Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PESAN pendek itu datang dari Rudi Rubiandini. ”Saya baru selesai mengikuti konferensi di Cape Town. Melalui voting, peserta pertemuan menyimpulkan bencana lumpur Lapindo itu akibat pengeboran,” tulis pakar geologi perminyakan Institut Teknologi Bandung itu, Rabu pekan lalu.
Dua jam kemudian masuk lagi pesan pendek tentang konferensi di Afrika Selatan itu. Kali ini dari kubu Lapindo. Ini petikannya: ”Ilmiah tidak mengenal voting.”
Pemungutan suara yang membikin geger itu terjadi dalam pertemuan American Association of Petroleum Geology (AAPG) pekan lalu. Inilah pertemuan akbar para ahli geologi perminyakan sedunia yang digelar setahun sekali.
Ada sekitar 97 tema dan 600 makalah yang menjadi bahasan peserta konferensi ilmiah itu. Enam tema dikategorikan topik khusus karena dianggap penting. Nah, salah satunya tentang penyebab semburan lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur.
Ini memang topik penting. Biang keladi bencana itu tak juga diketahui, padahal sudah berlangsung sejak 29 Mei 2006, menenggelamkan 12 desa, dan tak ada tanda bakal surut. Dari lubangnya masih menyembur lumpur 100 ribu meter kubik per hari, cukup untuk memenuhi 53 kolam renang standar Olimpiade. Dalam beberapa tahun ke depan, tanah di sekitar pusat semburan diperkirakan bisa ambles 120 meter.
Beberapa kali pernah digelar forum untuk mencari tahu penyebab semburan itu. Namun, di Cape Town, pertemuan itu dihadiri semua pihak yang ”harus hadir”, termasuk Lapindo. ”Kami secara khusus berterima kasih kepada Lapindo, yang mendapat banyak aplaus dalam pertemuan ini untuk kesediaan mereka mengambil bagian dalam diskusi,” ujar Richard Davies, salah satu geolog Universitas Durham, Inggris.
Sesi Lapindo dibuka dengan presentasi Adriano Mazzini, ahli gunung lumpur Universitas Oslo. Ia yakin, semburan lumpur akibat gempa Yogyakarta. Presentasi kemudian dilanjutkan oleh Nurrochmat Sawolo, ahli pengeboran Lapindo; Mark Tingay, ahli gempa Universitas Curtin, Australia, yang berpendapat energi gempa Yogyakarta terlalu kecil untuk mengakibatkan semburan di Sidoardjo; dan Davies, yang yakin lumpur itu muncrat akibat bor Lapindo. Masing-masing presenter mendapat jatah 20 menit.
Debat panas pecah pada saat diskusi. Setidaknya 20 pertanyaan dilemparkan peserta. Sesi diskusi yang biasanya selesai dalam 5-10 menit, kali ini para ahli mendiskusikan Lapindo hingga satu setengah jam. Nah, di akhir sesi, moderator melakukan voting terbuka untuk mengetahui kesimpulan 74 peserta.
Sebanyak 42 pakar menyatakan semburan itu akibat sumur eksplorasi Lapindo. ”Tak diragukan lagi, tekanan di sumur akhirnya melebihi yang dapat ditanggung dindingnya, dan ini memicu fenomena gunung lumpur,” ujar Susila Lusiaga, ahli pengeboran ITB dan anggota tim penyidik kepolisian untuk kasus ini, seperti dikutip dalam siaran pers pertemuan itu.
Sisanya, sebanyak 16 ilmuwan menyatakan diskusi dan data yang disampaikan belum konklusif, dan 13 lainnya mengatakan bala itu akibat pengeboran Lapindo dan gempa bumi. Tiga ilmuwan, semua dari Indonesia, yakin semburan itu murni akibat gempa di Yogyakarta, yang terjadi hampir bersamaan.
Michael Manga, geolog Universitas California, Berkeley, menyatakan gempa Yogyakarta terlalu kecil untuk membikin lumpur muncrat. Dengan jarak 280 kilometer dari pusat gempa, ”Peluangnya cuma 0,006 persen,” ujarnya.
Toh, menurut Senior Vice President PT Energi Mega Persada Lapindo, Bambang Istadi, tak seharusnya kesimpulan itu diambil melalui voting. Bambang, yang mendampingi Sawolo selama diskusi, mengatakan bahwa cara itu tak pernah terjadi dalam dunia ilmiah. ”Voting ini masalah persepsi sehabis diskusi. Hasilnya tergantung pada bagaimana cara penyampaian dan kesiapan materi,” kata Bambang, yang masih berada di Afrika Selatan ketika dimintai konfirmasi.
Firman Atmakusuma
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo