TIGA pejabat kesehatan Prancis divonis empat tahun penjara, dua pekan silam. Ternyata, hukuman itu memicu kemarahan. "Ini penghinaan. Tahukah mereka nasib anakku?" teriak Joele Boecher di pengadilan, seperti direkam kantor berita Reuters. Ludovic yang menderita hemofilia adalah anak lelaki Boecher. Tujuh tahun silam ia diberi obat antihemofilia. Kini Ludovic sekarat, setelah menerima obat yang dibuat dari komponen darah itu, yang ternyata mengandung HIV, virus penyebab AIDS. "Ini skandal medis terbesar abad ini," begitu Boecher menuding. Dalam British Medical Journal, Juli lalu, disebutkan sekitar 7.000 orang -- di antaranya 1.200 penderita hemofilia -- terinfeksi HIV setelah menerima transfusi. Peristiwa itu pada tahun 1985. Direktur pusat transfusi darah nasional Prancis (CNTS), Michel Garetta, ketika itu mengetahui bahwa darah yang dikumpulkan dari donor, menurut hasil tes Elisa, positif terkontaminasi AIDS. Toh ia tak mengonfirmasi hasilnya dengan tes Western Blot, dan langsung mendistribusikannya. Sebab, menurut Garetta, ia ditekan kementerian kesehatan. CNTS dituntut memberi untung dan mampu bersaing di Eropa. Saat itu Western Blot belum komersial, dan baru saja dikembangkan di Amerika Serikat, sehingga biayanya mahal. Sebagai dokter, Garetta tahu bahayanya AIDS, penyakit yang menggerogoti sistem kekebalan tubuh. Pada tahun 1982, untuk pertama kali, dilaporkan ada yang terinfeksi AIDS karena transfusi. Berarti bukan hanya homoseks yang bisa menularkan AIDS, seperti diduga semula. Sejak itu di AS seorang gay tak peduli mengidap HIV atau tidak -- dilarang menjadi donor. Setahun kemudian virus itu ditemukan. Siapa penemunya, saat itu ramai diperdebatkan. AS merasa menemukan virus itu lewat metode Western Blot. Prancis juga mengklaim sebagai penemunya, karena virus yang ditemukan di AS itu hasil isolasi virus HIV yang dikirim tim medis Prancis ke AS, setelah sebelumnya dites dengan metode Elisa. Karena sentimen tadi, adakah CNTS menolak mengirim ke AS sampel darah yang diduga terkontaminasi AIDS itu. Hal ini tidak terungkap hingga kini. Sedangkan pastinya, tercatat lebih dari 250 penderita hemofilia tewas karena AIDS. Walau yang meninggal sebanyak itu, pemerintah tak menyelidikinya. Justru yang dilakukan, memecat Garetta dan asistennya, Jean Pierre Allain, kepala riset transfusi CNTS, Jacques Roux, direktur jenderal kesehatan, dan Robert Net ter, direktur laboratorium kementerian kesehatan. Menurut pengadilan, ada dua hal yang menegaskan darah itu tercemar. Pertama, surat seorang ahli penyakit menular kepada Prof. Roux, 12 Maret 1985. Ahli ini menegaskan, semua darah yang dari donor itu sudah terkontaminasi. Kedua, keputusan pemerintah pada 24 Juli 1985, yang menolak memberi asuransi untuk darah yang tidak dipasteurisasi. Jadi, pemerintah memang sudah lama tahu, cuma tutup mata. Rupanya, tidak mudah menyeret dokter ke pengadilan, sehingga kasus itu berlarut. Apalagi tak ada yang bersedia maju sebagai saksi, walau korban sudah bertumbangan. Waktu itu mereka merasa aib jika ada anggota keluarganya mengidap AIDS. Tahun 1991 barulah empat pejabat tadi dibawa ke pengadilan. Kendati didakwa melakukan penipuan, mereka memang tidak berniat membunuh atau meracuni penderita hemofilia. Mereka hanya tidak peduli. "Ini kejahatan moral, tak cuma melanggar peraturan. Garreta seharusnya dihukum 20 tahun pen jara," ujar pengacara Michel Bernard-Requin. Masyarakat marah ketika hakim mengganjar Garetta, Allain, dan Roux dengan hukuman ringan, dan Netter dinyatakan tak bersalah. Padahal, Garetta juga didenda US$ 100.000, dan ia bersama Allain harus bayar US$ 184 juta kepada korban. Cerobohkah dia? Menurut rekan akrabnya, Masri Rustam, Kepala Pelayanan Usaha Transfusi Darah Pusat Palang Merah Indonesia (PMI), yang juga Wakil Presiden International Society of Blood Transfusion (ISBT), skrining AIDS dengan tes Elisa di Prancis sudah dilakukan sejak tahun 1984. Tapi pembuatan antihemofilia belum menggunakan teknik pasteurisasi. Teknik itu dipopulerkan baru pada tahun 1985. Garetta, yang juga Sekjen ISBT, meloloskan darah yang tercemar itu. Pertimbangannya, jika darah tersebut dimusnahkan, berarti Prancis harus impor darah. Keputusan meloloskan darah itu, kabarnya, mendapat restu dari perdana menteri, pejabat kementerian kesehatan Prancis, dan ketua perhimpunan hemofilia. Seandainya obat yang diberikan itu buatan sebelum tahun 1985, menurut Masri, Garetta tidak bersalah, karena waktu itu teknik pasteurisasi untuk membunuh virus HIV belum diketahui. Jika kemudian jatuh korban, bagaimana mendetek sinya bahwa obat itu bikinan sebelum atau sesudah tahun 1985? "Kalau toh Garetta salah, kenapa dia saja yang diseret? Bagaimana dengan perdana menteri dan pejabat lain?" ujar Masri. Bersama dokter lain di dunia, ia ikut meneken nota keprihatinan terhadap musibah yang dialami Garetta. Garetta sendiri memang menyatakan tidak bersalah. "Ini keputusan pemerintah. Pemerintahlah yang bertanggung jawab," katanya di Bandara Roissy Charles de Gaulle, Prancis. Ia baru tiba dari AS ketika ditangkap, dan langsung dibawa ke penjara Sante, pekan lalu. Garetta juga akan mengajukan banding. Anggota parlemen dari sayap kanan kini berusaha mengajukan bekas perdana menteri Laurent Fabius, eks menteri sosial Georgina Dufoix, dan bekas menteri kesehatan Edmond Herve, ke pengadilan. Karena mereka juga ikut memberi dukungan. Bagaimana di Indonesia? PMI punya 135 cabang. Di situ darah diperiksa dengan tes Elisa. Ada 68 darah positif mengandung bibit AIDS. Ketika diperiksa ulang di Jakarta, hanya ditemukan 28 yang positif. Dan setelah dites lagi dengan Western Blot, 22 dinyatakan negatif serta dua diragukan. Toh, supaya aman, ke-68 kantong darah itu dimusnahkan. "Jadi, dijamin aman, deh," kata Masri. Sri Pudyastuti R.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini