DALAM situasi Kamboja sekarang, ketika Khmer Merah menjadi persoalan karena menolak ikut dalam pemilu Kamboja, tak begitu mudah memperoleh wawancara dengan tokoh mereka. Bila akhirnya Khieu Samphan bersedia diwawancarai oleh wartawan TEMPO Yuli Ismartono, itu karena Ketua Demokratik Kampuchea, nama resmi Khmer Merah, berharap sikapnya bisa dibaca oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Ali Alatas. Soalnya, Ali Alatas, bersama Menteri Luar Negeri Perancis Roland Dumas, diharapkan oleh PBB menemukan jalan agar keempat faksi di Kamboja ambil bagian dalam pemilu tahun depan, hingga perdamaian di Kamboja benar-benar terwujud. Pertemuan ini direncanakan dilaksanakan di Beijing awal pekan depan. Selaku anggota Dewan Nasional Tertinggi, lembaga yang beranggotakan wakil dari ke-4 faksi (Khmer Merah, faksi Sihanouk, faksi Son Sann, dan faksi Hun Sen) Khieu Samphan tinggal di suatu kompleks perumahaan mewah di belakang istana kediaman Pangeran Norodom Sihanouk. Kompleks itu dilingkari pagar tinggi, dijaga oleh polisi pemerintahan Phnom Penh. Maklum, ketika Khieu Samphan untuk pertama kalinya tiba di Phnom Penh, tahun lalu, ia diserang sejumlah orang hingga kepalanya berdarah. Toh tokoh Khmer Merah yang dijagokan Politbiro Demokratik Kampuchea untuk melakukan berbagai perundingan itu hanya mendapat pengawalan seorang pengawal. Menurut para pengamat, meski Samphan diberi mandat oleh Politbiro Demokratik Kampuchea, tetap Politbiro yang memutuskan segalanya. Bisa jadi soal ini juga menjadi penghambat perdamaian. Dalam wawancara dengan TEMPO, ia didampingi penerjemahnya, Duta Besar Kor Bun Heng. Berikut cuplikan wawancara itu: RESOLUSI Dewan Keamanan PBB belum lama ini memutuskan, pemilu Kamboja akan tetap berjalan terus meski Kampuchea Demokratik tak ikut serta. Apa komentar Anda? Tujuan perjuangan rakyat kami adalah mengusir pasukan Vietnam dari Kamboja, agar negeri kami bisa merdeka dan kembali bersatu. Suatu Kamboja yg berpolitik demokratik liberal, berekonomi pasar bebas. Ini jelas diuraikan dalam Perjanjian Paris. Guna mewujudkan itu dibentuk dua lembaga, yakni Pemerintahan Peralihan PBB dan Dewan Nasional Tertinggi. Kedua lembaga diharuskan bekerja sama, khususnya soal pengawasan dan verifikasi penarikan pasukan Vietnam. Kenyataannya, tidak ada kerja sama yang efektif antara dua lembaga itu. Yang ada, kerja sama antara Pemerintahan Peralihan dengan rezim Phnom Penh (Hun Sen). Padahal rezim itu didirikan dan dikuasai oleh Vitenam. Merekalah yang menjalankan pemerintahan, terutama lembaga polisi rahasianya. Sekarang mereka memaksa pasukan kami dilucuti, agar pemilu bisa terlaksana. Ini berarti kami harus meninggalkan perjuangan kami, berarti mereka ingin Vietnam menduduki Kamboja. Kami tidak bisa menerima ini. Kami tidak akan ikut dalam pemilu semacam itu. Menurut Komandan Pasukan Perdamaian PBB, Anda tak pernah menjawab soal bukti-bukti masih adanya pasukan Vietnam di Kamboja. Di manakah tentara itu dan berapa jumlahnya? Pengawasan dan verifikasi penarikan pasukan Vietnam memerlukan kerja sama antara Pemerintah Peralihan dan Dewan Nasional Tertinggi. Bila ini benar dilaksanakan, rakyat pasti akan menunjukkan di mana tentara Vietnam berada. Tapi rakyat tidak berani bicara karena rezim Phnom Penh mengancam mereka. Vietnam menggunakan rezim Phnom Penh untuk membungkam rakyat Kamboja. Dan Pemerintahan Peralihan PBB menerima saja dan mengatakan tak ada bukti kehadiran pasukan Vietnam. Jadi bagaimana Pemerintahan Peralihan PBB bisa mengawasi kehadiran tentara Vietnam? Jika terus-menerus begini, PBB akan gagal di Kamboja. Bukan disebabkan kami, tapi karena tak ada perdamaian di Kamboja. Ada lagi soal pendatang Vietnam. Mereka datang di Kamboja merampas tanah dan ladang milik rakyat. Kami, orang Kamboja, jelas tak bisa menerimanya. Perlawanan rakyat bukan saja berdasarkan nasionalisme, tapi karena masalah kehidupan juga. Mereka ingin memiliki tanah dan ladangnya sendiri. Dalam sejarah Kamboja, kebencian orang Kamboja terhadap Vietnam sudah lama ada. Yang dikhawatirkan adalah dampak kebencian yang bisa meluap ini. Duta Besar Amerika di Kamboja pernah berkata bahwa ia takut mimpi buruk menjadi kenyataan: mayat-mayat orang Vietnam mengapung di Sungai Mekong. Tapi apakah orang sipil itu anggota tentara Vietnam? Begini. Wakil menteri luar negeri Inggris belum lama ini berkunjung ke Phnom Penh. Ia mengatakan, Vietnam tak berambisi menjajah Kamboja lagi, karena sedang mengalami kesulitan di dalam negerinya. Vietnam, katanya, sangat membutuhkan dana atau modal. Dia beri contoh kesediaan Hanoi menerima kembali pengungsi dari Hong Kong. Namun di Kamboja masalahnya lain. Pasukan Vietnam berada di Kamboja, melanjutkan pendudukannya lewat rezim Phnom Penh. Lihat saja. Polisi rahasia Vietnam-lah yang menguasai polisi rahasia Kamboja, yang menguasai angkatan bersenjatanya. Dan pendatang Vietnam itu dikirim oleh Hanoi dalam rangka memvietnamkan Kamboja. Jelasnya, Hanoi mengirim warganya untuk merampas tanah rakyat Kamboja. Ya, mereka adalah bagian dari pasukan Vietnam yang menduduki Kamboja. Namun demikian, sebagai kompromi, kami bersedia menyelesaikan masalah pendatang ini pada waktu yang tepat. Setelah dibentuk pemerintah baru, bisa dirundingkan dengan Hanoi bagaimana caranya memulangkan orang-orang Vietnam itu. Yang menjadi masalah sekarang, pendatang baru dari Vietnam tetap mengalir. Ini terang-terangan melanggar perjanjian Paris, dan Pemerintah Peralihan PBB tak berbuat apa-apa. Ada satu masalah lagi. Pendatang-pendatang Vietnam itu diberi kewarganegaraan Kamboja oleh rezim Phnom Penh. Mereka pun berhak memberi suara dalam pemilu nanti. Ini satu pelanggaran lagi. Saya tekankan lagi, di antara mereka terdapat tentara berpakaian preman. Dalam suasana demikian, mungkinkah menyelenggarakan pemilu dengan adil? Jadi apa yang Anda usulkan untuk memecahkan soal ini? Ini perlu suatu keputusan politik. Dewan Nasional Tertinggi harus diberi lebih banyak kekuasaan. Jika Pemerintah Peralihan dan Dewan Keamanan PBB menjawab bahwa rezim Phnom Penh tak mau menerima ini, masalahnya tak akan bisa diselesaikan. PBB harus memaksa Phnom Penh menerimanya. Dalam pertemuan di Tokyo, Juni 1989, kami tak diikutsertakan. Ada yang menginginkan Hun Sen berperan sebagai perdana menteri dan Sihanouk sebagai kepala negara. Tampaknya formula ini sedang diberlakukan sekarang. Menurut Anda, apakah Pemerintah Peralihan PBB lemah dan memihak rezim Phnom Penh? Terus terang, tampaknya, pilihan yang ada adalah, apakah menghentikan penjajahan Vietnam di Kamboja atau menghabiskan Khmer Merah. Padahal kami tak berniat kembali berkuasa. Kami tak memiliki kemampuan untuk kembali berkuasa. Kami menginginkan suatu Kamboja yg berpolitik bebas dengan sistem multipartai. Namun, mungkin, satu Kamboja yang merdeka dan kuat tak bisa diterima oleh Barat, sebab di dalamnya termasuk Khmer Merah. Wakil menteri luar negeri Inggris mengatakan, kekhawatiran saya berlebihan. Tapi soalnya, kami di Kamboja tak bisa menerima kehadiran Vietnam. Maka perlu dipertimbangkan dua pilihan politik: melaksanakan Perjanjian Paris bersama empat partai, atau hanya dengan satu partai saja. Jika jawabannya dengan satu partai, tak akan ada perdamaian di Kamboja. Jika Kampuchea Demokratik tak ikut pemilu, Anda tak khawatir akan diasingkan oleh rakyat maupun masyarakat internasional? Jika pemilu diadakan sekadar suatu formalitas untuk menawarkan Kamboja kepada Vietnam, ini suatu permainan yang berbahaya bagi negara kami. Saya yakin, rakyat Kamboja di belakang kami. Khmer Merah dituduh melakukan beberapa operasi pengacauan. Misalnya peledakan jembatan dan penculikan delapan warga Vietnam. Kami telah membantah tuduhan itu. Tapi kami tak menduga, setelah Perjanjian Paris, kami akan bertarung dengan pasukan Vietnam. Sekarang ini tiba waktunya operasi serangan musim kering. Dan kami mengetahui pasukan Vietnam mulai menyerang pasukan kami. Kami harus siap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini