SUATU sore, seorang wanita muda duduk dengan gelisah di ruang
tamu kantor Badan Penasihat Perkawinan dan Penyelesaian
Perceraian (BP4) Kecamatan Laweyan, Sala. Di hadapannya, duduk
seorang perempuan lebih tua, berwajah lembut dilingkari
kerudung, tampak berwibawa. Wanita muda itu mengadu: tak tahan
hidup bersama mertuanya, dan suaminya sering memuji bekas
pacarnya dulu. Karena itu ia ingin bercerai dengan suaminya.
Perempuan tua itu minta beberapa contoh ucapan suaminya dan
mertuanya. Dergan bersemangat wanita muda yang mengku punya 2
anak berusia 7 dan 4 tahun ini membeberkan kisah kemelut
rumahtangganya. Akhirnya ia berkata, "Pernah saya mengajukan
permintaan cerai, suami saya lngsung menjawab setuju. Nah, itu
bukti suami saya tak mencintai saya lagi."
Setelah memberi beberapa petuah, Ny. Hadi Yusmanto, 57 tahun,
petugas BP4 yang berkerudung dan berpakaian sederhana itu,
mempersilakan si wanita muda keluar sejenak. Kini si suami dan
sang mertua yang sejak tadi duduk di bawah pohon di halaman
mendapat giliran masuk.
"Ketika bertengkar, istri saya pernah bilang, saya tidak cocok
jadi suaminya. Mestinya ia kawin dengan seorang dosen, bukan
guru biasa seperti saya," kata si suami. "Saya tentu cemas,
sebab tak jauh dari rumah saya ada kompleks perumahan dosen.
Jangan-jangan ..." ia tak melanjutkan. Setelah mengangguk dan
mendehem Ny. Hadi mempersilakan sang mertua berbicara. "Ia
(menantunya) selalu bilang parasnya ayu. Disuruh buka warung
saja malu," katanya memulai. Banyak yang dikeluhkan mertua ini
tentang menantunya kadang dengan penuh emosi.
Babak akhir, sang istri dipanggil lagi. Di ruang yang sederhana
itu, ketiganya diberi nasihat-nasihat. Semua nasihat Ny. Hadi
Yusmanto, diucapkannya dengan sangat pelan tapi penuh tekanan -
agar tak terdengar oleh orang lain, sekaligus untuk meyakinkan
kliennya. Adegan memberi nasihat ini berlangsung hampir dua jam
- sampai terdengar suara tangis.
Ternyata yang menangis Ny. Hadi, petugas BP4 Kecamatan Laweyan
sejak 1968 itu. "Saya tak bersandiwara, saya menguraikan betapa
pahitnya hidup, terutama buat anak-anak, jika orang tua
bercerai. Di bagian itu otomatis saya menangis," katanya setelah
tamu-tamunya pulang. Apa mereka akan bercerai? "Saya yakin
tidak. Kepada mertuanya saya katakan, menantunya itu bekerja tak
kalah beratnya, mendidik anak. Soal buka warung, kan perlu modal
dan keahlian?" cerita Ny. Hadi. Untuk si suami, Ny. Hadi
menasihatkan agar tidak cemburuan dan melupakan omongan dikala
bertengkar. "Kepada si istri, saya bilang, biarpun suamimu
memuji bekas pacar dulu, ternyata yang dipilih jadi istrinya
kamu, apa kamu tak hebat?"
Petuah itu nampaknya diresapi. "Tak ada yang lebih membahagiakan
selain jika nasihat saya agar mereka tidak bercerai, dituruti,"
kata Ny. Hadi yang pernah belajar di Pesantren Jamsaren, Sala,
itu. Lebih dari itu, katanya, tugasnya adalah membela nasib kaum
wanita, seperti cita-cita R.A. Kartini yang hari-hari ini
diperingati kelahirannya.
Istri pensiunan ABRI ini diangkat sebagai petugas BP4 dengan SK
Kantor Departemen Agama Surakarta. Honornya dulu Rp 800 sebulan
- dan diambil setiap setengah tahun. "Tapi sejak tahun 1977
malah tak dapat honor," kata ibu dua anak yang sudah dewasa ini.
Duka yang dihadapi Ny. Hadi justru ketika menghadapi orang yang
merasa pintar, punya jabatan, berpendidikan tinggi, dan orang
kaya. "Saya kewalahan, mereka begitu menyepelekan
nasihat-nasihat saya. Saya hampir tak punya cara menghadapi
mereka," turur Ny. Hadi.
Pernah seorang istri tak mau diceraikan. Tetapi ia juga tak mau
memberikan kasih sayang kepada suaminya, karena suaminya itu
sering pergi dan menginap di berbagai hotel. Suaminya pedagang
dan si istri tak percaya akan kesetiaan suaminya.
Yang juga sulit, jika percekcokan garagara tak punya anak. Untuk
kasus begitu, Ny. Hadi biasanya hanya pasrah. "Sudah takdir,
mereka bertemu, lalu berpisah," katanya.
Dari berbagai pengalaman itu, Ny. Hadi menyimpulkan sebab-sebab
umum perceraian. Karena mertua banyak ikut campur, istri tak
sabar karena ekonomi suaminya dan karena penyelewengan seks.
Yang terakhir ini mudah didamaikan jika salah satu mau mengakui
dan tobat.
"Tugas BP4 tak lebih dari mengurangi perceraian," ujar Ny.
Zakiyah Nadjamuddin, 58 tahun, yang sejak 1960 bertugas di
kantor BP 4 Provinsi Ja-Tim di Surabaya. Ia berpraktek
konsultasi tiga kali seminggu. Di kantor yang agak formal ini,
seseorang leblh banyak wanita - datang mengadu. Permohonannya
dicatat dulu. Seminggu kemudian baru dipanggil. Setelah semua
keluhan sebagai alasan permintaan cerai dicatat, giliran
suaminya dipanggil. Jika 3 kali dipanggil sang suami tak muncul,
istri yang mengadu itu diberi surat keterangan ke Pengadilan
Agama. "Permohonan cerai biasanya dikabulkan," kata Ny. Zakiyah
yang mengaku hanya tamatan SLP tapi pernah mengikuti berbagai
kursus dan penataran.
Namun dalam kasus tertentu Ny. Zakiyah langsung mendatangi rumah
keluarga pengadu. Kalau ketemu, kedua pihak dinasihati panjang
lebar tentang hakikat perkawinan. "Yang paling banyak saya
sentuh masalah anak-anaknya. Biasanya cara itu lebih banyak
berhasil," kata Ny. Zakiyah, ibu 4 anak dan nenek 3 cucu itu.
Seperti halnya Ny. Hadi, kepuasan yang didapat Ny. Zakiyah
adalah bila usahanya mendamaikan suami-istri berhasil.
"Kebahagiaan yang tak ternilai adalah jika keluarga yang guncang
bisa dirukunkan kembali," katanya. "Keria ini tak mendatangkan
duit. Tak ada yang dikenakan biaya." Istri pensiunan TNI AD ini
hidup sederhana di rumahnya, Jalan Trunojoyo Surabaya. "Di rumah
saya punya usaha kecil-kecilan, membuat kerupuk udang. Yah,
membantu bapak," kata wanita yang rambutnya sudal memutih ini.
Karena bertugas memberi nasihat tentang rumah tangga, petugas
BP4 harus juga menjati teladan di masyarakat. Gerak langkahnya
di masyarakat seperti setiap saat diawasi. Perasaan seperti
itulah yang ada pada diri Ny. Alfiah Muhadi di Yogyakarta "Kan
tidak beres jika kita menjadi penasiha perkawinan, rumah tangga
kita sendiri berantakan," katanya. Selain itu, "petugas BP
sekaligus seorang mubaligh, karenanya dalam nasihat itu
nilai-nilai agama ditekankan."
Ny. Alfiah, 65 tahun, punya pengalaman unik. Sepasang
suami-istri minta bercerai karena yakin saat perkawinan mereka
dulu tidak pada hari pasaran yang baik menurut kepercayaan
sebagian orang Jawa. Jika perkawinan dilanjutkan, keluh
pasangan itu, pasti tertimpa bencana. Setelah bercerai mereka
berjanji akan mencari hari pasaran yang baik untuk kawin lagi.
Untuk meyakinkan mereka bahwa kepercayaan itu tak ada dasarnya,
Ny. Alfiah mengutip ayat Al Quran. "Beruntung saya banyak
pengalam an dari organisasi Aisyiyah (Wanita Muhammadiyah),
sehingga saya berhasil meyakinkan," kata nenek tiga cucu ini.
"Kalau mereka jadi bercerai dan kawin lagi hanya karena
pasaran, berapa biayanya itu," lanjut petugas BP4 Prof. DIY
yang sudah 25 tahun mengabdi di lembaga ini.
Ny. Imam Suhadi, 52 tahun, yang sejak 1958 berkecimpung dalam
lembaga ini (waktu itu namanya Badan Kesejahteraan Rumah Tangga)
melihat kasus-kasus perceraian tak hanya disebabkan ulah kaum
lelaki. Ada kalanya, sang istri tak bisa memenuhi tuntutan yang
sedang berkembang. Misalnya, jika ekonomi keluarga itu membaik
dan sang istri tetap bersikap sebagaimana di saat ekonominya
masih parah - jarang mau diajak ke luar rumah, tak menyesuaikan
diri dalam pergaulan bisa berakibat suami melirik wanita lain.
"Ini bisa jadi api perpecahan," kata wanita yang bertugas di BP4
Yogyakarta ini.
Karena itu Ny. Imam Suhadi menganjurkan, sebelum perkawinan
dilangsungkan sebaiknya minta konsultasi ke BP4. Di sini bisa
diketahui, perkawinan punya nilai suci, apa fungsi suami dan
istri masing-masing. "Sekarang banyak calon pengantin yang tak
tahu apa sebenarnya tujuan perkawinan," katanya. "Perkawinan
adalah ikatan batin atas amanat Allah," ia menjawab sendiri.
Usaha BP4 mencegah perceraian memang diakui banyak berhasil.
"Tetapi kenapa BP4 cuma didatangi kelas menengah ke bawah?"
tanya Ny. Imam bernada keluhan. Malahan, tambahnya, "kalangan
atas, termasuk artis-artis film, seperti senang mempertontonkan
kawin cerai. Mereka punya persoalan, tapi mereka enggan ke
lembaga seperti ini, mungkin gengsi."
Keluhan petugas BP4 Yogya itu juga datang dari rekannya di
Bogor. Ny. Ratnasih, 40 tahun, Sekretaris dan Penasihat BP4 di
Bogor melihat kepincangan ini di satu pihak, kelas bawah rajin
minta konsultasi tentang masalah-masalah rumah tangga, di
kalangan atas tak mempedulikan tempat konsultasi itu. "Saya
mengimbau Pengadilan Agama, jangan menerima pendaftaran klien
yang akan bercerai sebelum mendapat rekomendasi BP4," katanya.
Jika perlu, tambahnya, pertimbangan dari BP4 dijadikan dasar
pemeriksaan Pengadilan Agama. Ibu 5 anak, sarjana muda
Ushuluddin IAIN ini pernah dihadang di depan pintu rumah
kliennya. Suami yang mau ia tanyai karena istrinya mengadu ke
BP4, malah membentak. "Apa urusan ibu mencampuri rumah tangga
orang, yang mau kawin lagi, kan saya. Saya tak butuh nasihat
ibu," bentak lelaki itu seperti ditirukan Ny. Ratnasih.
Risiko seperti itu tentu ia terima. "Pahit memang, apalagi kalau
diingat tak ada honornya," katanya. Beruntung juga ia tak
terlalu memikirkan uang belanja, sebab suaminya seorang
pengacara dan ia sendiri dapat honor dari mengasuh acara
Santapan Rohani di RRI Bogor.
Keluhan sepele yang bisa mengguncangkan rumah tangga memang
banyak. Di Bandung misalnya, suami istri muda usia mendatangi
kantor BP4. Sang istri mengeluh, "akang tak pernah mengajak saya
pergi nonton bioskop, mau cerai ah." Sang suami memberi alasan,
selera sang istri tak cocok dengan selera sang suami dalam hal
Film. Petugas BP4 di Bandung, Ny. Oya Soemantri, 64 tahun,
berhasil merujukkan keduanya dengan nasihat yang "umum-umum
saja." 'Kalau hal sepele begitu dijadikan alasan, banyak sekali
ibu rumah tangga mengajukan permohonan cerai," kata Ny. Oya yang
sudah berkecimpung di lembaga ini sejak 1954.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini