Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Woody Allen dan Gairah Barcelona

Setelah hubungan panjang dengan New York, mampir sebentar ke London, kini Woody Allen mencoba Barcelona.

12 Januari 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

VICKY CRISTINA BARCELONA
Sutradara: Woody Allen
Skenario: Woody Allen
Pemain: Javier Bardem, Scarlett Johansson, Rebecca Hall, Penelope Cruz

BERTAHUN-tahun lamanya Woody Allen ”menikah” dengan Kota New York. Ia jauh lebih setia kepada kota itu daripada dengan perempuan yang pernah dikawininya atau aktris cantik mana pun yang pernah dikencaninya. Maka lahirlah serangkaian film dengan bau New York yang kental, antara lain Annie Hall, Hannah and Her Sisters, Manhattan, Purple Rose of Cairo, dan Bullets over Broadway.

Namun pada 2000-an Allen mulai gerah. Dia mencoba ”mengenal” London melalui film-film Match Point dan Scoop. Tidak buruk, meski film-film itu adalah pengulangan dari film-film Allen sebelumnya—yang melibatkan investigasi pembunuhan dengan gaya komik—plus kita menyaksikan aktris Scarlett Johansson sebagai ”sumber inspirasi” baru bagi Allen. Paling tidak, bibirnya.

Kali ini Woody Allen mencoba Barcelona. Dia memindahkan sebungkah neurotisisme dan paranoia ke dalam tubuh jelita Penelope Cruz. Barcelona digambarkan seperti tubuh perempuan yang seksi dan lezat: penuh lekuk, romantis, sekaligus mampu mengguncang. Persis seperti Penelope Cruz.

Tapi mari kita berkenalan dengan dua tokoh utama film ini: Vicky dan Cristina. Melalui suara narator (kali ini sang narator adalah seorang lelaki, dan dia bukan Woody Allen), kita mengenal Vicky (Rebecca Hall) dan Christina (Scarlett Johansson) yang melakukan perjalanan ke Barcelona dengan tujuan berbeda. Vicky, mahasiswa arsitek Spanyol yang cantik, sudah bertunangan, lurus, dan kenceng itu, berniat mempelajari sejarah gedung Gaudi. Dengan kata lain, Vicky tak punya tujuan untuk keluar dari rel hidupnya yang sudah tertata. Sedangkan Cristina, si seksi blonda berbibir tebal, mengikuti hati dan aliran hormonnya untuk sebuah petualangan, untuk ”mencari diri”. Dia ingin meraih sesuatu yang mampu mengguncang, memberikan ”arti” dalam hidupnya.

Lalu di manakah gerangan posisi Penelope Cruz—sebagai Maria Elena—dalam perkumpulan cewek cantik ini? Tunggu dulu. Woody Allen harus memasukkan tokoh lelaki Spanyol khas Latin, Jose Antonio (Javier Bardem), pelukis ganteng, perayu, dan jago mengatur strategi. Dia menghampiri kedua cewek cantik ini dan mengajukan proposal sinting: terbang ke kampung halamannya menggunakan pesawat pribadinya, lalu makan malam dan syukur-syukur, kalau pingin, ya… bercinta bertiga. Threesome. Yeah….

Vicky nyolot dan setengah menghardik si pelukis sinting. Cristina terpesona dan cenderung ingin mencemplungkan diri ke dalam petualangan itu. Apa yang terjadi selanjutnya malah lucu. Saat Cristina siap akan bercinta dengan Jose, dia keracunan makanan, hingga harus beristirahat. Tinggal kita menyaksikan bagaimana Jose perlahan dan penuh perhitungan menemani Vicky berkeliling tempat bersejarah, menyaksikan resital gitar, dan selebihnya… segala yang kaku dan kenceng pada tubuh Vicky akhirnya meleleh oleh panasnya tubuh Jose. Sayang, Vicky bertahan untuk tetap menikah dengan tunangannya, meski hatinya koyak-moyak teringat malam-malam bersama Jose. Sedangkan Jose dengan santai memulai hidup bersama Cristina. Segalanya gampang bagi Jose.

Nah, Maria Elena masuk, merobek layar. Ternyata dia adalah mantan istri Jose Antonio yang masih memiliki hubungan yang aneh dengan Jose. Penelope Cruz tampil sebagai mantan istri yang eksentrik, meledak-ledak, luar biasa cerdas, dan pelukis yang jauh lebih unik daripada Jose (”Kau mencuri ide dan gayaku!” kata Maria Elena menjerit jika mereka tengah bertengkar). Setelah Cruz muncul, layar menjadi hidup dan bergerak dinamis. Dia merepet dalam bahasa Spanyol dan Inggris, berubah-ubah seenaknya, dan gayanya yang sembarangan itu malah membuat kita makin jatuh cinta padanya. Neurotisisme ala Woody Allen, yang biasanya diperankan sutradaranya sendiri, kini berpindah kepadanya. Bedanya, Cruz cantik dan seksi. Dan Cruz malah menjalin hubungan dengan cewek seksi lain: Cristina (inilah agaknya adegan yang ditunggu-tunggu para penonton lelaki). Komplikasi hubungan antarkawan, pasangan kawan, dan tarik-menarik emosi ini menjadi salah satu tema Woody Allen sejak film Annie Hall. Dan entah bagaimana, siapa pun yang ditangani Allen selalu tampil begitu alamiah. Seolah-olah mereka semua hidup di dunia nyata, bukan dalam dunia rekaan.

Setelah mampir ke London, dan tak terasa ”greng”, Allen tampak berjodoh dengan Barcelona. Mungkin dia belum bisa senyaman seperti halnya dengan New York, tapi pertemuan Allen dengan Barcelona seperti pertemuan pasangan muda di sebuah malam yang langsung bercinta dengan begitu hebat. Konon, setelah ini, Allen sedang merencanakan menggunakan Paris sebagai ”kekasih”-nya yang baru, sebagai sumber inspirasi.

Salah satu ciri khas Allen, yang selalu menggunakan tokoh-tokoh intelektual, kelas menengah atas, tentu saja jarang memberikan akhir yang bahagia. Film Allen hampir selalu berakhir dengan pesimisme, karena bagi Allen: hidup memang tak selalu manis dan mulus, meski tak harus selalu pahit.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus