung M.A. Rachman, yang sedang intensif diperiksa Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara.
Siang itu, menurut agenda resmi, Nusron dan rombongannya akan melaporkan hasil konferensi pemuda dan mahasiswa se-Asia Tenggara tentang radikalisme agama dan terorisme. Hanya, karena sudah "gatal" dengan sebuah topik yang kian gencar dipertanyakan teman-temannya di kampus, Nusron lalu berbelok arah. Ia mempertanyakan komitmen pemerintah yang dinilainya tak serius menegakkan hukum.
"Kapan konglomerat hitam ditangkapi?" tanya Nusron. Dengan pembawaan yang tenang, seperti biasanya Presiden Megawati yang ketika itu mengenakan rok terusan biru menjawab klise: sudah menugasi Jaksa Agung untuk mempercepat prosesnya. Sontak, Nusron menyambar, "Jaksa Agung-nya saja bermasalah begitu. Apa bisa?" Tak puas mendengar jawaban Mega yang cuma menyatakan semua butuh waktu, Nusron terus merangsek, "Jaksa Agung jadi diganti, Bu?" Suasana mendadak jadi kaku, tegang.
Dan, seperti diungkapkan Nusron, inilah jawaban yang meluncur dari bibir Presiden, "Ya, enggak. Kalau diganti, memangnya jadi lebih baik?" Tak cuma itu, Mega juga menyatakan gonjang-ganjing terbongkarnya harta gelap Rachman sekadar buah suatu permainan politik. "Jawaban Presiden mengecewakan," ujar Nusron.
Nusron boleh masygul, tapi sorak langsung terdengar dari Gedung Bundar. Berseri-seri, Kepala Pusat Penerangan Kejaksaan langsung berkata, "Sebetulnya tak ada yang salah dengan kinerja Pak Rachman. Karena itu, jika kabar itu benar, kami menyambut gembira pendapat dan keputusan Ibu Presiden."
Menyadari kegawatan yang bisa muncul, para petinggi PDIP buru-buru "menghaluskan" pernyataan sang Ibu. "Yang disampaikan kepada Nusron Wahid itu sebetulnya belum final. Saya kira Presiden tak akan sembarangan menyampaikan keputusan sepenting itu," kata anggota Fraksi PDIP yang dikenal dekat dengan Mega, Dwi Ria Latifa. Di mata anggota komisi bidang hukum ini, kinerja kejaksaan selama dipimpin Rachman tak begitu memuaskan.
Pendapat senada diutarakan kolega Ria, Panda Nababan. Menurut wartawan senior ini Mega masih menunggu laporan final dari Komisi Pemeriksa. "Saya percaya itu diucapkan dalam kerangka normatif, tapi diembuskan ke pers seolah-olah Mega membela Rachman," Panda berkelit, "Tapi kalau, misalnya, Komisi sudah melapor (Rachman bersalah) lalu Mega masih mempertahankannya, itu baru berita besar."
Tak sekadar berita besar, ucapan terburu-buru Presiden Megawati bisa meniupkan persoalan serius baru. Ketika menyatakan sikapnya itu, laporan Komisi Pemeriksa terhadap Rachman belum lagi rampung. Karenanya, Mega bisa dituduh membuat keputusan sekehendak hati tanpa dasar yang jelas. Lebih lagi, ia juga bisa dianggap mengabaikan, bahkan melabrak, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. VIII/1999 dan Undang-Undang 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih, yang tegas-tegas mengamanatkan pentingnya pelaporan kekayaan pejabat dan bahwa setiap penyelenggara negara yang diduga terlibat praktek korupsi mesti mengundurkan diri.
Tak jauh-jauh, Pecenongan sendiri, markas Komisi Pemeriksa, juga dibuat gerah dengan suara dari Istana itu. Menurut sumber TEMPO, Rudjuan Dartono, ketua tim pemeriksa khusus, sampai mencak-mencak. "Belum terima laporan kok sudah ngomong," demikian sumber TEMPO menirukan kejengkelan Rudjuan.
Rudjuan layak gemas. Pernyataan Mega telah menimbulkan komplikasi terhadap proses pemeriksaan yang tengah berlangsung. Menurut bocoran draf laporan final Komisi Pemeriksa yang bisa diperoleh TEMPO, Komisi Pemeriksa justru telah menyimpulkan Rachman bersalah. "Laporan kekayaan tidak diisi secara jujur, dengan ditemukannya harta yang lain, yaitu tanah dan bangunan di Graha Cinere," begitu tertulis dalam laporan.
Tak cuma itu, tim pemeriksa juga menyoal asal-usul Rp 812 juta deposito milik Rachman ataupun kedekatannya dengan—meminjam istilah Rachman sendiri saat diperiksa—dua "agen perkara" di kejaksaan: Suryo Tanoto dan Najib Atamimi. Tak cuma itu, belakangan juga terbongkar keberadaan sebuah ruko berlantai tiga di Jatinegara, Jakarta, atas nama salah seorang putrinya, yang juga tak dilaporkan Rachman. Kepada mingguan ini, sejumlah anggota Fraksi Banteng Bulat bahkan bersaksi pernah melihat berlembar-lembar cek miliaran rupiah dari sejumlah taipan beperkara yang ditujukan kepada Rachman.
Kekukuhan Presiden mempertahankan Rachman di kursinya tak membuat kaget seorang anggota parlemen dari PDIP yang lain. Sedari awal, katanya, memang begitulah sikap Mega. Seminggu sebelum meletup di media massa, persoalan harta gelap Rachman telah diberitahukan seorang petinggi Fraksi Banteng Bulat kepada Mega. Dan Mega tak menanggapinya dengan serius. "Buktinya kan belum cukup kuat," tuturnya menirukan.
Tanda-tanda itu kian jelas setelah Rachman diperiksa dan kasusnya memenuhi halaman depan koran-koran. Pertengahan Oktober lalu, saat digelar rapat pengurus pusat PDIP untuk menentukan sikap partai terhadap kasus Rachman, Mega lebih suka pergi ke vilanya di Gunung Geulis, Bogor, mengurusi tanaman kesayangannya. Saat sang pemimpin fraksi kembali datang menemui Mega, lagi-lagi tanggapannya cuma enteng seperti ini: "Kalau hanya karena satu rumah saja Jaksa Agung saya ganti, jangan-jangan saya juga harus memecat semua menteri lain."
Kira-kira dua pekan sebelum ia menyatakan sikapnya kepada Nusron Wahid, alasan di balik sikap kukuh Mega jelas terungkap. Ketika itu seorang keluarga dekat Mega tiba-tiba memanggil seorang anggota parlemen PDIP dari faksi Jenggala (kediaman Arifin Panigoro). Menurut sumber TEMPO, kerabat Istana itu menitipkan pesan yang kira-kira berbunyi, "Sudahlah, Rachman sudah ketakutan. Ini malah bagus untuk kepentingan PDIP. Sekarang buntutnya kan sudah kita pegang." Kurang-lebih dengan pertimbangan seperti itu pulalah Mega beberapa waktu lalu juga ngotot memilih Gubernur Jakarta Sutiyoso, yang tengah dililit kasus 27 Juli. "Ingat, posisi Jaksa Agung sangat strategis untuk kepentingan PDIP menang dalam Pemilu 2004," kata sumber itu.
Suara tak sedap itu dibantah Sekretaris Jenderal PDIP, Sutjipto. "Saya kira Ibu punya pertimbangan lain. Seperti kasus Pak Akbar, waktu itu kita semua kan menginginkan terbentuknya panitia khusus, tapi Ibu ingin mendahulukan proses hukum," ujarnya. Nada pasrah itu juga yang diucapkan Tjahjo Kumolo, Sekretaris Fraksi PDIP yang dikenal merupakan tangan kanan Taufiq Kiemas, suami Megawati. Meski fraksi telah meminta Rachman diberhentikan, jika Presiden kukuh mempertahankannya, Tjahjo bilang, "Ya, kami tidak bisa berbuat apa-apa."
Entahlah, apa yang dimaksud Mega ketika -- seperti ditirukan Nusron -- menyatakan begini: "Itulah politik." Tapi jika yang dimaksud adalah politik sebagai sebuah permainan, tempat kata-kata sering kali tak lebih dari sekadar retorika, cobalah dengar betapa lantang pidato akhir tahun 2001 Presiden Megawati berikut ini: "Saya percaya, kita semua tidak akan mau nantinya dicatat dalam sejarah sebagai pelaku korupsi-kolusi-nepotisme Orde Reformasi.... Saya yakin kita masih memiliki nurani dan keberanian untuk bersama-sama memeranginya. Mungkin kita risi karena sadar bahwa keberanian kita ternyata tidaklah sebesar tekad kita. Tapi, secara bersama-sama, kita mungkin memperoleh keberanian dan kekuatan yang lebih besar untuk mengatasi kelemahan tadi."
K.D., Ahmad Taufik, Ardi Bramantyo, Fajar W.H., Nezar Patria
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini