PEMANDANGAN di kompleks kantor perwakilan Republik Indonesia di
Jeddah sungguh tidak menyenangkan. Pada jam kerja, ketika
kesibukan sedang melanda kantor yang dipimpin oleh seorang duta
besar itu, sejumlah perempuan nampak cuma memakai kutang. Baju
cuma disampirkan di lengan karena udara Jeddah yang jahat.
Siapakah perempuan-perempuan muda yang sibuk di dapur di bagian
belakang kantor itu? "Itulah para pembantu rumah tangga yang
melarikan diri dari tempat kerja mereka," kata Rustam Effendi
Pane, atase tenaga kerja pada kedutaan itu.
Dalam kompleks kedutaan itu ada 10 orang wanita pembantu rumah
tangga yang berlindung, setelah mereka melarikan diri dari rumah
tuannya. Alasan mereka untuk melarikan diri pada umumnya bisa
digolongkan dalam dua kategori Pertama, mereka yang merasa
tertipu oleh calo yang merekrut mereka di Indonesia. Kedua,
mereka yang tidak tahan menghadapi pekerjaan yang mereka rasakan
amat berat, sementara hiburan dan kesempatan berlibur nyaris
tidak ada.
Dalam kategori pertama, adalah gadis-gadis Jawa Timur yang
datang ke Jeddah dengan niat untuk bersekolah. Salah seorang di
antara mereka adalah Umi Badriah.
Gadis berumur 23 tahun asal Mojokerto ini, sebenarnya sedang
mengikuti kuliah pada Universitas Hasyim Asyari di Jombang
ketika ia "digoda" untuk melanjutkan pelajaran di Jeddah. Yang
menyampaikan tawaran itu, Muslih, adalah seorang yang dikenalnya
sebagai salah seorang keluarga teman sekuliahnya.
Mengaku punya jatah beasiswa sebanyak lima buah untuk Jawa
Timur, Muslih ini berhasil menarik Umi Badriah bersama beberapa
orang temannya. Sebelum melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan,
Umi bersama sejumlah temannya dikumpulkan dulu di rumah keluarga
Sutedjo -- seorang pegawai kotamadya -- di Surabaya.
Di sana bau penipuan sebenarnya sudah tercium. Mengapa tidak
segera membatalkan rencana? "Habis kami malu pulang. Lagi pula
kami masih berharap bisa dapat bersekolah, seperti janji
Muslih," kata Umi. Ketika bimbang menyerang Umi dan
teman-temannya di Surabaya itu, Muslih menenteramkan: "Jangan
ragu, itu semua cuma ujian mental saja. Nanti di Jeddah kamu
tahu yang sebenarnya."
Kebimbangan berikutnya muncul ketika Umi dan teman-temannya
berada di rumah keluarga Rusdi di Jakarta. Di sini pun ia
berkumpul dengan sejumlah perempuan yang memang bersiap-siap
untuk bekerja di Arab Saudi. Kenapa tidak pulang saja? "Ah,
masakan saya yang mahasiswi ini akan dipekerjakan sebagai babu.
Begitu pikiran saya waktu itu," cerita Umi. Dan harapannya
menjadi semakin kuat ketika nyonya Rusdi -- seorang yang
digambarkan cantik dan lancar berbahasa Inggeris -- menanyakan
soal ijazah dan surat-surat yang ada hubungannya dengan sekolah.
Tapi harapan itu ternyata cuma kosong, ketika beberapa belas jam
setelah mendarat di Jeddah ia menemukan dirinya dipekerjakan
sebagai pembantu rumah tangga. Meskipun tiga kawannya yang lain
mendapat tempat kerja di tempat yang terpisah, di tempat
kerjanya Umi bertemu pula dengan seorang teman baru yang juga
merasa tertipu. Bersama dengan teman inilah, setelah satu
setengah bulan bekerja, mereka berhasil melarikan diri ke KBRI.
Bagaimana rencana Umi selanjutnya? Mau sekolah.
Kalau sulit sekolah, apa mau kerja atau pulang saja?
Saya mau sekolah. Pulang, saya sudah malu pada keluarga dan
orang sekampung.
Cerita Jumratul Aminah, gadis sebaya Umi, tidak jauh berbeda.
Anak keenam dari tujuh bersaudara ini masih menjadi santri pada
sebuah pesantren di Kediri ketika ditemui oleh Badriah, seorang
calo. Aminah memang tidak mendapat tawaran beasiswa, tapi
dijanjikan kesempatan kerja sambil sekolah. Kerjanya? "Menjadi
suster," kata Aminah.
Yang menarik adalah bahwa Badriah seorang bekas isteri penghulu,
masih berkeluarga dekat dengan Aminah. "Karena itu saya
percaya." Dan saking percayanya, Aminah bahkan menjual mesin
jahit ibunya -- tanpa izin si empunya-untuk membayar ongkos
surat-surat serta sekedar uang lelah bagi Badriah. Aminah ini
akhirnya juga jatuh ke rumah keluarga Sutedjo di Surabaya, untuk
kemudian bertemu dengan keluarga Rusdi di Jakarta.
Seperti juga Umi, sejak di Surabaya Aminah sebenarnya sudah
curiga bakal kena tipu. "Tapi sudah terlanjur pergi dari rumah,
saya malu pulang," katanya lengan bahasa lndonesia beraksen Jawa
Timur.
Kecurigaan itu makin menjadi-jadi ketika ia berada di rumah
Rusdi di Jakarta. Bahkan ketika berada di Pasar Pagi -- tempat
yang rupanya selalu dipergunakan oleh Rusdi untuk berbelanja
bagi calon pembantu rumah tangga itu -- para pedagang sudah
saling berbisik. "Wah, ini calon babu yang segera
diberangkatkan. " Begitu kisah Aminah.
Kebimbangan Aminah sedikit mereda ketika isteri Rusdi menanyakan
soal ijazah serta surat-surat lainnya. "Pertanyaan itu
meyakinkan saya bahwa pekerjaan yang akan saya kerjakan tentu
sesuai dengan ijazah yang saya miliki," kata Aminah pula.
Ternyata dugaan gadis Kediri itu sama sekali meleset. Di Jeddah
ia dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga. Tentu saja ia
tidak tahan, dan lari ke KBRI. Mau pulang? "Tidak. Saya malu.
Saya akan berusaha sekolah di Kairo. Di sana ada paman saya."
Lain lagi kisah Muhimah, gadis Lombok yang amat pemalu. Di
Cakranegara, anak gadis pada usia awal dua puluhan ini
sehari-harinya bekerja sebagai penjahit pada suatu perusahaan
konpeksi. Di Arab Saudi ada abangnya yang bekerja sebagai sopir.
Sang abang ini, setelah mengumpulkan uang, berniat mengundang
adiknya untuk melakukan ibadah umroh di Tanah Suci. "Kalau nanti
ada kesempatan, juga bisa bekerja sebagai tukang jahit," begitu
konon sang abang berpesan.
Pada saat yang sama, sang abang ini juga mengurus kedatangan
bibinya -- seorang perempuan setengah baya -- yang akan bekerja
sebagai pembantu rumah tangga.
Cerita mulai menarik di sini. Pada saat mengurus visa di
kedutaan Saudi di Jakarta, calo -- namanya Mubarak yang mengurus
keberangkatan bakal pembantu rumah tangga itu ternyata tertarik
pada Muhimah yang masih muda. Dengan usianya yang lebih muda,
paras yang lumayan, tentu gadis ini akan lebih punya kans
dipekerjakan ketimbang tantenya yang setengah baya itu. Begitu
barangkali pikir Mubarak, orang yang digambarkan hampir setiap
hari keluar masuk kedutaan Saudi di Jakarta ini.
Visa pun dipertukarkan. Visa umroh Muhimah diberikan kepada
bibinya, sedang visa bibi itu diberikan kepada Muhimah.
Gadis sederhana dari Nusa Tenggara itu baru menyadari nasib
buruknya ketika berada di Jeddah. Di kota yang berudara amat
panas itu Muhimah dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga.
Ketika kakaknya protes dan meminta adiknya dibebaskan, sang
majikan minta kerugian sebesar setengah juta rupiah. Ini tentu
mengejutkan sang kakak. Ternyata bukan cuma dia yang tertipu.
Majikan itu pun ditipu oleh calo di Jakarta yang bekerja sama
dengan calo di Jeddah. Keuntungan dari penipuan itu cukup
lumayan: lebih dari seratus ribu rupiah.
Dalam kategori kedua sebenarnya tidak banyak yang bisa
dikemukakan. Dari 10 orang di KBRI itu, cuma Alifah, seorang
janda dari Malang, yang lari karena tidak tahan kerja keras.
Dari Malang ia datang ke Saudi memang dengan niat bekerja.
Adalah Alifah sendiri yang mencari "makelar" yang bisa
memberinya pekerjaan. Mulanya ia cuma mencari pekerjaan di
Surabaya, tapi mendengar berita tentang lapangan kerja di Saudi
yang menghasilkan banyak uang, ia pun bersedia diterbangkan.
Sampai saat memasuki rumah tuannya di Jeddah, Alifah tidak
mengalami soal yang merisaukan. Tapi ketika berhadapan dengan
kerja yang dianggapnya berat pada sebuah rumah dengan sembilan
anak, ia pun mulai berpikir-pikir untuk pergi.
Pekerjaan yang berat itu menjadi semakin berat karena selama
bekerja ia tidak pernah mendapat kesempatan keluar, suatu hal
yang menjadi kesenangannya sebagai janda maupun ketika masih
gadis di Malang. Perempuan ini rupanya tidak menyadari bahwa ia
berada di negeri asing yang mempunyai aturan dan kebiasaan lain.
Majikan Alifah ini nampaknya sadar betul bahwa tanpa pengawasan
yang ketat, janda dari Malang ini tentu akan mencari lowongan
untuk keluar rumah. Karena itulah rupanya maka sang majikan
mengambil kebijaksanaan yang juga aneh. Ketika berlibur ke
Mesir, dengan meninggalkan bekal secukupnya buat Alifah, pintu
dikunci dari luar.
Tentu saja Alifah tidak tinggal diam. Dengan alat seadanya, ia
mencongkel pintu untuk kemudian melarikan diri ke KBRI. Rencana
selanjutnya? "Mau kerja lagi. Tapi tidak mau sama yang punya
anak banyak." Begitu kata Alifah, dalam bahasa Indonesia campur
Jawa.
Kasus macam Alifah ini sebenarnya bukan hal baru bagi KBRI. Juni
tahun ini juga, Di Jakarta dan Jeddah pernah muncul kehebohan
yang bersumber pada seorang pembantu rumah tangga yang bernama
Jully Kustinah Bondan.
Perempuan kelahiran Surabaya (1938) dari ayah Menado dan ibu
Jepang ini, sebenarnya mendapat pekerjaan yang cukup terhormat
pada rumah seorang pangeran. Pengalamannya sebagai pekerja
nampaknya cukup luas, ini terbukti dengan kebolehannya dalam
berbahasa Inggeris dan Jepang, di samping Indonesia dan Jawa.
Tapi justru pengalaman itulah yang menjadi beban bagi dirinya
ketika bekerja pada suatu lingkungan yang lain. Jully tidak
biasa tinggal tetus di rumah. Ia biasa keluar dan gemar
berkencan.
Kebiasaannya itu ia coba teruskan di Saudi. Secara diam-diam ia
berhubungan dengan beberapa lelaki yang juga bekerja di rumah
sang pangeran. "Bahkan ia pernah kedapatan bersama lelaki itu
bepergian berdua dengan mobil sang pangeran," kata seorang
pejabat di KBRI Jeddah .
Tapi soal menjadi amat rumit ketika surat-surat cinta Jully
jatuh ke tangan majikannya. Takut akan akibat perbuatannya,
perempuan itu melarikan diri ke KBRI. Segala soal akhirnya
diselesaikan dengan baik lewat campur tangan KBRI. Tapi di
Jakarta, Jully membuat cerita baru. Ia menemui wartawan untuk
menyiarkan kisah yang lain. "Perempuan itu betul-betul
merepotkan kami," kata seorang pejabat KBRI Jeddah itu.
Apa semua pembantu rumah tangga itu merepotkan KBRI? "Yah, tidak
juga. Soalnya banyak yang kami tidak ketahui alamatnya. Mereka
tidak melapor tuannya pun tidak melaporkannya," kata Rustam
Effendi Pane, Atase Tenaga Kerja di KBRI Jeddah.
Menurut taksiran Pane di Arab Saudi ada sekitar 800 wanita
Indonesia yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. "Tidak
semua bikin ribut. Banyak di antara mereka yang pulang setelah
mengumpulkan uang lebih dari sejuta rupiah," cerita Pane pula.
Dan karena penghasilan yang besar itu, plus kerja calo yang
makin gesit meski beberapa telah ditangkap oleh polisi RI --
jumlah pembantu yang berdatangan masih tetap banyak. Mengingat
bahwa pemerintah RI secara resmi melarang ekspor tenaga kerja
jenis pembantu rumah tangga, jelas kedatangan para babu lewat
calo itu suatu pelanggaran. Tapi pelanggaran itu tetap saja
dilakukan oleh para calo, karena imbalannya juga menggiurkan.
Berapa? "Lebih seratus ribu rupiah bagi tiap pembantu yang
meteka dapatkan," kata Pane pula.
Bagi KBRI Jeddah, mengalirnya pembantu rumah tangga secara tak
terkontrol itu bukan cuma merupakan masalah pelanggaran
peraturan. Yang mereka takutkan adalah bakal mengalirnya terus
ke KBRI mereka yang melarikan diri dari majikan masing-masing.
"Ini bukan cuma masalah memberi makan mereka di sini -- suatu
hal yang memang berat bagi KBRI yang kekurangan dana," kata Haji
Ishak, konsul pada KBRI tersebut. "Yang kurang menyenangkan
ialah urusan ribut dan bersitegang dengan majikan yang telah
mengongkosi kedatangan mereka ke Jeddah."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini