Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lima negara di Asia Tenggara, yaitu Indonesia, Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand, membentuk hubungan budaya bersama atau shared culture. Mereka menyepakati mengusulkan kebaya ke dalam daftar Intangible Cultural Heritage (ICH) The United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO). Jenis kebaya yang menjadi nomine bersama kebaya goes to UNESCO itu adalah kebaya labuh dari Kepulauan Riau dan kebaya kerancang atau dikenal sebagai kebaya encim dari Betawi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) Hilmar Farid menuturkan, proses pengusulan dimulai ketika Perdana Menteri Malaysia Dato’ Sri Ismail Sabri bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Jakarta pada 2021. Pertemuan ini membicarakan berbagai peluang kerja sama di aneka bidang, salah satunya di bidang kebudayaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Termasuk membicarakan pengusulan bersama bagi beberapa warisan budaya tak benda yang memiliki sejarah shared culture. Salah satunya kebaya,“ kata Hilmar, dalam rangkaian workshop "Pengusulan Kebaya Sebagai Nominasi Multinasional" di Jakarta, Selasa, 7 Februari 2023. Setelah berdiskusi, menurut dia, disepakati mengajak negara anggota ASEAN lainnya yang juga memiliki tradisi kebaya untuk bergabung dalam nominasi bersama kebaya.
Peserta Parade Kebaya Nusantara mengenakan kebaya labuh dari Kepulauan Riau di Sarinah, Jakarta. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.
Asal Mula Kebaya Labuh
Merujuk draf yang disusun Firman Afriyansyah, salah satu anggota Tim Kerja Dewan Kesenian Kepulauan Riau untuk Kebaya Labuh for Intangible Cultural Heritage UNESCO, para perempuan Melayu, terutama di bagian selatan Semenanjung Melayu, mulai mengenakan kebaya labuh sebagai busana keseharian. Kebaya berasal dari bahasa Turki, yaitu “al akibiya al Turkiyya”. Artinya adalah baju Turki yang berbelah dan lipatannya selisih serong di depan, ke kiri, dan ke kanan.
Namun ada juga pendapat bahwa baju ini dikenalkan oleh Portugis yang datang ke Malaka pada awal abad ke-16. Kemudian sejenis baju labuh (panjang) yang terbuka di depan seperti yang dipakai para perempuan Portugis disenangi oleh perempuan di Pantai Timur Semenanjung dan Johor-Riau Pahang. Itulah sebabnya kebaya labuh dianggap sebagai salah satu pakaian perempuan yang tertua di tanah Melayu.
Baju kebaya labuh disebut juga dengan baju belah labuh besar. Pakaian itu dianggap menerima unsur-unsur budaya Asia Barat, karena sekali pandang seakan-akan baju ini seperti “djubba” di Mesir.
Di seluruh Tanah Melayu, pemakaian kebaya labuh sangat menonjol pada 1800-an di semua peringkat usia dan latar masyarakat, baik kaum Cina maupun Keling. Diterimanya kebaya tersebut pada zaman itu kemungkinan besar bertujuan untuk memenuhi cita rasa masyarakat Melayu. Sebab, bercirikan kesopanan, di samping potongan yang menarik dan sesuai dengan kemauan budaya masyarakat kala itu.
Pendiri Sanggar Lembayung dan pelestari busana warisan Melayu Kepulauan Riau, Mellyana Anggraini, mengatakan, proses awalnya mengapa kebaya labuh yang terpilih ialah lebih dari kedekatan dengan empat negara ASEAN lainnya. "Bagaimana kami membiasakan penggunaan kebaya labuh dalam acara tradisonal, upacara pengantin, dan tentu saja irisan sejarah dari Kerajaan Lingga yang wilayah kekuasaannya luas, istilahnya adik-beradik. Nah, sebelumnya kami juga sudah mencatatkan lebih dulu sejak 2021," ucap Mellyana saat ditemui dalam acara farewell dinner workshop pengusulan kebaya itu.
Menurut Mellyana, kebaya labuh sering juga disebut kebaya panjang, yaitu pakaian serupa baju kurung dengan belahan baju di depan. Panjangnya sampai ke lutut atau di bawah lutut. Sejak zaman Kerajaan Lingga-Riau, kebaya labuh telah menjadi pakaian tradisional perempuan Melayu Lingga. Dalam perkembangannya, kebaya labuh juga dikenakan di luar Lingga, hingga ke Riau daratan.
"Kebaya labuh memiliki kekek (kain segi empat yang dilipat untuk membentuk lekuk ketiak) dan ber-pesak di bagian depan. Potongan kebaya longgar.” Untuk menutup belahan depan, biasanya dikenakan kerongsang (peniti tiga serangkai atau peniti ibu-anak). Kain bawahnya biasanya batik atau kain songket. Sebagai penutup kepala, dikenakan tudung lingkup atau kerudung.
Biasanya kebaya labuh dipadukan dengan tudung manto, sehelai selendang dengan benang kelingkan berbahan sifon atau ceruti. Selendang itu berasal dari sebuah perkampungan di Daik Lingga yang dikenal dengan nama Kampung Mentok. Sebagai pusat Kerajaan Johor Riau yang dipimpin oleh Sultan Mahmud Syah III pada 1787, semua perempuan bangsawan mengenakan selendang itu dalam acara besar keagamaan atau kerajaan. Pada masa itu, warna tudung manto menunjukkan tingkat kedudukan dan kebangsawanannya.
Kini, kebaya labuh masih dikenakan orang Melayu di Kepulauan Riau dan Riau, terutama untuk busana resmi acara khusus, pakaian pengantin, dan kostum dalam persembahan kesenian Melayu seperti Tari Persembahan dan Teater Bangsawan. "Dengan masuknya kebaya labuh dalam join nominasi ke UNESCO, diharapkan semakin banyak orang yang mengetahui dan generasi muda juga turut melestarikannya," demikian harapan Mellyana.
Model mengenakan kebaya kerancang atau kebaya encim dari Betawi di Museum Nasional, Jakarta. Dok. TEMPO/Muhammad Hidayat
Dulu Encim, Sekarang Kerancang
Kebaya kerancang atau lebih dikenal dengan nama kebaya encim, mengutip dari laman Warisanbudaya Kemdikbud, mulanya berasal dari bordir kerancang hasil kreasi seni perempuan Betawi. Itu adalah adaptasi dan kristalisasi budaya yang datang dan ada di Betawi, seperti Cina, Arab, Belanda, dan Portugis. Lalu dicampur dengan kemampuan pengolahan dan imajinasi masyarakat Betawi. Bahan kebaya itu dibordir kerancang dengan motif kembang pada bagian sondai atau asimetris dan pada pergelangan tangan.
Soal penggunaannya, busana ini biasanya menjadi pendamping pengantin dalam pesta perkawinan. Ada sejumlah ketentuan dalam pemakaiannya. Tata rias wajah menggunakan bedak disesuaikan dengan warna kulit pemakai. Rias mata tidak diperkenankan menggunakan cat eye atau fancy look. Sanggulnya dengan model yang dinamakan konde bunder. Menggunakan kain sarung batik Betawi, Lasem, dan Cirebonan dengan kepala kain berbentuk tumpal, tombak, buket, susur, dan sebagainya. Alas kaki berupa selop tutup bertatahkan emas permata yang sekarang diganti dengan mote ataupun polos.
Perhiasan yang dikenakan antara lain anting seketel atau giwang asur, gelang listring atau gelang ular, cincin bermata berlian, dan kalung tebar. Kalung dapat diganti dengan peniti tag atau peniti cangkrang atau peniti rantai tiga. Bisa juga dengan kalung rantai polos biasa berliontin. Keserasian menjadi unsur penting dalam pemakaiannya. Peniti rantai tiga dan kalung liontin biasanya dipakai oleh ibu-ibu berusia muda. Sedangkan peniti tag atau peniti cangkrang umumnya dipakai oleh ibu-ibu di atas usia 50 tahun.
Namun, dalam perkembangan di masa sekarang ini, orang lebih mementingkan selera ketimbang pakem tradisi itu. Pengaruh pergaulan atau gaya hidup perempuan metropolitan memberikan keleluasaan bagi pemakainya, termasuk pengaruh mode.
Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi Yahya Andi Saputra mengatakan, kebaya kerancang bisa ikut bergabung dilihat dari kekhasan nama kebaya tersebut. Model kerancang merupakan metamorfosis dari satu bentuk yang sering dipakai orang zaman dulu, sekitar 1880. Dulu disebut dengan kebaya encim yang lebih dekat dengan peranakan.
“Kenapa kerancang? Karena mempunyai ciri bordir yang terbuat pakai tangan, yang dalam bahasa lebih arkais lagi disebut terawang,” ucap Yahya. Bahan dasarnya bisa pakai lace dan silk dengan bordir khas yang dibentuk sondai. “Kalau dulu jahitnya pakai tangan atau handmade, nah, sekarang sudah jarang. Makanya keahlian turun-temurun juga menjadi nilai penting atau memori yang terpelihara bagi pengajuan kebaya kerancang.”
ECKA PRAMITA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo