Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

"Andunusi", Dengan Impian Haji .

Arab Saudi mengeluarkan peraturan melarang orang asing tinggal di negerinya tanpa izin. Warga Indonesia yang mencari kerja tanpa dibekali surat, menjadi buronan polisi. KBRI mengusahakan kompromi.(pjl)

28 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA truk mini berhenti di depan pintu gerbang Kedutaan Besar Republik Indonesia Jeddah pada suatu siang yang terik tiga pekan silam. Di dalam kantor kedutaan terjadi pembicaraan antara polisi yang mengawal truk-truk itu dengan para pejabat. Di luar, para penumpang truk menjadi perhatian orang banyak. Penumpang itu adalah orang-orang Indonesia. "Mereka ditangkap karena tidak mempunyai izin tinggal di Saudi," kata Haji Ishak, kepala bagian konsuler KBRI Jeddah. Wajah mereka sudah kelihatan lusuh. Beberapa mengaku sudah tidak mandi selama seminggu. Masih ada bertengger senyum, tapi kelihatan lelah. Salah seorang di antara mereka -- dengan izin polisi -- diizinkan turun untuk sekedar istirahat. Lelaki tua itu dipapah melangkah ke halaman kedutaan. Ketika pakaiannya disingkapkan, tubuhnya ternyata sudah bengkak-bengkak. Sebuah borok besar bahkan bertengger di punggungnya. Setelah diberi minum, ia kembali naik truk untuk seterusnya dikembalikan ke rumah tahanan. Mengapa mereka tidak dibebaskan? "Polisi Saudi memang mau membebaskan mereka, tapi kita tidak bisa menerimanya. Mereka itu tidak punya tiket pulang," kata seorang pejabat di KBRI. Dan orang-orang Indonesia yang malang itu -- penuh harap bisa berhaji tahun ini -- dipulangkan kembali ke rumah tahanan tempat mereka disekap bersama ribuan manusia dari segala bangsa yang berada di Saudi tanpa izin tinggal. Mengurusi izin tinggal orang Indonesia di Arab Saudi ini memang pekerjaan baru bagi KBRI. Dan juga bagi pemerintah Saudi. Syahdan, maka sejak agama Islam diturunkan Allah ke muka bumi ini, sejak itu pula berduyun-duyun manusia muslim dari pelbagai penjuru dunia datang menetap di tanah yang menyimpan Baitullah itu. Alasan mereka datang ke sana tentu macam-macam. Mula-mula dan terutama tentu beribadah atau belajar agama. Tapi lama-kelamaan ada pula dibarengi niat cari nafkah. Ini jadi amat menyolok setelah petrodollar muncrat secara fantastis di negeri yang kini dipimpin oleh keturunan Raja Abdul Aziz itu. Kapan orang Indonesia mulai bermukim di Mekah? Tidak ada tahun yang pasti. Mungkin sejak abad ke-18. Dan sejak mukimin pertama itu, hingga hari ini arus pribumi Indonesia ke sana tidak putus-putusnya. Keturunan para mukimin terdahulu itu sudah banyak yang tidak kenal lagi tanah leluhur mereka di Nusantara ini. Tapi bagi orang yang datang dari Indonesia, mereka itu tidak sulit dikenali. Lihat saja nama mereka. Kalau ada yang memakai Al Battawi (Betawi), Al Palembani (Palembang), Al Bugisi (Bugis), Al Banjari (Banjar), pastilah mereka itu keturunan Indonesia. Di antara mereka tidak jarang yang kini jadi jutawan terkemuka. Salah satu keturunan Al Palembani, misalnya, dikenal luas di Saudi sebagai orang kaya besar. Yang jadi pejabat? Jangan tanya. Jabatan tinggi di kepolisian, imigrasi maupun di ketentaraan, tidak kurang yang diduduki oleh keturunan mukimin generasi terdahulu itu. "Jumlah orang Saudi yang berdarah Indonesia jauh lebih banyak dari orang Indonesia yang berdarah Arab di Indonesia," kata seorang mukimin di Jeddah dengan bangga. Tapi tidak semua mukimin itu berhasil mengasimilasikan diri dengan masyarakat Saudi. Terutama tentu mereka yang datang belakangan. Orang-orang ini, meski berpakaian Arab Saudi, berbahasa Arab lancar, bahkan bertingkah laku Arab, toh tak kunjung lenyap kelndonesiaannya. Di mana-mana mereka secara bangga mengaku Andunusi (sebutan Arab untuk Indonesia). Tapi sembari begitu, tidak pula mereka mau repot berhubungan dengan KBRI untuk membereskan dokumen dan surat tanda diri. "Banyak di antara mereka itu masih memegang paspor Belanda yang sudah lama mati," kata Haji Ishak. Yang paspor Indonesia juga banyak. Sudah jelas paspor itu tidak berlaku lagi setelah sekian tahun tidak diperbaharui. "Secara teoritis mereka itu sebenarnya setelah lima tahun, sudah kehilangan kewarganegaraannya," kata Letkol Haji Muschan, pejabat di KBRI itu. Tentu saja di Saudi yang mukimin bukan cuma orang Indonesia. "Segala bangsa ada ditemukan di sini. Karena itu bentuk fisik orang-orang yang berwarga-negara Saudi juga macam-macam," kata Haji Muchsan pula. Kenyataan bahwa begitu banyak keturunan asing di Saudi itulah yang konon menimbulkan semacam lelucon: "Hanya anjing saja yang masih asli di negeri ini." Sudah tentu lelucon ini amat dilebih-lebihkan. Selama bertahun-tahun pemerintah Saudi tidak ambil pusing terhadap segala macam orang yang masuk dan tinggal secara gelap di negerinya. Sejak lama pemerintah Saudi memang menganggap dirinya sebagai penjaga rumah Allah, bukan pemiliknya. Karena itulah mereka merasa tidak punya hak untuk mengusir pelbagai manusia yang datang. Tapi setelah petrodollar muncrat Saudi melakukan pembangunan massal. Tenaga kerja pun mengalir secara besar-besaran -- dan timbullah soal. Selain bahwa kebanyakan yang datang itu memang terang-terangan untuk cari makan -- bukan mendekat ke rumah Allah sudah tentu juga timbul banyak masalah sebagai akibatnya. Pemerintah Saudi cenderung menginginkan masyarakatnya tertutup dari pengaruh luar, yang "merusak", jadi arus pendatang asing ini harus ditertibkan. Lagi pula, sebuah negara "modern" 'kan harus punya catatan tentang penduduknya? Maka berpalinglah mereka kepada sejumlah besar orang --diperkirakan 30% dari penduduk asli -- yang sejak lama tidak ketentuan statusnya di Saudi. Dalam rangka penertiban itulah maka dikeluarkan perintah untuk mengusir keluar orang-orang yang tidak mempunyai izin. Putusan yang dikeluarkan oleh Raja Sali pada bulan Muharram 1398 (Nopember 1977) mulai diberlakukan pada tahun 1978. Bisa dibayangkan akibat dari tindakan drastis ini terhadap mereka yang sudah sekian lama tidak pernah berpikir tentang surat tanda diri, paspor apalagi izin tinggal. Dengan peraturan Muharram itu, juga arus masuk para pendatang ke Saudi dikontrol dengan rapi. Mereka yang datang hanya boleh tinggal selama bisa mereka berlaku. Yang boleh bekerja hanya mereka yang mendapat visa kerja. Dan untuk mendapat visa kerja, harus ada orang Saudi atau perusahaan yang beroperasi di Saudi, yang menjaminnya. Pemerintah lndonesia berhasil mendapat kerja-sama yang rapi dengan pemerintah Saudi. Ribuan mukimin Indonesia yang sudah berada di Saudi sebelum peraturan Muharram itu diumumkan, berhasil diputihkan. "Orang Indonesia itu disenangi di sini, mereka tidak menimbulkan keributan seperti bangsa lainnya," kata seorang mukimin di KB RI Jeddah. Ini tidak berarti bahwa KBRI lantas bisa leha-leha setelah membereskan ribuan warganya yang sudah lama mukim di tanah suci. "Peraturan yang keras itu sebenarnya sudah diumumkan di Indonesia, tapi masih juga terjadi pelanggaran," kata Haji Ishak pula. Dan pelanggaran itu bukan dalam jumlah kecil. "Sejak peraturan itu berlaku hingga kini, sudah sekitar tiga ribu orang Indonesia yang masuk kemari dan melakukan pelanggaran," kata Haji Rustam Pane yang juga anggota tim pemutihan. Dari hasil penelitian tim pemutihan ini, sebagian besar orang Indonesia yang melakukan pelanggaran itu adalah mereka yang datang dengan niat utama beribadat, umroh. Setelah umroh, mereka tidak pulang tapi menanti waktu lagi. Untuk mengisi masa kosong, banyak di antara orang-orang itu yang berusaha mencari kerja. Beberapa memang berhasil, karena kebetulan ada kenalan yang menolong. Tapi sisanya terpaksa menganggur dan menjadi sasaran pengejaran polisi. Yang menyedihkan adalah bahwa orang-orang yang dicari-cari polisi ini kebanyakan tidak mengetahui kesalahannya. "Mereka ini kebanyakan korban calo-calo yang mempermainkan mereka di tanah air," kata seorang mahasiswa Indonesia di Jeddah. Orang-orang ini adalah rakyat kecil yang datang dari desa-desa terpencil. Hasrat menjadi haji - apalagi tahun ini haji akbar -- adalah dorongan utama bagi mereka untuk datang ke Saudi. Sebagian besar dari orang-orang ini datang ke Saudi dengan tiket sejalan. Tidak ada tiket untuk pulang. Mengapa bisa lolos di Jakarta, yang mengharuskan setiap mereka punya tiket pulang? "Lha, waktu ke Kedutaan Saudi, bahkan sampai di Halim, mereka masih punya tiket untuk pulang. Tapi sebelum berangkat tiket itu diambil kembali oleh travel agent yang mengurusi mereka," kata Haji Muschan menjelaskan. Ada juga yang memang tidak punya tiket untuk pulang. Mereka ini berharap bahwa sambil menanti musim haji kesempatan bekerja cukup luas. Hasil bekerja itu bisa jadi ongkos untuk pulang. Hal ini misalnya terjadi atas beberapa orang dari Cianjur yang menjual tanah mereka untuk sampai ke rumah Allah di Mekah. Warga Cianjur yang cuma bisa bahasa Sunda ini mengakunya telah menjual tanahnya setelah dibujuk oleh seorang ajengan di kampung mereka. Orang-orang Cianjur ini kini memang telah berada di sekitar rumah Allah, tapi nampaknya sukar untuk melaksanakan ibadah haji jika pemerintah Saudi tetap berpegang pada peraturan Muharram itu. DARI catatan tim pemutihan ternyata ditemukan juga kasus aneh. Sekelompok orang dari sebuah kampung di Banjar (Kalimantan) datang dengan seluruh keluarga ke Saudi. Mereka itu memang berniat tinggal di sini. "Semua harta benda dan tanah mereka di Banjar sana telah dijual. Jadi pulangnya juga susah nanti," kata Haji Pane pula. Apa orang ini tertipu? Siapa yang menipu mereka? "Mereka tidak merasa tertipu, mereka justru berterima kasih kepada orang yang membeli tanah dan harta benda dan memberangkatkan mereka ke mari." Tambah Pane pula: "Orang yang memberangkatkan mereka juga tidak merasa menipu. Mereka malah merasa berbuat kebajikan. Lain pula kasus sepuluh orang Bugis dari Indragiri. Mereka ini datang ke Saudi lewat Singapura. Juga tidak bisa berbahasa Indonesia, apalagi baca huruf latin. Tertipu? "Tidak merasa," katanya dalam bahasa Bugis yang kedengaran antik. Setelah dihitung-hitung, agen di Singapura itu memang mengambil keuntungan sepantasnya. Yang tidak sewajarnya adalah bahwa mereka tidak memberi tahu orang-orang Bugis itu mengenai peraturan Muharram tersebut. Orang-orang yang surat-suratnya tidak beres inilah yang jadi urusan pokok KBlRI Jeddah pada hari-hari menjelang musim haji sekarang ini. "Kami masih berjuang dan berharap agar orang-orang ini diberi kesempatan berhaji," kata Haji Ishak. Tapi tidak semuanya bisa diurus oleh KBRI, sebab tidak semua mereka mau melapor. Yang tidak suka melapor itu menyatakan karena takut akan dipulangkan oleh pemerintah Indonesia sebelum musim haji datang. "Itu kan pikiran aneh, dari mana kita dapat dana untuk memulangkan mereka," haji Muschan membantah. Aneh atau tidak, nyatanya orang orang Indonesia yang jadi buronan polisi itu kini bersembunyi dalam masjid Al Haram di Mekah. "Jumlah mereka sekitar dua ribu, pak. Siang mereka bersembunyi dalam saluran-saluran air atau kamar mandi. Malamnya mereka tidur di tempat terbuka," kata seorang mukimin. Keadaan kesehatan mereka amat mengkhawatirkan. Sebuah laporan menyebutkan bahwa dua pekan silam, empat di antara mereka sudah tergeletak lemah di lantai masjid. "Mereka tidak berani keluar. Jadi kalau tidak diantari makanan, mereka tak makanlah," kata pelapor itu selanjutnya. Mandi? "Dalam masjid tidak ada kamar mandi. Di antara mereka ada yang sudah sebulan tidak mandi." Mereka bisa bertahan dalam masjid, sebab polisi memang tidak diperbolehkan memasuki rumah Allah itu. Tapi di tengah-tengah cerita sedih tentang orang-orang Indonesia yang menderita karena ingin mendekat ke Baitullah itu, dari Saudi juga ada berita gembira. Ini menyangkut tenaga kerja Indonesia yang makin hari makin besar saja jumlahnya. Mereka ini sebagian besar datang atas pesanan perusahaan-perusahaan besar yang lagi panen kontrak di Saudi. Tapi tidak kurang yang datang karena mendapat pekerjaan sebagai pelayan toko di hampir seluruh penjuru Saudi. Terutama Jeddah. Masuklah sebuah toko mana saja di Jeddah. Di sana anda bisa seenaknya berbahasa Indonesia seringkali bahasa Jawa atau Sunda, Bugis atau Banjar -- ketika berbelanja. Kafetaria di lapangan terbang Jeddah juga mempekerjakan tenaga-tenaga kerja Indonesia. Salah seorang di antaranya bernama Muhamad Dimyati, asal Jawa Barat. Anak muda ini mengaku setiap bulannya mengirim sekitar 150 ribu rupiah ke kampungnya. "Untuk tabungan," katanya. Kenapa tidak tabung di sini saja? "Kalau ditabung di Indonesia kan devisa namanya. Negeri kita kan perlu devisa untuk pembangunan," kata anak muda itu -- dengan yakin tapi lugu. Cerita gembira tentang devisa yang mengalir ke Indonesia lewat tenaga kerja ini masih belum mengakhiri kisah orang Indonesia di Saudi dengan happy ending. "Kami memperkirakan bahwa setelah musim haji nanti pasti akan banyak lagi orang Indonesia yang tidak pulang, dan tinggal di sini untuk bekerja," keluh Haji Isjak di Jeddah. Kalau itu terjadi tentu akan makin banyak saja orang Indonesia yang bakal jadi buronan polisi Saudi yang kebanyakan sulit diajak kompromi itu. Karena sulit kompromi itulah maka terjadi peristiwa berdarah di sebuah perkampungan orang Taqrani (kulit hitam) di Mekah pada tanggal 19 September yang lalu. Orang-orang Taqrani adalah mukimin lama dalam jumlah besar. Mereka tidak mau tahu usaha polisi yang memeriksa surat-surat mereka. Dari mana pula mereka mendapat surat. Karena saling bersitegang, terjadi perkelahian. Sejumlah polisi mati. Pemerintah Saudi tidak tinggal diam. Tentara bersenjata lengkap -- helikopter menjatuhkan gas air mata -- didatangkan. Dan orang-orang Taqrani yang sederhana itu pun dikalahkan. Menurut taksiran, sekitar dua ratus orang hitam itu tewas. Sejak itu penjagaan di Mekah diperkeras.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus