Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUYADI adalah ”manusia malam”. Pria 35 tahun ini biasa bercengkerama dengan komputer hingga pukul dua dini hari. Bukan karena rajin membuat makalah, melainkan untuk ”mengisi waktu” lantaran tak bisa tidur. Padahal, paginya, dosen ekonomi ini harus mengajar hingga petang. Toh, ia tetap segar meski irit tidur. ”Kalau ngantuk, langsung saya hajar dengan kopi,” kata ayah dua anak ini. Kebiasaan ini sudah dilakoninya sejak masa kuliah.
Kopi mungkin sukses membuatnya ”hidup” lagi. Yang tak ia sadari: ”doping” semacam ini menggerogoti kekebalan tubuhnya. Kebiasaan buruk para penderita insomnia ini dipaparkan Nurmiati Amir dalam diskusi New Treatment Option for Chronic Insomnia di Hotel JW Marriott, Jakarta, awal Oktober lalu. Psikiater Universitas Indonesia ini menyatakan insomnia sebenarnya bisa disembuhkan.
Gejala insomnia bukan hanya susah tidur, tapi juga sering terjaga pada saat terlelap (dan sulit terpejam lagi), bangun terlalu cepat, tidur tidak nyaman, dan bangun dalam keadaan lelah. Ada tiga tingkatan insomnia: sementara, jangka pendek, dan kronis. Gangguan tidur ringan hanya berlangsung sepekan. Penyebabnya antara lain stres, jam kerja yang berganti-ganti, atau jetlag. Insomnia tingkat sedang mendera selama satu hingga empat minggu. Pelecutnya stres berlanjut, penyakit akut (semisal asma atau rematologi), dan pengobatan (contohnya antidepresan).
Yang terparah, insomnia kronis yang berlangsung lebih dari sebulan. Pemicunya bisa struktur kimia dalam otak, hormon (misalnya hormon stres dan pertumbuhan), merosotnya kekebalan tubuh, problem kejiwaan, mengidap penyakit, atau sedang menjalani pengobatan tertentu.
Syamsulhadi, psikiater dari Universitas Sebelas Maret, Solo, menyatakan penyebab insomnia secara umum ada dua: fisik dan mental. Gangguan kejiwaan ini bisa berupa stres, cemas, depresi, psikosis, dan dampak penggunaan narkotik dan psikotropik.
Nurmiati mengurai sejumlah faktor yang bisa membuat orang mudah didera insomnia. Misalnya umur. Semakin tua—terutama ketika memasuki masa menopause—semakin besar kemungkinan ia menderita insomnia.
Memang ada sejumlah kasus anak-anak yang mengalami gangguan tidur. Biasanya, ini sinyal adanya masalah kejiwaan yang lebih berat. Pasien cilik ini mesti buru-buru diperiksakan ke dokter.
Jenis pekerjaan juga menjadi pemicu insomnia. Kebiasaan begadang ini sering menempel terus meski seseorang sedang libur atau bahkan berganti pekerjaan. Selain itu, tempat tinggal seseorang juga berpengaruh. Nurmiati mengutip sebuah penelitian di Amerika Serikat yang menyatakan masyarakat perkotaan—terutama di daerah industri—lebih rentan insomnia ketimbang pedesaan. Penyebabnya, orang di kota lebih mudah stres akibat hantaman kesibukan dan pekerjaan sehari-hari.
Sayangnya, di Indonesia belum ada penelitian serupa. Dalam banyak kasus, kata Nurmiati, masyarakat rural justru lebih rentan terpapar depresi. Misalnya karena kesulitan ekonomi. Menurut data, lebih dari 28 juta orang—sekitar 10 persen dari total 238 juta penduduk negeri ini—menderita gangguan tidur. Angka ini tentu hanya di permukaan. Lebih banyak pengidap insomnia yang tak menjalani terapi apa pun dan menjalani hari-hari dengan normal.
Padahal begitu banyak bahaya mengintai jika gangguan tidur ini disepelekan. Akibat insomnia, penderita mengantuk dan lelah pada siang hari. Akibatnya bukan hanya produktivitas yang terganggu, melainkan juga stabilitas emosi. Selain mengalami kerugian psikis, pengidap susah tidur juga terancam kesehatan fisiknya. Sistem kekebalan tubuh menurun dan rentan infeksi.
Insomnia juga amat berbahaya bagi penderita diabetes karena menurunkan kemampuan tubuh memanfaatkan insulin di dalam darah. Selain itu, kurang tidur meningkatkan tekanan darah. Karena itu, mereka yang telanjur mengidap hipertensi plus insomnia makin berpotensi terkena stroke. Tidur cekak juga mengurangi fungsi hormon pertumbuhan, sehingga penderitanya berisiko kegemukan.
Memang, kebutuhan tidur setiap orang tidaklah sama. ”Tergantung umur, hormon, dan kegiatan tiap-tiap orang,” kata Syamsulhadi. Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa ini mencontohkan Napoleon Bonaparte dan Thomas Alva Edison, yang hanya terlelap dua jam setiap malam dan tetap sehat. Namun mereka bukanlah contoh yang bagus. Yang terbaik, tidur berkualitas membutuhkan waktu sekitar delapan jam per malam.
Menukar jadwal tidur pada siang hari—untuk membayar tak tidur pada malam harinya—juga bukan solusi efektif. Sebab, tidur malam dan siang itu berbeda. Ada hormon-hormon tertentu yang hanya bisa aktif ketika tidur malam. Hormon tersebut berfungsi meningkatkan kekebalan tubuh.
Kabar gembiranya, insomnia bisa disembuhkan. Pertama, kalau penyebabnya stres dan problem kejiwaan, atasi dulu akar masalahnya. Lalu, siapkan pola tidur sehat. Mulailah dengan mengatur jadwal tidur dan bangun yang tetap setiap hari.
Meski sepintas sederhana, mendisiplinkan diri agar tidur dan bangun pada waktu sama setiap hari sulit dipraktekkan. Namun, menurut Nurmiati, tubuh dan otak kita bisa diprogram untuk itu. Misalnya, usahakan naik ke ranjang pada jam yang sama setiap malam. Walaupun tak bisa langsung terlelap, seseorang sudah dikondisikan ke arah itu. Semakin sering dilatih, penderita insomnia diharapkan akan kembali ke pola tidur normal.
Memang, ia juga kerap kedatangan pasien yang telah bertahun-tahun mengidap insomnia dan tak mempan dengan terapi apa pun. Biasanya ini terjadi lantaran pasien kurang gigih menerapkan pola tidur sehat. Apalagi banyak penderita insomnia yang malah ”memanjakan” kebiasaannya dengan beraktivitas sepanjang malam. Insomnia juga sulit sembuh jika kondisi kejiwaan pasien, misalnya stres karena tekanan kerja, tak ditangani.
Kalau segala cara tak manjur, kata Nurmiati, barulah dokter memberikan obat tidur sebagai solusi terakhir. Itu pun tak sembarangan, hanya pada pasien yang jika tak diberi obat tidur bisa melorot kesehatannya. Obat ini sifatnya hanya sementara. Meskipun kini sudah ada jenis obat yang tak menimbulkan ketergantungan, penderita tak boleh ”terlena” dengan menenggak obat setiap saat. Dan ingatlah nasihat Rhoma Irama. Begadang jangan begadang….
Andari Karina Anom
Menghalau Insomnia
TIDUR dibutuhkan agar sel tubuh beristirahat dan beregenerasi. Butuh kerja sama fisik dan mental agar kita bisa tidur sehat dan berkualitas. Ada sejumlah tip mencegah gangguan tidur:
- Berendam atau mandi air hangat menjelang tidur.
- Relaksasi sebelum tidur.
- Siapkan lingkungan tidur yang baik.
- Hindari paparan cahaya terang pada malam hari.
- Tidur dan bangun pada waktu yang sama setiap hari.
- Hindari menyantap makanan berat terlalu dekat dengan waktu tidur.
- Hindari kafein dan alkohol, terutama pada malam hari.
- Olahraga rutin setiap pekan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo