Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Perempuan-Perempuan Yang Tertipu

Perempuan-perempuan yang bekerja sebagai pembantu di Arab Saudi mengadukan nasibnya ke KBRI Jeddah. Umumnya mereka melarikan diri dari majikannya dan ditipu calo serta malu pulang ke tanah air.

28 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMANDANGAN di kompleks kantor perwakilan Republik Indonesia di Jeddah sungguh tidak menyenangkan. Pada jam kerja, ketika kesibukan sedang melanda kantor yang dipimpin oleh seorang duta besar itu, sejumlah perempuan nampak cuma memakai kutang. Baju cuma disampirkan di lengan karena udara Jeddah yang jahat. Siapakah perempuan-perempuan muda yang sibuk di dapur di bagian belakang kantor itu? "Itulah para pembantu rumah tangga yang melarikan diri dari tempat kerja mereka," kata Rustam Effendi Pane, atase tenaga kerja pada kedutaan itu. Dalam kompleks kedutaan itu ada 10 orang wanita pembantu rumah tangga yang berlindung, setelah mereka melarikan diri dari rumah tuannya. Alasan mereka untuk melarikan diri pada umumnya bisa digolongkan dalam dua kategori Pertama, mereka yang merasa tertipu oleh calo yang merekrut mereka di Indonesia. Kedua, mereka yang tidak tahan menghadapi pekerjaan yang mereka rasakan amat berat, sementara hiburan dan kesempatan berlibur nyaris tidak ada. Dalam kategori pertama, adalah gadis-gadis Jawa Timur yang datang ke Jeddah dengan niat untuk bersekolah. Salah seorang di antara mereka adalah Umi Badriah. Gadis berumur 23 tahun asal Mojokerto ini, sebenarnya sedang mengikuti kuliah pada Universitas Hasyim Asyari di Jombang ketika ia "digoda" untuk melanjutkan pelajaran di Jeddah. Yang menyampaikan tawaran itu, Muslih, adalah seorang yang dikenalnya sebagai salah seorang keluarga teman sekuliahnya. Mengaku punya jatah beasiswa sebanyak lima buah untuk Jawa Timur, Muslih ini berhasil menarik Umi Badriah bersama beberapa orang temannya. Sebelum melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan, Umi bersama sejumlah temannya dikumpulkan dulu di rumah keluarga Sutedjo -- seorang pegawai kotamadya -- di Surabaya. Di sana bau penipuan sebenarnya sudah tercium. Mengapa tidak segera membatalkan rencana? "Habis kami malu pulang. Lagi pula kami masih berharap bisa dapat bersekolah, seperti janji Muslih," kata Umi. Ketika bimbang menyerang Umi dan teman-temannya di Surabaya itu, Muslih menenteramkan: "Jangan ragu, itu semua cuma ujian mental saja. Nanti di Jeddah kamu tahu yang sebenarnya." Kebimbangan berikutnya muncul ketika Umi dan teman-temannya berada di rumah keluarga Rusdi di Jakarta. Di sini pun ia berkumpul dengan sejumlah perempuan yang memang bersiap-siap untuk bekerja di Arab Saudi. Kenapa tidak pulang saja? "Ah, masakan saya yang mahasiswi ini akan dipekerjakan sebagai babu. Begitu pikiran saya waktu itu," cerita Umi. Dan harapannya menjadi semakin kuat ketika nyonya Rusdi -- seorang yang digambarkan cantik dan lancar berbahasa Inggeris -- menanyakan soal ijazah dan surat-surat yang ada hubungannya dengan sekolah. Tapi harapan itu ternyata cuma kosong, ketika beberapa belas jam setelah mendarat di Jeddah ia menemukan dirinya dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga. Meskipun tiga kawannya yang lain mendapat tempat kerja di tempat yang terpisah, di tempat kerjanya Umi bertemu pula dengan seorang teman baru yang juga merasa tertipu. Bersama dengan teman inilah, setelah satu setengah bulan bekerja, mereka berhasil melarikan diri ke KBRI. Bagaimana rencana Umi selanjutnya? Mau sekolah. Kalau sulit sekolah, apa mau kerja atau pulang saja? Saya mau sekolah. Pulang, saya sudah malu pada keluarga dan orang sekampung. Cerita Jumratul Aminah, gadis sebaya Umi, tidak jauh berbeda. Anak keenam dari tujuh bersaudara ini masih menjadi santri pada sebuah pesantren di Kediri ketika ditemui oleh Badriah, seorang calo. Aminah memang tidak mendapat tawaran beasiswa, tapi dijanjikan kesempatan kerja sambil sekolah. Kerjanya? "Menjadi suster," kata Aminah. Yang menarik adalah bahwa Badriah seorang bekas isteri penghulu, masih berkeluarga dekat dengan Aminah. "Karena itu saya percaya." Dan saking percayanya, Aminah bahkan menjual mesin jahit ibunya -- tanpa izin si empunya-untuk membayar ongkos surat-surat serta sekedar uang lelah bagi Badriah. Aminah ini akhirnya juga jatuh ke rumah keluarga Sutedjo di Surabaya, untuk kemudian bertemu dengan keluarga Rusdi di Jakarta. Seperti juga Umi, sejak di Surabaya Aminah sebenarnya sudah curiga bakal kena tipu. "Tapi sudah terlanjur pergi dari rumah, saya malu pulang," katanya lengan bahasa lndonesia beraksen Jawa Timur. Kecurigaan itu makin menjadi-jadi ketika ia berada di rumah Rusdi di Jakarta. Bahkan ketika berada di Pasar Pagi -- tempat yang rupanya selalu dipergunakan oleh Rusdi untuk berbelanja bagi calon pembantu rumah tangga itu -- para pedagang sudah saling berbisik. "Wah, ini calon babu yang segera diberangkatkan. " Begitu kisah Aminah. Kebimbangan Aminah sedikit mereda ketika isteri Rusdi menanyakan soal ijazah serta surat-surat lainnya. "Pertanyaan itu meyakinkan saya bahwa pekerjaan yang akan saya kerjakan tentu sesuai dengan ijazah yang saya miliki," kata Aminah pula. Ternyata dugaan gadis Kediri itu sama sekali meleset. Di Jeddah ia dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga. Tentu saja ia tidak tahan, dan lari ke KBRI. Mau pulang? "Tidak. Saya malu. Saya akan berusaha sekolah di Kairo. Di sana ada paman saya." Lain lagi kisah Muhimah, gadis Lombok yang amat pemalu. Di Cakranegara, anak gadis pada usia awal dua puluhan ini sehari-harinya bekerja sebagai penjahit pada suatu perusahaan konpeksi. Di Arab Saudi ada abangnya yang bekerja sebagai sopir. Sang abang ini, setelah mengumpulkan uang, berniat mengundang adiknya untuk melakukan ibadah umroh di Tanah Suci. "Kalau nanti ada kesempatan, juga bisa bekerja sebagai tukang jahit," begitu konon sang abang berpesan. Pada saat yang sama, sang abang ini juga mengurus kedatangan bibinya -- seorang perempuan setengah baya -- yang akan bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Cerita mulai menarik di sini. Pada saat mengurus visa di kedutaan Saudi di Jakarta, calo -- namanya Mubarak yang mengurus keberangkatan bakal pembantu rumah tangga itu ternyata tertarik pada Muhimah yang masih muda. Dengan usianya yang lebih muda, paras yang lumayan, tentu gadis ini akan lebih punya kans dipekerjakan ketimbang tantenya yang setengah baya itu. Begitu barangkali pikir Mubarak, orang yang digambarkan hampir setiap hari keluar masuk kedutaan Saudi di Jakarta ini. Visa pun dipertukarkan. Visa umroh Muhimah diberikan kepada bibinya, sedang visa bibi itu diberikan kepada Muhimah. Gadis sederhana dari Nusa Tenggara itu baru menyadari nasib buruknya ketika berada di Jeddah. Di kota yang berudara amat panas itu Muhimah dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga. Ketika kakaknya protes dan meminta adiknya dibebaskan, sang majikan minta kerugian sebesar setengah juta rupiah. Ini tentu mengejutkan sang kakak. Ternyata bukan cuma dia yang tertipu. Majikan itu pun ditipu oleh calo di Jakarta yang bekerja sama dengan calo di Jeddah. Keuntungan dari penipuan itu cukup lumayan: lebih dari seratus ribu rupiah. Dalam kategori kedua sebenarnya tidak banyak yang bisa dikemukakan. Dari 10 orang di KBRI itu, cuma Alifah, seorang janda dari Malang, yang lari karena tidak tahan kerja keras. Dari Malang ia datang ke Saudi memang dengan niat bekerja. Adalah Alifah sendiri yang mencari "makelar" yang bisa memberinya pekerjaan. Mulanya ia cuma mencari pekerjaan di Surabaya, tapi mendengar berita tentang lapangan kerja di Saudi yang menghasilkan banyak uang, ia pun bersedia diterbangkan. Sampai saat memasuki rumah tuannya di Jeddah, Alifah tidak mengalami soal yang merisaukan. Tapi ketika berhadapan dengan kerja yang dianggapnya berat pada sebuah rumah dengan sembilan anak, ia pun mulai berpikir-pikir untuk pergi. Pekerjaan yang berat itu menjadi semakin berat karena selama bekerja ia tidak pernah mendapat kesempatan keluar, suatu hal yang menjadi kesenangannya sebagai janda maupun ketika masih gadis di Malang. Perempuan ini rupanya tidak menyadari bahwa ia berada di negeri asing yang mempunyai aturan dan kebiasaan lain. Majikan Alifah ini nampaknya sadar betul bahwa tanpa pengawasan yang ketat, janda dari Malang ini tentu akan mencari lowongan untuk keluar rumah. Karena itulah rupanya maka sang majikan mengambil kebijaksanaan yang juga aneh. Ketika berlibur ke Mesir, dengan meninggalkan bekal secukupnya buat Alifah, pintu dikunci dari luar. Tentu saja Alifah tidak tinggal diam. Dengan alat seadanya, ia mencongkel pintu untuk kemudian melarikan diri ke KBRI. Rencana selanjutnya? "Mau kerja lagi. Tapi tidak mau sama yang punya anak banyak." Begitu kata Alifah, dalam bahasa Indonesia campur Jawa. Kasus macam Alifah ini sebenarnya bukan hal baru bagi KBRI. Juni tahun ini juga, Di Jakarta dan Jeddah pernah muncul kehebohan yang bersumber pada seorang pembantu rumah tangga yang bernama Jully Kustinah Bondan. Perempuan kelahiran Surabaya (1938) dari ayah Menado dan ibu Jepang ini, sebenarnya mendapat pekerjaan yang cukup terhormat pada rumah seorang pangeran. Pengalamannya sebagai pekerja nampaknya cukup luas, ini terbukti dengan kebolehannya dalam berbahasa Inggeris dan Jepang, di samping Indonesia dan Jawa. Tapi justru pengalaman itulah yang menjadi beban bagi dirinya ketika bekerja pada suatu lingkungan yang lain. Jully tidak biasa tinggal tetus di rumah. Ia biasa keluar dan gemar berkencan. Kebiasaannya itu ia coba teruskan di Saudi. Secara diam-diam ia berhubungan dengan beberapa lelaki yang juga bekerja di rumah sang pangeran. "Bahkan ia pernah kedapatan bersama lelaki itu bepergian berdua dengan mobil sang pangeran," kata seorang pejabat di KBRI Jeddah . Tapi soal menjadi amat rumit ketika surat-surat cinta Jully jatuh ke tangan majikannya. Takut akan akibat perbuatannya, perempuan itu melarikan diri ke KBRI. Segala soal akhirnya diselesaikan dengan baik lewat campur tangan KBRI. Tapi di Jakarta, Jully membuat cerita baru. Ia menemui wartawan untuk menyiarkan kisah yang lain. "Perempuan itu betul-betul merepotkan kami," kata seorang pejabat KBRI Jeddah itu. Apa semua pembantu rumah tangga itu merepotkan KBRI? "Yah, tidak juga. Soalnya banyak yang kami tidak ketahui alamatnya. Mereka tidak melapor tuannya pun tidak melaporkannya," kata Rustam Effendi Pane, Atase Tenaga Kerja di KBRI Jeddah. Menurut taksiran Pane di Arab Saudi ada sekitar 800 wanita Indonesia yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. "Tidak semua bikin ribut. Banyak di antara mereka yang pulang setelah mengumpulkan uang lebih dari sejuta rupiah," cerita Pane pula. Dan karena penghasilan yang besar itu, plus kerja calo yang makin gesit meski beberapa telah ditangkap oleh polisi RI -- jumlah pembantu yang berdatangan masih tetap banyak. Mengingat bahwa pemerintah RI secara resmi melarang ekspor tenaga kerja jenis pembantu rumah tangga, jelas kedatangan para babu lewat calo itu suatu pelanggaran. Tapi pelanggaran itu tetap saja dilakukan oleh para calo, karena imbalannya juga menggiurkan. Berapa? "Lebih seratus ribu rupiah bagi tiap pembantu yang meteka dapatkan," kata Pane pula. Bagi KBRI Jeddah, mengalirnya pembantu rumah tangga secara tak terkontrol itu bukan cuma merupakan masalah pelanggaran peraturan. Yang mereka takutkan adalah bakal mengalirnya terus ke KBRI mereka yang melarikan diri dari majikan masing-masing. "Ini bukan cuma masalah memberi makan mereka di sini -- suatu hal yang memang berat bagi KBRI yang kekurangan dana," kata Haji Ishak, konsul pada KBRI tersebut. "Yang kurang menyenangkan ialah urusan ribut dan bersitegang dengan majikan yang telah mengongkosi kedatangan mereka ke Jeddah."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus