Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETIAP kali datang ke pesta perkawinan, Emil Salim punya trik khusus. Anggota Dewan Pertimbangan Presiden ini lebih dulu menyambangi meja hidangan penutup, baru ke menu utama. ”Ritual” ini dilakoni pria 78 tahun ini agar badan tak melar dan tak mudah dihinggapi penyakit.
Belakangan, setelah ”dibisiki” Cosmas Batubara—rekan sesama menteri di era Orde Baru—Emil Salim menerapkan pola makan baru: diet golongan darah. Sebagai pemilik darah AB, guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini kini menghapus—antara lain—daging dan ubi dari daftar menunya. Ia makin banyak menyantap kacang kedelai, kacang hijau, serta kangkung dan bayam.
Kini, setiap kali memeriksakan kadar kekentalan darah, keseimbangan ”kolesterol baik” HDL dan ”kolesterol buruk” LDL, hasilnya selalu normal—sesuatu yang langka bagi orang seusianya. Gejala vertigo yang dulu dideritanya juga berkurang. Ia juga merasa lebih fit beraktivitas dibandingkan sebelumnya. Bobotnya juga stabil. ”Ikat pinggang saya selalu berada di atas pusar,” kelakarnya.
Diet golongan darah yang diperkenalkan Peter J. D’adamo dari Amerika Serikat beberapa tahun silam memang memikat banyak orang. Pada akhir tahun lalu, dokter dan pakar naturopati (pengobatan dengan bahan dari alam) ini kembali hadir dengan buku terbarunya di Indonesia: The Genotype Diet, Diet Berdasarkan Ciri dan Bentuk Badan.
Menurut D’adamo, sementara golongan darah hanya ditentukan satu gen—satu di antara 30 ribu gen—genotipe mencerminkan aktivitas banyak gen lain. Genotipe juga menggambarkan interaksi gen dengan lingkungan. Inilah yang menjadikan setiap manusia unik dan berbeda satu sama lain. Begitupun dalam hal diet. Karena itu, kata D’adamo, tak ada satu jenis diet yang berlaku untuk semua.
Tak seperti darah yang memiliki empat golongan (A, B, AB, dan O), bentuk badan mempunyai enam tipe: pemburu, pengumpul, guru, penjelajah, prajurit, dan pengembara.
Deretan nama itu lebih mirip tokoh di dongeng ketimbang istilah medis. Tipe pemburu, misalnya, digambarkan D’adamo ”atletis, tinggi, bertulang kekar, dan bentuk tubuh yang bagus”.
Untuk mengetahui bentuk tubuh kita ada di kelompok mana juga tak sulit. Tinggal ukur panjang kaki dan torso badan, panjang jari telunjuk dan jari manis, serta cek golongan darah. Lalu—berdasarkan parameter yang sudah ditentukan—catat pola sidik jari, jarak kedua kaki tatkala kita berdiri tegak, rasio pinggang-panggul, pola gigi, bentuk rahang dan kepala.
Nah, misalkan masuk tipe pemburu, berarti Anda memiliki tingkat energi yang tinggi dan metabolisme yang baik—dalam keadaan sehat bisa makan banyak tanpa bertambah berat badan. Namun, di sisi lain, Anda berisiko tinggi terserang alergi, penyakit autoimun (seperti asma atau rematik), gangguan persendian, depresi, problem pencernaan, dan kanker reproduksi. Menurut D’adamo, risiko ini bisa ditangkal dengan mengkonsumsi makanan yang tepat.
Meski sepintas pengelompokan ini terlihat ”aneh”, diet ala D’adamo ini mendapat sambutan hangat dari banyak orang.
Jenis diet lain yang juga banyak penggemarnya adalah diet makanan mentah (raw food diet). Meski tak betul-betul baru, diet ini belakangan makin mendapat tempat di hati orang Indonesia. Salah satunya adalah Debra H. Yatim. Aktivis perempuan 54 tahun ini telah menempuh diet ini selama tiga tahun. Direktur Komunikasi untuk Seni (Komseni) ini menerapkan pola 70 persen makanan mentah, 30 persen dimasak.
Setiap pagi, ibu satu anak ini meminum empat sampai lima gelas air putih. Satu jam kemudian, ia mengudap tiga sampai empat jambu air cincalo. Sesampai di kantor, pisang dan semangka menjadi menunya. Pada siang hari, ia menyantap salad dan satu jenis makanan yang sudah dimasak. Sorenya, ia kadang masih menyediakan makanan yang dimasak. Namun, malam setibanya di rumah, ia menyantap lalapan.
Sebelumnya, Debra memang sudah jadi vegetarian selama 12 tahun. Namun tak berarti diet makanan mentah ini dilakoninya dengan mulus. Banyak godaan dan kesulitan, terutama ketika berkumpul dengan teman atau bertemu klien. Biasanya, dalam kondisi terdesak seperti itu, ia tetap mencomot sedikit makanan matang. Ia mengakui, pola makan yang dianutnya ini tak lazim. Sampai-sampai ibu-ibu di sekitar rumahnya di Sawangan, Depok, menjulukinya ”ibu yang suka makan daun-daun aneh”.
Meski dianggap aneh, ia tak surut. Kini ia justru menuai hasil positif dari diet itu. Hasil general check up Debra sangat bagus. Selain itu, menurut dia, rambutnya yang sudah mulai beruban bisa menghitam lagi. Setiap bulan puasa, tatkala kebanyakan orang lemas pada siang dan sore hari, ia justru merasa kelebihan energi.
Made Astawan, peneliti di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor, menyatakan seseorang bisa disebut mengikuti diet makanan mentah jika minimal 75 persen makanannya mentah. Jadi, kalau sekadar doyan lalap, Anda belum dikategorikan pengikut diet ini. Ada tiga kategori diet makanan mentah. Pertama, semua makanan dimakan mentah tanpa kecuali. Kedua, hanya menelan buah dan sayuran mentah dan tak mengkonsumsi daging dan ikan. Ketiga, menyantap sayur dan buah mentah, tapi daging dan ikan boleh dimasak.
Salah satu keunggulan diet makanan mentah, menurut Made, menu yang kita lahap tak mengalami pemanasan. Proses pengolahan—direbus, digoreng, atau dikalengkan—dapat menurunkan kandungan gizi makanan hingga 30 persen. Padahal, sayur dan buah dikenal kaya serat yang sangat bermanfaat. Serat terbukti dapat mencegah berbagai penyakit, antara lain gigi, diabetes melitus, hipertensi, kanker usus besar, jantung koroner, dan batu empedu.
Namun Made mengingatkan, salah satu tantangan diet makanan mentah adalah memilih bahan aman dan berkualitas. Penulis buku Khasiat Makanan Mentah ini mencontohkan pernah ada sebuah penelitian yang menunjukkan daun-daunan untuk lalap yang dijual di pasar tradisional kita banyak mengandung Salmonella sp, bakteri penyebab tifus. Pernah pula muncul kasus keracunan Escherichia coli di Jepang akibat konsumsi tauge mentah. Karena itu, sebelum menyantap makanan mentah, faktor keamanan pangan harus jadi pertimbangan nomor satu.
Begitulah, berbagai pilihan diet memang ada risikonya masing-masing. Saptawati Bardosono, dokter spesialis gizi dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, mengingatkan bagi orang sehat, diet ditentukan oleh umur, jenis kelamin, berat dan tinggi badan serta aktivitas fisik. Lain lagi ceritanya bagi orang dengan penyakit tertentu, misalnya diabetes.
Dokter Tati—demikian panggilan akrabnya—sepakat bahwa diet itu unik bagi setiap individu. Maka, diet yang didasarkan pada sifat atau ciri gen atau golongan darah bisa saja dijalankan. Yang penting harus memenuhi kaidah kecukupan gizi alias tidak boleh mengeliminasi zat yang dibutuhkan tubuh.
Begitu juga dengan diet makanan mentah. Memang, katanya, proses pemasakan akan mengurangi kandungan zat gizi makanan. Namun, makanan yang dimasak dengan baik, selain meningkatkan selera, juga aman dikonsumsi dan tetap mempunyai kandungan gizi. Khususnya bila beberapa bahan makanan disajikan dalam satu hidangan.
Berbagai zat gizi dari makanan memiliki metabolisme masing-masing, melalui reaksi kimia di dalam tubuh yang menghasilkan energi. Karena itu, apa pun pilihan dietnya, jangan sampai kekurangan zat gizi tertentu. Ini tak hanya mempengaruhi kebugaran seseorang, tapi juga bisa mengganggu fungsi organ.
Variasi bahan makanan memang salah satu unsur penting kecukupan gizi. Ini yang tergambar dalam konsep dasar gizi: empat sehat lima sempurna. Jadi, pola pengaturan makan yang baik mencakup: makanan pokok, lauk-pauk, buah, sayur, dan susu. Jadwalnya, tiga kali makan utama dan dua sampai tiga kali selingan. Jika syarat ini terpenuhi, kata Tati, hampir pasti asupan zat gizi kita terpenuhi.
Andari Karina Anom, Iqbal Muhtarom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo