Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Tips Kesehatan

8 Maret 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Viagra Boleh Resmi

Pil Viagra sebentar lagi sudah boleh beredar di Indonesia secara resmi. Lampu hijau itu menyala setelah Departemen Kesehatan melakukan penelitian, bekerja sama dengan lembaga penelitian yang dipimpin ahli urologi Dr. Akmal Tahir dari Universitas Indonesia. Tapi selama enam bulan ini peredarannya masih terbatas. Tidak semua apotek bisa menyediakannya. Viagra diutamakan beredar di klinik-klinik impotensi.

Ini bukan karena keampuhan Viagra masih diragukan. ''Obat ini benar-benar efektif. Efektivitasnya tidak diragukan lagi. Masalahnya adalah jangan sampai Viagra digunakan oleh orang-orang yang tidak membutuhkan," kata Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan, Sampurno.

Yang dikhawatirkan, Viagra dikonsumsi karena persepsi yang salah sehingga membahayakan jiwa pemakainya. Jika obat ini diminum bersamaan dengan nitrat atau nitrit, yang banyak terdapat dalam obat untuk jantung, misalnya, akan terjadi pelebaran pembuluh darah di jantung dan penis. ''Viagra bukan obat untuk bersenang-senang tapi untuk menyembuhkan disfungsi ereksi," kata Sampurno.

Penderita disfungsi ereksi pun, kalau penyebabnya adalah faktor psikologis, terapi yang tepat adalah konseling. Impotensi memang bisa disebabkan oleh faktor organik atau psikologis. Pada pasien berusia 50-70 tahun, sekitar seperempat kasus impotensi berhubungan dengan stres dan problem kejiwaan. Lainnya dipengaruhi oleh tekanan darah, alkohol, diabetes, ketidakseimbangan hormonal, atau efek samping dari pengobatan. Kalau problemnya karena faktor kejiwaan, Viagra memang bukan jawaban yang tepat karena obat ini tak bisa bekerja tanpa rangsangan emosi.

Jarak Aman untuk Hamil

Sekalian repot, demikian biasanya alasan para pasangan muda yang memiliki anak balita yang selisih usianya tak lebih dari satu setengah tahun. Di kubu lain, ada pasangan muda yang menunda lebih dari empat tahun untuk punya momongan lagi dengan dalih ingin total mencurahkan perhatian pada setiap anak. Mana yang paling baik? Ternyata, dari tinjauan kesehatan, dua pilihan tersebut sama-sama kurang menguntungkan.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Centers for Disease Control and Prevention, Amerika Serikat, jarak terbaik untuk hamil kembali setelah melahirkan adalah 18-23 bulan. ''Tubuh sang ibu tahu bahwa interval ini bagus untuk kesehatan si jabang bayi," ujar Dr. Bao-Ping Zhu dalam New England Journal of Medicine edisi 25 Februari lalu.

Studi yang berdasarkan pada penelitian terhadap 173.205 kelahiran di Utah ini memperlihatkan bahwa jarak kehamilan yang terlalu dekat tidak baik untuk kesehatan janin, adapun jarak yang terlalu jauh berakibat lebih buruk. Kedua kondisi ini, selain sama-sama bisa menyebabkan kelahiran bayi prematur dan kecil, yang rawan terhadap masalah kesehatan dalam jangka waktu lama, juga bisa mengancam jiwa bayi.

Janin yang dikandung tak lama setelah kelahiran akan mengalami masalah karena tubuh sang ibu masih kekurangan vitamin, darah, dan sistem reproduksi yang belum pulih. Sudah begitu, masalah ini ditambah pula dengan stres karena harus mengurus bayi yang baru lahir. Pada jarak yang terlalu lama, uterus wanita yang hamil biasanya melebar sehingga aliran darah ke rahim meningkat, sehingga kondisi tubuh ibu melemah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum