DI kompleks penjara Jeddah yang sedang dibangun itu, sekelompok
pekerja Indonesia sedang sibuk menyelesaikan sebuah bangunan.
Pakaian kerja mereka berwarna biru keabu-abuan, merah putih
kecil di atas saku. Mereka itu adalah buruh kasar yang
didatangkan oleh PT Bangun Cipta Sarana yang kebagian membangun
ruang tempat cuci pakaian penjara. "Ini salah satu bagian dari
seluruh proyek kami di sini yang baru berjumlah 15 juta real,"
kata ir Untung Sutomo yang mengepalai tim Bangun Cipta di Arab
Saudi.
Apa arti kontrak yang bahkan belum mencapai Rp 2 milyar bagi
Bangun Cipta Sarana itu? "Dibanding dengan proyek-proyek kami
yang ada di Indonesia, jumlah itu sebenarnya tidak berarti
banyak. Tapi sebagai langkah pertama untuk mempelajari suatu
medan baru, bolehlah," kata Untung pula.
Masalah pertama yang dihadapi para kontraktor Indonesia itu
terbukti 2 datangnya dari buruh-buruh mereka sendiri. "Buruh
kita, secara mental, ternyata belum siap untuk menerima gaji
bulanan," kata Untung pula. Di Indonesia, buruh-buruh ini memang
terbiasa dengan sistim gaji harian. Kalau mereka bekerja cukup
baik, gaji terjamin. Tapi kalau sebaliknya, mandor bisa memecat
mereka. "Karena di sini mereka bekerja berdasarkan kontrak untuk
masa dua tahun, ya mereka bermalas-malas pun dapat duit," kata
Pontas Arifin dari PT Pembangunan Jaya.
Tentu tidak semua buruh Indonesia memanfaatkan kontrak itu untuk
bersenang-senang di negeri orang. "Betul itu. Tapi kalau mereka
bekerja dengan kapasitas penuh, hasilnya tetap kalah dan lebih
rendah dari buruh-buruh Korea Selatan," kata Tiur Simanjuntak
dari PT El Nusa. Mengapa? Pontas Arifin menjelaskan: "Pertama,
mungkin gerak. Orang kita kan memang biasa bergerak lamban.
Kedua, masalah disiplin. Merokok waktu kerja itu mestinya tidak
boleh. Tapi ya, sulit melarang."
Keluhan-keluhan para kontraktor tersebut muncul dalam suatu
pertemuan bersama dengan Rustam Efendi Pane atase Tenaga Kerja.
Pejabat yang berkantor di KBRI Jeddah itu mempunyai pendapat
lain. Katanya: "Tidak betul kalau dikatakan bahwa buruh kita
tidak mampu. Buktinya, perusahaan asing yang mempekerjakan buruh
Indonesia tidak pernah mengeluh begini."
Pane tidak salah. Cuma nampaknya perlu diberi penjelasan bahwa
buruh Indonesia -- jumlahnya sekitar sepuluh ribu -- yang
dipekerjakan oleh perusahaan asing itu, adalah buruh-buruh yang
di Indonesia memang sudah berpengalaman bekerja dengan orang
asing.
Menghadapi pejabat dari urusan tenaga kerja ini, para kontraktor
masih punya argumentasi. Maka berceritalah mereka mengenai buruh
yang tidak betah di Arab Saudi dan selalu ingin segera pulang
jauh sebelum kontraknya habis. Alasan bagi ketidak-betahan itu
macam-macam. "Tapi terutima karena hidup sunyi di negeri yang
tanpa hiburan ini," kata Untung.
Mengapa orang Korea Selatan bisa bertahan kok kita tidak? "Wah,
jangan bandingkan dengan Korea, dong. Mereka itu semua tentara
dan bekerja dengan disiplin militer," kata Tiur pula.
Lalu bagaimana cara mengatasi penyakit ingin pulang segera ini?
"Mereka kami janjikan untuk berhaji," kata Pontas. "Bangun Cipta
Sarana, selain berhaji pula memberi kesempatan berlibur di
Kairo setelah masa kerja tahun pertama berakhir," tambah Untung.
Kesempatan berhaji ini ternyata mempunyai arti penting bagi para
buruh itu. Dalam suatu kesempatan mengunjungi sebuah proyek,
TEMPO sempat bercakap-cakap dengan beberapa orang buruh yang
lagi bekerja.
Kerja di sini enak, ya? Duitnya banyak.
Tidak juga, pak. Di Indonesia kalau kerja keras seperti ini
hasilnya tidak banyak beda.
Kalau begitu kenapa ke mari?
Biar bisa jadi haji, pak.
Kunjungan Presiden Soeharto ke Arab Saudi tahun silam banyak
membantu para sub kontraktor dari Indonesia. Sebagian besar
kontraktor Indonesia yang kini beroperasi di Saudi datang
bersama atau setelah kunjungan Kepala Negara itu. Mereka tiba di
Saudi tidak untuk menanti lama sebelum mulai bekerja. "Kami
betul-betul kewalahan menghadapi banyaknya kontrak ditawarkan.
Berbeda dengan negeri kita, di sini setiap hari ada pengumuman
tender. Tinggal pilih saja," kata Untung Sutomo.
Tapi meski banyak tender toh tidak setiap tawaran bisa diterima.
"Kami sesuaikan dengan kemampuan dan pengalaman kami," kata
Simanjuntak. "Ada tender membangun flat haji di Madinah. Ini
bisa kita ambil, sebab kita di Jakarta punya pengalaman. Tapi
kalau sudah menyangkut hal yang memerlukan teknologi tinggi,
bagian Amerikalah itu," sela Pontas Arifin.
Di tengah cerita banyaknya pekerjaan yang tinggal dipilih itu,
TEMPO juga mendapat keterangan mengenai salah satu faktor yang
hingga kini masih merupakan salah satu hambatan bagi para sub
kontraktor untuk menjadi kontraktor penuh. Ketika soal itu
ditanyakan kepada mereka -- hampir bagai paduan suara --
menyatakan persetujuan. "Jepang, Korea atau Amerika, jika
mendapat kontrak, segala bahan dan peralatan -- semen, besi
beton, plywood -- bisa dengan segera mereka datangkan. Kita
tidak bisa begitu. Ongkos produksi dalam negeri kita mahal dan
pengapalan ke mari susah." Begitu salah seorang kontraktor
menggambarkan kesulitannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini