Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Wanita-wanita tempat mengadu

Petugas bidang penasehat perkawinan dan penyelesaian perceraian. (sd)

23 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU sore, seorang wanita muda duduk dengan gelisah di ruang tamu kantor Badan Penasihat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4) Kecamatan Laweyan, Sala. Di hadapannya, duduk seorang perempuan lebih tua, berwajah lembut dilingkari kerudung, tampak berwibawa. Wanita muda itu mengadu: tak tahan hidup bersama mertuanya, dan suaminya sering memuji bekas pacarnya dulu. Karena itu ia ingin bercerai dengan suaminya. Perempuan tua itu minta beberapa contoh ucapan suaminya dan mertuanya. Dergan bersemangat wanita muda yang mengku punya 2 anak berusia 7 dan 4 tahun ini membeberkan kisah kemelut rumahtangganya. Akhirnya ia berkata, "Pernah saya mengajukan permintaan cerai, suami saya lngsung menjawab setuju. Nah, itu bukti suami saya tak mencintai saya lagi." Setelah memberi beberapa petuah, Ny. Hadi Yusmanto, 57 tahun, petugas BP4 yang berkerudung dan berpakaian sederhana itu, mempersilakan si wanita muda keluar sejenak. Kini si suami dan sang mertua yang sejak tadi duduk di bawah pohon di halaman mendapat giliran masuk. "Ketika bertengkar, istri saya pernah bilang, saya tidak cocok jadi suaminya. Mestinya ia kawin dengan seorang dosen, bukan guru biasa seperti saya," kata si suami. "Saya tentu cemas, sebab tak jauh dari rumah saya ada kompleks perumahan dosen. Jangan-jangan ..." ia tak melanjutkan. Setelah mengangguk dan mendehem Ny. Hadi mempersilakan sang mertua berbicara. "Ia (menantunya) selalu bilang parasnya ayu. Disuruh buka warung saja malu," katanya memulai. Banyak yang dikeluhkan mertua ini tentang menantunya kadang dengan penuh emosi. Babak akhir, sang istri dipanggil lagi. Di ruang yang sederhana itu, ketiganya diberi nasihat-nasihat. Semua nasihat Ny. Hadi Yusmanto, diucapkannya dengan sangat pelan tapi penuh tekanan - agar tak terdengar oleh orang lain, sekaligus untuk meyakinkan kliennya. Adegan memberi nasihat ini berlangsung hampir dua jam - sampai terdengar suara tangis. Ternyata yang menangis Ny. Hadi, petugas BP4 Kecamatan Laweyan sejak 1968 itu. "Saya tak bersandiwara, saya menguraikan betapa pahitnya hidup, terutama buat anak-anak, jika orang tua bercerai. Di bagian itu otomatis saya menangis," katanya setelah tamu-tamunya pulang. Apa mereka akan bercerai? "Saya yakin tidak. Kepada mertuanya saya katakan, menantunya itu bekerja tak kalah beratnya, mendidik anak. Soal buka warung, kan perlu modal dan keahlian?" cerita Ny. Hadi. Untuk si suami, Ny. Hadi menasihatkan agar tidak cemburuan dan melupakan omongan dikala bertengkar. "Kepada si istri, saya bilang, biarpun suamimu memuji bekas pacar dulu, ternyata yang dipilih jadi istrinya kamu, apa kamu tak hebat?" Petuah itu nampaknya diresapi. "Tak ada yang lebih membahagiakan selain jika nasihat saya agar mereka tidak bercerai, dituruti," kata Ny. Hadi yang pernah belajar di Pesantren Jamsaren, Sala, itu. Lebih dari itu, katanya, tugasnya adalah membela nasib kaum wanita, seperti cita-cita R.A. Kartini yang hari-hari ini diperingati kelahirannya. Istri pensiunan ABRI ini diangkat sebagai petugas BP4 dengan SK Kantor Departemen Agama Surakarta. Honornya dulu Rp 800 sebulan - dan diambil setiap setengah tahun. "Tapi sejak tahun 1977 malah tak dapat honor," kata ibu dua anak yang sudah dewasa ini. Duka yang dihadapi Ny. Hadi justru ketika menghadapi orang yang merasa pintar, punya jabatan, berpendidikan tinggi, dan orang kaya. "Saya kewalahan, mereka begitu menyepelekan nasihat-nasihat saya. Saya hampir tak punya cara menghadapi mereka," turur Ny. Hadi. Pernah seorang istri tak mau diceraikan. Tetapi ia juga tak mau memberikan kasih sayang kepada suaminya, karena suaminya itu sering pergi dan menginap di berbagai hotel. Suaminya pedagang dan si istri tak percaya akan kesetiaan suaminya. Yang juga sulit, jika percekcokan garagara tak punya anak. Untuk kasus begitu, Ny. Hadi biasanya hanya pasrah. "Sudah takdir, mereka bertemu, lalu berpisah," katanya. Dari berbagai pengalaman itu, Ny. Hadi menyimpulkan sebab-sebab umum perceraian. Karena mertua banyak ikut campur, istri tak sabar karena ekonomi suaminya dan karena penyelewengan seks. Yang terakhir ini mudah didamaikan jika salah satu mau mengakui dan tobat. "Tugas BP4 tak lebih dari mengurangi perceraian," ujar Ny. Zakiyah Nadjamuddin, 58 tahun, yang sejak 1960 bertugas di kantor BP 4 Provinsi Ja-Tim di Surabaya. Ia berpraktek konsultasi tiga kali seminggu. Di kantor yang agak formal ini, seseorang leblh banyak wanita - datang mengadu. Permohonannya dicatat dulu. Seminggu kemudian baru dipanggil. Setelah semua keluhan sebagai alasan permintaan cerai dicatat, giliran suaminya dipanggil. Jika 3 kali dipanggil sang suami tak muncul, istri yang mengadu itu diberi surat keterangan ke Pengadilan Agama. "Permohonan cerai biasanya dikabulkan," kata Ny. Zakiyah yang mengaku hanya tamatan SLP tapi pernah mengikuti berbagai kursus dan penataran. Namun dalam kasus tertentu Ny. Zakiyah langsung mendatangi rumah keluarga pengadu. Kalau ketemu, kedua pihak dinasihati panjang lebar tentang hakikat perkawinan. "Yang paling banyak saya sentuh masalah anak-anaknya. Biasanya cara itu lebih banyak berhasil," kata Ny. Zakiyah, ibu 4 anak dan nenek 3 cucu itu. Seperti halnya Ny. Hadi, kepuasan yang didapat Ny. Zakiyah adalah bila usahanya mendamaikan suami-istri berhasil. "Kebahagiaan yang tak ternilai adalah jika keluarga yang guncang bisa dirukunkan kembali," katanya. "Keria ini tak mendatangkan duit. Tak ada yang dikenakan biaya." Istri pensiunan TNI AD ini hidup sederhana di rumahnya, Jalan Trunojoyo Surabaya. "Di rumah saya punya usaha kecil-kecilan, membuat kerupuk udang. Yah, membantu bapak," kata wanita yang rambutnya sudal memutih ini. Karena bertugas memberi nasihat tentang rumah tangga, petugas BP4 harus juga menjati teladan di masyarakat. Gerak langkahnya di masyarakat seperti setiap saat diawasi. Perasaan seperti itulah yang ada pada diri Ny. Alfiah Muhadi di Yogyakarta "Kan tidak beres jika kita menjadi penasiha perkawinan, rumah tangga kita sendiri berantakan," katanya. Selain itu, "petugas BP sekaligus seorang mubaligh, karenanya dalam nasihat itu nilai-nilai agama ditekankan." Ny. Alfiah, 65 tahun, punya pengalaman unik. Sepasang suami-istri minta bercerai karena yakin saat perkawinan mereka dulu tidak pada hari pasaran yang baik menurut kepercayaan sebagian orang Jawa. Jika perkawinan dilanjutkan, keluh pasangan itu, pasti tertimpa bencana. Setelah bercerai mereka berjanji akan mencari hari pasaran yang baik untuk kawin lagi. Untuk meyakinkan mereka bahwa kepercayaan itu tak ada dasarnya, Ny. Alfiah mengutip ayat Al Quran. "Beruntung saya banyak pengalam an dari organisasi Aisyiyah (Wanita Muhammadiyah), sehingga saya berhasil meyakinkan," kata nenek tiga cucu ini. "Kalau mereka jadi bercerai dan kawin lagi hanya karena pasaran, berapa biayanya itu," lanjut petugas BP4 Prof. DIY yang sudah 25 tahun mengabdi di lembaga ini. Ny. Imam Suhadi, 52 tahun, yang sejak 1958 berkecimpung dalam lembaga ini (waktu itu namanya Badan Kesejahteraan Rumah Tangga) melihat kasus-kasus perceraian tak hanya disebabkan ulah kaum lelaki. Ada kalanya, sang istri tak bisa memenuhi tuntutan yang sedang berkembang. Misalnya, jika ekonomi keluarga itu membaik dan sang istri tetap bersikap sebagaimana di saat ekonominya masih parah - jarang mau diajak ke luar rumah, tak menyesuaikan diri dalam pergaulan bisa berakibat suami melirik wanita lain. "Ini bisa jadi api perpecahan," kata wanita yang bertugas di BP4 Yogyakarta ini. Karena itu Ny. Imam Suhadi menganjurkan, sebelum perkawinan dilangsungkan sebaiknya minta konsultasi ke BP4. Di sini bisa diketahui, perkawinan punya nilai suci, apa fungsi suami dan istri masing-masing. "Sekarang banyak calon pengantin yang tak tahu apa sebenarnya tujuan perkawinan," katanya. "Perkawinan adalah ikatan batin atas amanat Allah," ia menjawab sendiri. Usaha BP4 mencegah perceraian memang diakui banyak berhasil. "Tetapi kenapa BP4 cuma didatangi kelas menengah ke bawah?" tanya Ny. Imam bernada keluhan. Malahan, tambahnya, "kalangan atas, termasuk artis-artis film, seperti senang mempertontonkan kawin cerai. Mereka punya persoalan, tapi mereka enggan ke lembaga seperti ini, mungkin gengsi." Keluhan petugas BP4 Yogya itu juga datang dari rekannya di Bogor. Ny. Ratnasih, 40 tahun, Sekretaris dan Penasihat BP4 di Bogor melihat kepincangan ini di satu pihak, kelas bawah rajin minta konsultasi tentang masalah-masalah rumah tangga, di kalangan atas tak mempedulikan tempat konsultasi itu. "Saya mengimbau Pengadilan Agama, jangan menerima pendaftaran klien yang akan bercerai sebelum mendapat rekomendasi BP4," katanya. Jika perlu, tambahnya, pertimbangan dari BP4 dijadikan dasar pemeriksaan Pengadilan Agama. Ibu 5 anak, sarjana muda Ushuluddin IAIN ini pernah dihadang di depan pintu rumah kliennya. Suami yang mau ia tanyai karena istrinya mengadu ke BP4, malah membentak. "Apa urusan ibu mencampuri rumah tangga orang, yang mau kawin lagi, kan saya. Saya tak butuh nasihat ibu," bentak lelaki itu seperti ditirukan Ny. Ratnasih. Risiko seperti itu tentu ia terima. "Pahit memang, apalagi kalau diingat tak ada honornya," katanya. Beruntung juga ia tak terlalu memikirkan uang belanja, sebab suaminya seorang pengacara dan ia sendiri dapat honor dari mengasuh acara Santapan Rohani di RRI Bogor. Keluhan sepele yang bisa mengguncangkan rumah tangga memang banyak. Di Bandung misalnya, suami istri muda usia mendatangi kantor BP4. Sang istri mengeluh, "akang tak pernah mengajak saya pergi nonton bioskop, mau cerai ah." Sang suami memberi alasan, selera sang istri tak cocok dengan selera sang suami dalam hal Film. Petugas BP4 di Bandung, Ny. Oya Soemantri, 64 tahun, berhasil merujukkan keduanya dengan nasihat yang "umum-umum saja." 'Kalau hal sepele begitu dijadikan alasan, banyak sekali ibu rumah tangga mengajukan permohonan cerai," kata Ny. Oya yang sudah berkecimpung di lembaga ini sejak 1954.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus