Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUNIA akademik kita baru-baru ini dihebohkan oleh dugaan plagiarisme yang melibatkan Dr. Siti Fadilah Supari, yang kini menjadi Menteri Kesehatan. Bila benar terjadi, ini merupakan pengalaman pahit dan seharusnya tidak perlu terjadi di lingkungan akademik yang memiliki nilai tersendiri.
Dugaan berpangkal pada laporan hasil penelitian tahun 2002 yang konon dipresentasikan Siti Fadilah di suatu seminar. Judulnya Cholesterol-Lowering Effect of Soluble Fibre as an adjunct to Low Calories Indonesian Diet in Patients with Hypercholesterolemia. Laporan ini diduga memiliki kesamaan dengan laporan hasil penelitian James W. Anderson dengan judul Long-term Cholesterol-Lowering Effects of Psyllium as an adjunct to Diet Therapy in the Treatment of Hypercholesterolemia. Tulisan Anderson dimuat di American Journal of Clinical Nutrition, volume 71, tahun 2000.
Tidak jarang peristiwa seperti itu terjadi dalam dunia akademis. Hanya, kasus kali ini bisa membawa implikasi politik karena Siti Fadilah menjabat Menteri Kesehatan. Apalagi kabinet Susilo Bambang Yudhoyono tengah menjadi sorotan publik karena sedang menjalankan program 100 hari. Selama ini para menteri juga dituntut memiliki integritas, kredibilitas, dan kejujuran, termasuk tentu saja kejujuran intelektual.
Dunia pendidikan menempatkan pengembangan ilmu sebagai tujuan utama. Wajar apabila dihindari pendekatan kekerasan, baik kekerasan fisik maupun nonfisik. Kekerasan fisik pernah mencuat dalam kasus tewasnya Wahyu Hidayat, mahasiswa Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) karena dianiaya oleh seniornya.
Kejujuran selalu dijunjung tinggi dalam dunia akademik. Sehingga praktek plagiarisme dianggap paralel dengan kekerasan nonfisik. Kekerasan fisik maupun nonfisik merupakan fenomena lama yang lahir kembali di alam freedom of academic, suatu bentuk penyimpangan dari kebebasan akademik itu sendiri.
Perilaku yang menyimpang di dalam dunia pendidikan merupakan paradigma baru. Ini juga menunjukkan adanya krisis legitimasi seperti digambarkan oleh Prof. Wayne Morrison dalam bukunya The Future of Criminology. Di situ ia membahas arah penyimpangan masyarakat yang mengalami modernisasi dari segala bidang.
Dalam praktek plagiarisme, penyebutan referensi kepustakaan agak sulit dijadikan bentuk pertanggungjawaban akademik. Soalnya, referensi kepustakaan bukan sebagai salah satu barometer pertanggungjawaban tersebut. Tidak sekadar mencantumkan daftar referensi, dalam penulisan karya ilmiah diwajibkan membuat catatan kaki (footnotes). Tidaklah mungkin, suatu karya ilmiah tanpa mencantumkan catatan kaki memiliki tanggung jawab akademik.
Jadi, suatu karya ilmiah akan melanggar hukum apabila sama sekali tidak mencantumkan narasumber, baik lewat referensi kepustakaan maupun catatan kaki. Namun akan menjadi pelanggaran akademik yang bersifat administratif apabila penyebutan narasumber hanya terbatas sebagai referensi kepustakaan. Pelanggaran akademik dan administratif lebih mendekatkan pada sisi etika dan moral, bukan hukum.
Memang antara pelanggaran etika dan hukum memiliki batas yang tipis. Dikatakan oleh Prof. Oemar Seno Adji, S.H., etika dan hukum mengandung norma-norma yang saling mengikat, sehingga jika ada konflik atau koalisi dengan ketentuan hukum, etika harus mundur dan menyediakan tempatnya bagi hukum. Kadang-kadang ada aspek hukum dalam persoalan etika. Bahkan Prof. Mr. Remmelink menegaskan: etika/moral ihwalnya adalah tentang baik dan jahat, sedangkan di dalam hukum pidana persoalannya adalah tentang jahat dan kurang jahat. Dalam hukum disipliner yang berlaku dalam dunia akademis, kepentingannya adalah menjaga ketertiban dan ketenangan/keamanan
Baik etika maupun hukum memiliki kehendak yang sama, yakni menjaga keutuhan norma-norma, menjamin ketenangan bagi masyarakat dan negara. Jika ada pelanggaran norma, dituntut adanya moral responsibility. Lain halnya kalau terjadi pelanggaran hukum, harus ada legal responsibility, baik berupa denda maupun bentuk lainnya.
Dalam kasus plagiarisme, dewan guru besar sangat berperan dalam menentukan ada tidaknya academic responsibility dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban moral dan etika. Tentunya dewan harus independen, terlepas dari berbagai kepentingan, baik institusional maupun individual. Keputusan yang berkaitan dengan pemeriksaan terhadap diri Dr. Siti Fadilah Supari, baik menyangkut pelanggaran administratif maupun pelanggaran hukum, memiliki keterkaitan dengan moral responsibility.
Komitmen para menteri dalam bentuk penandatanganan kontrak politik merupakan budaya baru yang harus disadari dan dijiwai maknanya secara mendalam. Artinya, apabila terjadi polemik yang berkepanjangan seputar kasus plagiarisme, pemegang jabatan publik tersebut harus menentukan sikap. Ini bisa didasarkan atas kejujuran intelektual dan akademis, bukan mempermasalahkan sudah ada tidaknya keputusan dewan guru besar tersebut. Itulah bentuk tanggung jawab moral.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo