SUATU hari, akhir 1982, Ani Sumadi dirawat di sebuah rumah sakit
di Singapura. Di sana ada menyaksikan acara perdebatan
antar-remaja di televisi. Boleh diduga kalau pengarah acara TVRI
itu kepingin juga membikin acara yang sama. Pulang ke Jakarta ia
berembuk dengan Maruli Simorangkir, Sekjen DPP Peradin yang
sering ikut menangani beberapa acara televisi. Dan lahirlah
Saling-Silang: sebuah forum diskusi kecil khusus untuk
mahasiswa.
Acara pertama, dengan tema kenakalan remaja, sudah disiarkan
Minggu malam 10 April lalu. Pemrasaran, Alan Frederick,
melontarkan pendapat: Di rumah, Amin tidak boleh menggunakan
telepon sama sekali, karena kata ibunya, telepon "cuma untuk
orang tua". Besoknya, karena kesal, Amin mencongkel telepon umum
dan membawanya pulang, sebagai pelampiasan. "Lingkungan memaksa
remaja nakal," begitu antara lain disimpulkan. Penyanggah
Chandra Darusman, berpendapat: "Remaja nakal karena tidak punya
identitas bersama - identitas Indonesia." Sering terlihat stiker
di mobil: Malaga (Manusia Lapar Ganja), atau Sexy Ladies Club .
. . mengapa bukan Pangeran Diponegoro, misalnya.
Acara selanjutnya sebulan sekali setiap Minggu II. Menurut Ani,
acara tersebut 70% hasil rembukan mereka sendiri, jadi tidak
sepenuhnya menyontek televisi Singapura. Kalau untuk tingkat SD,
SLP, dan SLA sudah ada acara Cerdas-Tangkas, bagi mahasiswa
perlu disediakan forum tersendiri, "untuk mendidik mereka
sebagai calon pemimpin," kata Maruli. "Forum ini mengajar
mahasiswa berani berbicara dengan bahasa yang teratur, kalau
perlu melontarkan kritik yang bisa dipertanggungjawabkan,"
tambah Maruli.
Dua kelompok mahasiswa masing-masing 3 orang mendiskusikan
sebuah makalah yang disampaikan oleh salah seorang di antara
mereka. Lalu-lintas pendapat diatur oleh seorang moderator.
Untuk acara pertama, tampil dr. Rosita Noor, seorang tokoh
usahawan.
Sebelum tampil di layar televisi mereka berembuk - untuk saling
memahami pembicaraan yang akan dikemukakan. Pendeknya semua
diatur terlebih dulu, agar semua tampil rapi, tldak ada yang
seenaknya ngomong tanpa kontrol.
Tapi, menurut Maruli, kebebasan dalam membicarakan masalah tetap
dipertahankan. Yang diatur ialah tata-cara melontarkan
perkataan. "Bila mereka melontarkan kritik, harus didasari
alasan kuat. Itulah yang diarahkan, sedang masalah isi, terserah
pada peserta sendiri untl mengajukannya," Maruli menjelaskan.
Aidaikata dalam rekaman tiba-tiba ada peserta yang berbicara
keluar dari naskah atau mengkritik dengan penuh semangat, Ani
Sumadi membiarkannya, "agar mood-nya tidak terganggu". Ani bakal
mengeditnya sebelum disiarkan.
"Tapi saya tetap mempertahankan suasana pembicaraan yang hangat.
Yang dipotong gambar yang kurang bagus atau pembicaraan yang
kurang menarik," katanya. Dan pemotongan sebetulnya juga
diperlukan untuk menyesuaikannya dengan waktu penyiaran (60
menit). Berpengalaman menangani acara hiburan seperti Aneka Kuiz
dan Pesona 13, adalah Ani Sumadi pula yang menggarap dekorasi,
akustik, penampilan peserta, tata rias, dalam acara ini.
Para peserta sengaja dipilih mahasiswa tingkat III ke atas,
dengan anggapan, mereka sudah biasa menyusun makalah. Bagi yang
ingin menjadi peserta, dipersilakan mendaftar dan menyampaikan
makalah yang sedapat mungkin mengemukakan gagasan-gagasan baru.
Maruli Simorangkir kebagian tugas menilai dan mengarahkan isi
makalah tersebut. "Penilaian terhadap materi pembicaraan
diserahkan kepada masyarakat. Sedang kami menilai penampilan
peserta dan keteraturan mereka melontarkan pikiran," katanya.
Setelah siaran acara pertama minggu lalu, tak kurang dari 80
pucuk surat dari berbagai daerah diterima Ani Sumadi. Umumnya
menyambut baik. Tapi sementara seorang ibu di Jakarta, teman
baik Maruli, menganggap acara tersebut terlalu berat. Herwin,
mahasiswa UI, menganggap alasan yang dilontarkan tidak
memecahkan masalah sampai tuntas, sedang contoh yang dikemukakan
tidak ada yang kongkrit. "Peserta juga tidak menunjukkan jalan
keluar sesuatu masalah," katanya.
Salah seorang peserta acara pertama Saling-Silang mengakui
ketidak-tuntasan pemecahan persoalan tersebut. "Sebab waktu yang
tersedia tidak cukup," katanya. Tapi paling tidak, katanya lagi,
ada usaha membuktikan bahwa mahasiswa yang tadinya dianggap
"radikal" bisa diajak bicara memecahkan masalah di masyarakat
dengan dingin. Kalau ada yang mengharapkan bahwa acara baru itu
akan menghidangkan sebuah pembicaraan yang benar-benar bebas,
memang mustahil, namanya saja kan game - permainan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini