BAYI lelaki mungil di tabung inkubator itu sekilas kelihatan normal. Rambutnya lebat, hidungnya agak mancung, kakinya yang tersembul di balik selimut kadang bergerak lemah. Tapi jika kain putih penutup badannya dibuka maka tampak sesuatu, yang bagi sementara orang memang mengerikan. Di bawah dadanya, yaitu di sisi kanan atas pusar, menggelambir gulungan usus besar berwarna merah tua. Di bawah usus halus dan usus besar tadi ada tonjolan daging berwarna biru kehijauan -- dan itu adalah lambung si bayi. Karena pencernaan bayi itu berada di luar tubuh, dalam dunia kedokteran ini disebut dengan gastroshisis -- berasal dari gastro (lambung) dan shisis (usus). Ini adalah cacat yang langka, yang dibawa sejak lahir dan hanya mungkin terjadi satu di antara 30 ribu bayi. Selagi janin itu dalam kadungan, ibu sang bayi (ia keberatan disebut namanya) yang berasal dari Solo itu tak merasakan ada kelainan. Gerakan bayinya bagus. Ketika lahir pada 23 Maret lalu di rumahnya dan ditolong seorang bidan, bayi ini menangis keras seperti bayi normal. Tapi bayi yang delapan bulan dalam kandungan ini berat badannya 2,2 kg ketika lahir. Kalau bayi normal sekitar 2,5 kg. Selain itu, bidan juga melihat ada sesuatu yang tak beres. Ia kemudian membawa si bayi yang belum bernama itu ke Rumah Sakit Umum Jebres, Solo, untuk mendapatkan perawatan. Dokter di sana angkat tangan lalu menganjurkan agar bayi itu dibawa ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito di Yogyakarta. Sayang, terlambat. Waktu yang dihabiskan selama 15 jam dalam perjalanan bayi dari rumah sampai ke RSUP Sardjito menyebabkan kondisi bayi semakin buruk. Ia tidak lagi menangis, dan gerakan tubuhnya melembah. "Kami tidak bisa berbuat apaapa. Bagian dalam bayi yang tak terbungkus itu sudah terinfeksi oleh udara luar," kata Dokter Roesman Soewarno, dari RSUP Sardjito, yang menangani kasus tersebut. Menurut dokter ahli bedah anak itu, alat pencernaan bayi itu sudah rapuh dan mudah pecah ketika tiba di Yogyakarta. Maka, yang bisa mereka lakukan hanya menaruh bayi tersebut di tempat steril dan membasahi bagian yang terbuka itu dengan larutan fisiologis yang berfungsi menjaga kelunakannya. Setelah 20 jam dirawat di RS Sardjito, bayi itu meninggal 25 Maret lalu. Sampai sekarang belum diketahui penyebab gastroshisis. Tapi, menurut perkiraan sementara para ahli, gastroshisis terjadi akibat regresi (berhenti berfungsi) yang terlalu dini pada salah satu jaringan darah pembentuk dinding perut karena vasa darah mesenterikoonfalikus ketika bayi dalam perut. Akibatnya tercipta celah pada dinding perut sehingga isinya bebas keluar. Mengapa terjadi regresi? Itu juga masih misteri. Tapi, menurut Roesman, bayi dengan cacat semacam ini masih memungkinkan ditolong lewat operasi. Syaratnya: bayi tersebut dioperasi sebelum melewati enam jam sejak dilahirkan. Itulah masa yang ideal. Jika seorang dokter menghadapi bayi dengan kasus semacam itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah segera menyelimuti bayi atau memasukkannya ke inkubator untuk menjaga suhunya. Sebab, jika usus bayi keburu rapuh karena kedinginan, dia sudah tidak bisa ditolong lagi. Selain itu, usus yang keluar dibasahi dengan larutan garam fisiologis dan ditutup kasa steril. Setelah itu udara dalam usus bayi dikeluarkan (dekompresi) dengan memasukkan selang lewat hidung. Dan bayi itu dipuasakan. Kemudian dilakukan pemberian infus dan antibiotika. Proses operasinya dimulai dengan memperbesar celah sehingga memudahkan memasukkan usus yang terburai, setelah sebagian usus dibuang agar pas di rongga perut. Kemudian barulah dirapatkan dengan jahitan. Operasi ini hanya membutuhkan waktu kurang dari dua jam. Di luar negeri, operasi semacam ini biasanya dilakukan tidak sekali. Para dokter di sana memasukkan seluruh isi perut tanpa memotong sebagian usus. Untuk itu mereka harus menghindari agar prosesnya tak menekan dinding diafragma (di antara rongga perut dan rongga dada) yang bisa mengakibatkan bayi sesak napas dan tewas. Cara yang bertahap itu membutuhkan peralatan khusus, misalnya kantong silastik untuk penutup perut sementara. Peralatan semacam inilah yang tidak dimiliki RSUP Sardjito. Karena itu Roesman harus melakukan operasi sekali lagi. Untuk operasi itu -- berdasar akalnya sendiri -- ia membuang sebagian usus agar tak membuat napas bayi sesak ketika isi perutnya dimasukkan. Dengan cara itu, Roesman sudah menyelamatkan tiga dari delapan pasiennya dalam enam tahun ini. Tantangan lain yang sulit dipenuhi rumah sakit di Indonesia adalah ketelitian perawatan pascaoperasi. Misalnya, suhu tubuh bayi yang sehabis dioperasi harus diperhatikan dengan cermat, tekanan darah, pernapasannya, serta bebas infeksi. Tidak mengherankan jika di negara maju saja 50% bayi meninggal pascaoperasi. Belum lagi jika melihat jumlah ahli bedah anak di Indonesia, jumlahnya baru 14 orang. Akibatnya banyak tenaga medis yang tidak tahu harus berbuat apa jika menghadapi kasus semacam ini. Dan kematian bayi karena usus gastroshisis di Indonesia, meski tak didata, lebih banyak karena ketidaktahuan itu. Cara lain menyelamatkan bayi gastroshisis dapat dilakukan selagi bayi masih dalam kandungan. Yakni dengan mengoperasi terhadap bayi tersebut dengan terlebih dulu "membuka" perut ibunya. Setelah selesai dioperasi, bayi dimasukkan kembali ke dalam kandungan. "Tapi, itu baru bisa dilakukan di negara maju yang memiliki alat dan ahli yang juga piawai," ujar Roesman. Rustam F. Mandayun dan M. Faried Cahyono (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini