DUA truk mini berhenti di depan pintu gerbang Kedutaan Besar
Republik Indonesia Jeddah pada suatu siang yang terik tiga pekan
silam. Di dalam kantor kedutaan terjadi pembicaraan antara
polisi yang mengawal truk-truk itu dengan para pejabat. Di luar,
para penumpang truk menjadi perhatian orang banyak. Penumpang
itu adalah orang-orang Indonesia. "Mereka ditangkap karena tidak
mempunyai izin tinggal di Saudi," kata Haji Ishak, kepala bagian
konsuler KBRI Jeddah.
Wajah mereka sudah kelihatan lusuh. Beberapa mengaku sudah tidak
mandi selama seminggu. Masih ada bertengger senyum, tapi
kelihatan lelah. Salah seorang di antara mereka -- dengan izin
polisi -- diizinkan turun untuk sekedar istirahat. Lelaki tua
itu dipapah melangkah ke halaman kedutaan. Ketika pakaiannya
disingkapkan, tubuhnya ternyata sudah bengkak-bengkak. Sebuah
borok besar bahkan bertengger di punggungnya. Setelah diberi
minum, ia kembali naik truk untuk seterusnya dikembalikan ke
rumah tahanan.
Mengapa mereka tidak dibebaskan? "Polisi Saudi memang mau
membebaskan mereka, tapi kita tidak bisa menerimanya. Mereka itu
tidak punya tiket pulang," kata seorang pejabat di KBRI. Dan
orang-orang Indonesia yang malang itu -- penuh harap bisa
berhaji tahun ini -- dipulangkan kembali ke rumah tahanan tempat
mereka disekap bersama ribuan manusia dari segala bangsa yang
berada di Saudi tanpa izin tinggal.
Mengurusi izin tinggal orang Indonesia di Arab Saudi ini memang
pekerjaan baru bagi KBRI. Dan juga bagi pemerintah Saudi.
Syahdan, maka sejak agama Islam diturunkan Allah ke muka bumi
ini, sejak itu pula berduyun-duyun manusia muslim dari pelbagai
penjuru dunia datang menetap di tanah yang menyimpan Baitullah
itu.
Alasan mereka datang ke sana tentu macam-macam. Mula-mula dan
terutama tentu beribadah atau belajar agama. Tapi lama-kelamaan
ada pula dibarengi niat cari nafkah. Ini jadi amat menyolok
setelah petrodollar muncrat secara fantastis di negeri yang kini
dipimpin oleh keturunan Raja Abdul Aziz itu.
Kapan orang Indonesia mulai bermukim di Mekah? Tidak ada tahun
yang pasti. Mungkin sejak abad ke-18. Dan sejak mukimin pertama
itu, hingga hari ini arus pribumi Indonesia ke sana tidak
putus-putusnya. Keturunan para mukimin terdahulu itu sudah
banyak yang tidak kenal lagi tanah leluhur mereka di Nusantara
ini. Tapi bagi orang yang datang dari Indonesia, mereka itu
tidak sulit dikenali. Lihat saja nama mereka. Kalau ada yang
memakai Al Battawi (Betawi), Al Palembani (Palembang), Al Bugisi
(Bugis), Al Banjari (Banjar), pastilah mereka itu keturunan
Indonesia.
Di antara mereka tidak jarang yang kini jadi jutawan terkemuka.
Salah satu keturunan Al Palembani, misalnya, dikenal luas di
Saudi sebagai orang kaya besar. Yang jadi pejabat? Jangan tanya.
Jabatan tinggi di kepolisian, imigrasi maupun di ketentaraan,
tidak kurang yang diduduki oleh keturunan mukimin generasi
terdahulu itu. "Jumlah orang Saudi yang berdarah Indonesia jauh
lebih banyak dari orang Indonesia yang berdarah Arab di
Indonesia," kata seorang mukimin di Jeddah dengan bangga.
Tapi tidak semua mukimin itu berhasil mengasimilasikan diri
dengan masyarakat Saudi. Terutama tentu mereka yang datang
belakangan. Orang-orang ini, meski berpakaian Arab Saudi,
berbahasa Arab lancar, bahkan bertingkah laku Arab, toh tak
kunjung lenyap kelndonesiaannya. Di mana-mana mereka secara
bangga mengaku Andunusi (sebutan Arab untuk Indonesia). Tapi
sembari begitu, tidak pula mereka mau repot berhubungan dengan
KBRI untuk membereskan dokumen dan surat tanda diri. "Banyak di
antara mereka itu masih memegang paspor Belanda yang sudah lama
mati," kata Haji Ishak.
Yang paspor Indonesia juga banyak. Sudah jelas paspor itu tidak
berlaku lagi setelah sekian tahun tidak diperbaharui. "Secara
teoritis mereka itu sebenarnya setelah lima tahun, sudah
kehilangan kewarganegaraannya," kata Letkol Haji Muschan,
pejabat di KBRI itu.
Tentu saja di Saudi yang mukimin bukan cuma orang Indonesia.
"Segala bangsa ada ditemukan di sini. Karena itu bentuk fisik
orang-orang yang berwarga-negara Saudi juga macam-macam," kata
Haji Muchsan pula. Kenyataan bahwa begitu banyak keturunan asing
di Saudi itulah yang konon menimbulkan semacam lelucon: "Hanya
anjing saja yang masih asli di negeri ini." Sudah tentu lelucon
ini amat dilebih-lebihkan.
Selama bertahun-tahun pemerintah Saudi tidak ambil pusing
terhadap segala macam orang yang masuk dan tinggal secara gelap
di negerinya. Sejak lama pemerintah Saudi memang menganggap
dirinya sebagai penjaga rumah Allah, bukan pemiliknya. Karena
itulah mereka merasa tidak punya hak untuk mengusir pelbagai
manusia yang datang.
Tapi setelah petrodollar muncrat Saudi melakukan pembangunan
massal. Tenaga kerja pun mengalir secara besar-besaran -- dan
timbullah soal. Selain bahwa kebanyakan yang datang itu memang
terang-terangan untuk cari makan -- bukan mendekat ke rumah
Allah sudah tentu juga timbul banyak masalah sebagai akibatnya.
Pemerintah Saudi cenderung menginginkan masyarakatnya tertutup
dari pengaruh luar, yang "merusak", jadi arus pendatang asing
ini harus ditertibkan. Lagi pula, sebuah negara "modern" 'kan
harus punya catatan tentang penduduknya?
Maka berpalinglah mereka kepada sejumlah besar orang
--diperkirakan 30% dari penduduk asli -- yang sejak lama tidak
ketentuan statusnya di Saudi.
Dalam rangka penertiban itulah maka dikeluarkan perintah untuk
mengusir keluar orang-orang yang tidak mempunyai izin. Putusan
yang dikeluarkan oleh Raja Sali pada bulan Muharram 1398
(Nopember 1977) mulai diberlakukan pada tahun 1978. Bisa
dibayangkan akibat dari tindakan drastis ini terhadap mereka
yang sudah sekian lama tidak pernah berpikir tentang surat tanda
diri, paspor apalagi izin tinggal.
Dengan peraturan Muharram itu, juga arus masuk para pendatang ke
Saudi dikontrol dengan rapi. Mereka yang datang hanya boleh
tinggal selama bisa mereka berlaku. Yang boleh bekerja hanya
mereka yang mendapat visa kerja. Dan untuk mendapat visa kerja,
harus ada orang Saudi atau perusahaan yang beroperasi di Saudi,
yang menjaminnya.
Pemerintah lndonesia berhasil mendapat kerja-sama yang rapi
dengan pemerintah Saudi. Ribuan mukimin Indonesia yang sudah
berada di Saudi sebelum peraturan Muharram itu diumumkan,
berhasil diputihkan. "Orang Indonesia itu disenangi di sini,
mereka tidak menimbulkan keributan seperti bangsa lainnya,"
kata seorang mukimin di KB RI Jeddah.
Ini tidak berarti bahwa KBRI lantas bisa leha-leha setelah
membereskan ribuan warganya yang sudah lama mukim di tanah suci.
"Peraturan yang keras itu sebenarnya sudah diumumkan di
Indonesia, tapi masih juga terjadi pelanggaran," kata Haji Ishak
pula. Dan pelanggaran itu bukan dalam jumlah kecil. "Sejak
peraturan itu berlaku hingga kini, sudah sekitar tiga ribu orang
Indonesia yang masuk kemari dan melakukan pelanggaran," kata
Haji Rustam Pane yang juga anggota tim pemutihan.
Dari hasil penelitian tim pemutihan ini, sebagian besar orang
Indonesia yang melakukan pelanggaran itu adalah mereka yang
datang dengan niat utama beribadat, umroh. Setelah umroh, mereka
tidak pulang tapi menanti waktu lagi. Untuk mengisi masa kosong,
banyak di antara orang-orang itu yang berusaha mencari kerja.
Beberapa memang berhasil, karena kebetulan ada kenalan yang
menolong. Tapi sisanya terpaksa menganggur dan menjadi sasaran
pengejaran polisi.
Yang menyedihkan adalah bahwa orang-orang yang dicari-cari
polisi ini kebanyakan tidak mengetahui kesalahannya. "Mereka ini
kebanyakan korban calo-calo yang mempermainkan mereka di tanah
air," kata seorang mahasiswa Indonesia di Jeddah. Orang-orang
ini adalah rakyat kecil yang datang dari desa-desa terpencil.
Hasrat menjadi haji - apalagi tahun ini haji akbar -- adalah
dorongan utama bagi mereka untuk datang ke Saudi.
Sebagian besar dari orang-orang ini datang ke Saudi dengan tiket
sejalan. Tidak ada tiket untuk pulang. Mengapa bisa lolos di
Jakarta, yang mengharuskan setiap mereka punya tiket pulang?
"Lha, waktu ke Kedutaan Saudi, bahkan sampai di Halim, mereka
masih punya tiket untuk pulang. Tapi sebelum berangkat tiket
itu diambil kembali oleh travel agent yang mengurusi mereka,"
kata Haji Muschan menjelaskan.
Ada juga yang memang tidak punya tiket untuk pulang. Mereka ini
berharap bahwa sambil menanti musim haji kesempatan bekerja
cukup luas. Hasil bekerja itu bisa jadi ongkos untuk pulang.
Hal ini misalnya terjadi atas beberapa orang dari Cianjur yang
menjual tanah mereka untuk sampai ke rumah Allah di Mekah. Warga
Cianjur yang cuma bisa bahasa Sunda ini mengakunya telah menjual
tanahnya setelah dibujuk oleh seorang ajengan di kampung mereka.
Orang-orang Cianjur ini kini memang telah berada di sekitar
rumah Allah, tapi nampaknya sukar untuk melaksanakan ibadah haji
jika pemerintah Saudi tetap berpegang pada peraturan Muharram
itu.
DARI catatan tim pemutihan ternyata ditemukan juga kasus aneh.
Sekelompok orang dari sebuah kampung di Banjar (Kalimantan)
datang dengan seluruh keluarga ke Saudi. Mereka itu memang
berniat tinggal di sini. "Semua harta benda dan tanah mereka di
Banjar sana telah dijual. Jadi pulangnya juga susah nanti," kata
Haji Pane pula. Apa orang ini tertipu? Siapa yang menipu mereka?
"Mereka tidak merasa tertipu, mereka justru berterima kasih
kepada orang yang membeli tanah dan harta benda dan
memberangkatkan mereka ke mari." Tambah Pane pula: "Orang yang
memberangkatkan mereka juga tidak merasa menipu. Mereka malah
merasa berbuat kebajikan. Lain pula kasus sepuluh orang Bugis
dari Indragiri. Mereka ini datang ke Saudi lewat Singapura. Juga
tidak bisa berbahasa Indonesia, apalagi baca huruf latin.
Tertipu? "Tidak merasa," katanya dalam bahasa Bugis yang
kedengaran antik. Setelah dihitung-hitung, agen di Singapura itu
memang mengambil keuntungan sepantasnya. Yang tidak sewajarnya
adalah bahwa mereka tidak memberi tahu orang-orang Bugis itu
mengenai peraturan Muharram tersebut.
Orang-orang yang surat-suratnya tidak beres inilah yang jadi
urusan pokok KBlRI Jeddah pada hari-hari menjelang musim haji
sekarang ini. "Kami masih berjuang dan berharap agar orang-orang
ini diberi kesempatan berhaji," kata Haji Ishak.
Tapi tidak semuanya bisa diurus oleh KBRI, sebab tidak semua
mereka mau melapor. Yang tidak suka melapor itu menyatakan
karena takut akan dipulangkan oleh pemerintah Indonesia sebelum
musim haji datang. "Itu kan pikiran aneh, dari mana kita dapat
dana untuk memulangkan mereka," haji Muschan membantah.
Aneh atau tidak, nyatanya orang orang Indonesia yang jadi
buronan polisi itu kini bersembunyi dalam masjid Al Haram di
Mekah. "Jumlah mereka sekitar dua ribu, pak. Siang mereka
bersembunyi dalam saluran-saluran air atau kamar mandi. Malamnya
mereka tidur di tempat terbuka," kata seorang mukimin.
Keadaan kesehatan mereka amat mengkhawatirkan. Sebuah laporan
menyebutkan bahwa dua pekan silam, empat di antara mereka sudah
tergeletak lemah di lantai masjid. "Mereka tidak berani keluar.
Jadi kalau tidak diantari makanan, mereka tak makanlah," kata
pelapor itu selanjutnya. Mandi? "Dalam masjid tidak ada kamar
mandi. Di antara mereka ada yang sudah sebulan tidak mandi."
Mereka bisa bertahan dalam masjid, sebab polisi memang tidak
diperbolehkan memasuki rumah Allah itu.
Tapi di tengah-tengah cerita sedih tentang orang-orang Indonesia
yang menderita karena ingin mendekat ke Baitullah itu, dari
Saudi juga ada berita gembira. Ini menyangkut tenaga kerja
Indonesia yang makin hari makin besar saja jumlahnya. Mereka ini
sebagian besar datang atas pesanan perusahaan-perusahaan besar
yang lagi panen kontrak di Saudi.
Tapi tidak kurang yang datang karena mendapat pekerjaan sebagai
pelayan toko di hampir seluruh penjuru Saudi. Terutama Jeddah.
Masuklah sebuah toko mana saja di Jeddah. Di sana anda bisa
seenaknya berbahasa Indonesia seringkali bahasa Jawa atau Sunda,
Bugis atau Banjar -- ketika berbelanja. Kafetaria di lapangan
terbang Jeddah juga mempekerjakan tenaga-tenaga kerja Indonesia.
Salah seorang di antaranya bernama Muhamad Dimyati, asal Jawa
Barat. Anak muda ini mengaku setiap bulannya mengirim sekitar
150 ribu rupiah ke kampungnya. "Untuk tabungan," katanya. Kenapa
tidak tabung di sini saja? "Kalau ditabung di Indonesia kan
devisa namanya. Negeri kita kan perlu devisa untuk pembangunan,"
kata anak muda itu -- dengan yakin tapi lugu.
Cerita gembira tentang devisa yang mengalir ke Indonesia lewat
tenaga kerja ini masih belum mengakhiri kisah orang Indonesia di
Saudi dengan happy ending. "Kami memperkirakan bahwa setelah
musim haji nanti pasti akan banyak lagi orang Indonesia yang
tidak pulang, dan tinggal di sini untuk bekerja," keluh Haji
Isjak di Jeddah. Kalau itu terjadi tentu akan makin banyak saja
orang Indonesia yang bakal jadi buronan polisi Saudi yang
kebanyakan sulit diajak kompromi itu.
Karena sulit kompromi itulah maka terjadi peristiwa berdarah di
sebuah perkampungan orang Taqrani (kulit hitam) di Mekah pada
tanggal 19 September yang lalu. Orang-orang Taqrani adalah
mukimin lama dalam jumlah besar. Mereka tidak mau tahu usaha
polisi yang memeriksa surat-surat mereka. Dari mana pula mereka
mendapat surat.
Karena saling bersitegang, terjadi perkelahian. Sejumlah polisi
mati. Pemerintah Saudi tidak tinggal diam. Tentara bersenjata
lengkap -- helikopter menjatuhkan gas air mata -- didatangkan.
Dan orang-orang Taqrani yang sederhana itu pun dikalahkan.
Menurut taksiran, sekitar dua ratus orang hitam itu tewas. Sejak
itu penjagaan di Mekah diperkeras.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini