Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Defisit Anggaran dan Sumber Dana

6 Mei 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

M. Sadli*)
*) Pengamat ekonomi dari UI

AKHIR minggu lalu, Anoop Singh dan misi Dana Moneter Internasional (IMF) telah meninggalkan Jakarta, kembali ke Washington, DC. Dari hasil kunjungannya, masyarakat mencoba menebak, adakah permufakatan dengan pemerintah. Menurut pernyataan tokoh-tokoh pemerintah, memang ada, dan "no problem" lagi.

Namun, sebelum pulang, Anoop Singh berbicara di depan lebih dari 100 anggota Indonesian Council on World Affairs (ICWA) dan Financial Club. Dan dari bahasanya, tidak bisa disimpulkan bahwa "all is well". Ketua ICWA, Dr. Arifin Siregar, memuji gaya serta bahasa diplomatik Anoop Singh yang menekankan bahwa Indonesia punya sejarah baik menjaga keseimbangan makro-ekonomi dan punya birokrasi yang pandai, yang semuanya itu bisa membantu Indonesia keluar dari krisis keuangan ini. Secara implisit ia puji tim Widjojo di zaman Soeharto yang berhasil mengekang defisit.

Ia menggambarkan perubahan struktur besar yang telah terjadi dalam anggaran belanja pemerintah sejak krisis, dan yang harus kita pahami, agar sama-sama bisa mencari jalan keluarnya. Mulai tahun 2001, anggaran belanja pemerintah menanggung dua beban baru yang sangat besar. Pertama, beban dari bunga obligasi untuk rekapitalisasi perbankan, dan lain-lain, yang bisa melebihi Rp 80 triliun atau 6 persen dari produk domestik bruto (PDB)--PDB tahun 2001 sekitar Rp 1.450 triliun. Kedua, jumlah transfer ke daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah juga bisa mencapai 6 persen dari PDB. Ada beban lama yang menjadi lebih parah kalau kurs rupiah terpuruk, yakni subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan listrik--"komoditi" yang komponen impornya besar--yang bersama juga bisa mencapai 6 persen dari PDB.

Ketiga pos anggaran belanja pemerintah ini sangat sensitif terhadap kurs rupiah dan tingkat bunga. Tingkat bunga pada dirinya sangat sensitif terhadap dahsyatnya kemerosotan kurs rupiah karena memicu inflasi. Tingkat bunga adalah 4 persen plus tingkat inflasi yang diantisipasi. Artinya, kalau tingkat inflasi yang diantisipasi 11 persen setahun, tingkat bunga harus menjadi 15 persen setahun. Kalau angkanya lebih rendah, modal akan lari ke luar negeri atau ke dolar AS.

Karena asumsi kurs rupiah dan tingkat bunga dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2001 sangat jauh dari kenyataan, dan ada yang tidak akan tercapai dalam segi penerimaannya (adanya pengecualian pajak pertambahan nilai di Batam dan sektor pertanian, dan pengurangan bantuan Bank Dunia dan Jepang), defisit Rp 52,6 triliun membengkak menjadi Rp 90 triliun. Defisit yang lama bisa dibiayai dari penerimaan bantuan luar negeri, penjualan aset Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), dan hasil penjualan saham badan usaha milik negara (BUMN). Jadi, akan ada financing gap (jumlah yang belum ada sumber pembiayaannya) sekitar Rp 37 triliun.

Bagaimana menutupnya? IMF menekankan bahwa tidak akan ada sumber pembiayaan baru dari luar negeri. Bahkan, ada kemungkinan ada pengurangan karena sikap baru Bank Dunia yang diikuti oleh Bank Pembangunan Asia, dan oleh bantuan bilateral pemerintah Jepang. Maka, asumsi bahwa besar defisit tetap sekitar 3,7 persen dari PDB (defisit asli Rp 52,6 triliun adalah 3,7 persen dari PDB Rp 1.425 triliun) menjadi acuan bagi pencarian solusi.

Menteri Koordinator Perekonomian Rizal Ramli menyatakan, dengan melakukan lima jurus, financing gap ini bisa ditutup. IMF tidak menyangkal. Rp 37 triliun adalah sekitar 2,5 persen dari PDB. Andai kata semua subsidi BBM dan listrik bisa dihapuskan, akan ada penghematan yang lebih besar.

Maka, IMF mengimbau agar seluruh bangsa sadar bahwa kita tidak bisa terus-menerus hidup di atas kekuatan fiskal kita sendiri, sehingga beban baru (bunga obligasi, transfer ke daerah, dan tambahan besar subsidi BBM dan listrik) harus ditanggung bersama dengan kerelaan berkorban yang tinggi.

Di zaman Orde Lama, pemerintah masih punya jalan keluar untuk membiayai defisit, yakni dengan mencetak uang baru. Sekarang tidak bisa lagi karena dalam UU Bank Indonesia ditegaskan keharusan menjaga inflasi. Itu sebetulnya juga semacam pajak, yang sifatnya sangat regresif. Yang terkena pajak inflasi adalah lapisan masyarakat bawah yang menjual tenaga kerjanya dan mendapat upah atau gaji yang fixed. Sekarang, semua cara pembiayaan defisit anggaran belanja harus non-inflator.

Menurut Rizal Ramli, pembiayaan financing gap bisa didasarkan atas (1) sebagian dari jumlah transfer ke daerah yang sekitar Rp 80 triliun tidak dibayar secara tunai, misalnya Rp 10-20 triliun, (2) harga BBM dinaikkan untuk menghemat sekitar Rp 5 triliun, (3) penjualan aset BPPN dan saham BUMN menghasilkan Rp 33 triliun, (4) peningkatan pemungutan pajak penghasilan sebanyak Rp 10-20 triliun, dan (5) penghematan dana counterpart rupiah pada anggaran belanja pembangunan, sebesar Rp 10 triliun, berdasarkan kerelaan para donor.

Di atas kertas, itu bisa dijalankan. Tapi, dengan lingkungan atau iklim politik yang sekarang ini, itu pasti menjadi mission impossible. Bagaimana pemerintah sekarang bisa bertahan kalau di bulan Oktober harga BBM akan dinaikkan untuk menghemat Rp 5 triliun itu? Apakah Provinsi Riau, Kalimantan Timur, Aceh, dan Papua rela menerima sebagian dari haknya dalam rangka UU Nomor 25/1999 dalam bentuk kertas berharga? Apakah pengumpulan PPh bisa dinaikkan Rp 10 triliun dalam sembilan bulan yang akan datang?

Kesimpulan, bahkan keyakinan, para kritikus dalam negeri adalah "mission impossible!" Masalahnya: apakah IMF berpikir yang sama?

Sementara itu, Dewan Pengawas IMF tidak akan mengambil keputusan sebelum akhir Mei, mungkin baru Juni 2001, karena menunggu revisi APBN 2001 disetujui DPR dulu. Reaksi DPR saat ini belum bisa diraba.

Tapi, andai kata di bulan Agustus ada pemerintah baru dengan Megawati Sukarnoputri sebagai kepala pemerintahan, dan andai kata beliau memilih tim ekonomi yang betul teknokratis dan bisa memupuk kepercayaan para kreditor dan pasar, persoalan yang sama akan tetap ada. Beberapa pil pahit harus ditelan oleh seluruh bangsa. Namun, diharapkan dengan adanya suatu pemerintahan yang didukung oleh partai-partai besar di DPR, yang tim ekonominya bisa meniup angin baru kepercayaan di pasar, mereka bisa meminta pengorbanan dari masyarakat luas.

Dilema fiskal 2001 tidak akan berakhir dan masalah tahun 2002 dan 2003 menjadi lebih pelik kalau obligasi rekap perbankan harus dilunasi. Satu-satunya jalan keluar adalah bertekad agar segala subsidi BBM dan listrik tidak ada lagi bila ada pemerintah baru hasil pemilu 2004.

Beban utang pemerintah bisa menjadi lebih ringan kalau kurs rupiah menjadi stabil, lalu menguat kembali. Kebangkitan ekonomi akan membuat harga-harga aset naik. Dengan demikian, di satu pihak, pemerintah punya utang besar, sedangkan di pihak lain, pemerintah punya banyak aset.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus