Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Bahasa Tulisan Diprioritaskan

Bahasa menunjukkan bangsa, berfungsi sebagai pengontrol tingkah laku individu. Kita terlalu memprioritaskan bahasa tulisan tapi lalai akan pentingnya bahasa lisan yang merupakan bahasa komunikasi 75%.

28 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAHASA, kata orang tua kita, menunjukkan bangsa. Itu tak berarti bahwa orang tua kita sudah memikirkan suatu konsep "nasionalisme", tentang keutuhan bangsa (nation) dengan bahasa. Sebab bila kita terjemahkan dan renungkan kembali, kalimat di atas sebenarnya hanya menunjukkan kecenderungan suatu struktur masyarakat tertentu keinginan untuk menilai klas sosial seseorang dari cara bertutur orang itu. Dengan kata lain, seseorang ditimbang martabat dan latar belakangnya adakah ia bangsawan atau bukan -- dari cara ia menempatkan kata, dari lagu ia mengucapkan kalimat. Hal ini bisa terlihat dengan jelas dalam bahasa Jawa misalnya. Seorang Jawa yang berlagak priyayi, tapi tak tahu di mana ia harus memakai kata sare dan di mana ia harus menggunakan kata tilem (kedua-duanya berarti "tidur"), akan tak diakui sebagai anggota lapisan yang luhur. Setidaknya ia akan dianggap kurang tahu adat. Maka bahasa pun ikut berfungsi sebagai pengontrol tingkah-laku individu. Pak Tani tak bisa akan seenaknya bersikap kepada Pak Bupati, karena sejak awal proses yang berlangsung di kepalanya untuk menyatakan diri, ia sudah harus menempuh jalur yang ditentukan. Memang mentakjubkan bagaimana bahasa itu bisa menjadi semacam alat penggerak dari jauh, dalam suatu mekanisme remote control, bagi individu yang ratusan ribu jumlahnya. Jelas suatu evolusi yang panjang dalam sejarah sosial-politik telah membentuk jaringan semacam itu. Dan sejarah sosial-politik itu pula, dengan segala korban dan pemenangnya, yang telah menciptakan pusat-pusat tertentu -- tempat orang mengukur diri dalam berbahasa dan beradat istiadat. Bahasa Jawa punya bahasa Jawa-Surakarta, bahasa Bugis punya bahasa Bugis-Bone. Bahasa Indonesia, sebaliknya, belum mempunyai suatu centre of excellence yang sedemikian. Begitu ia berkembang dari bahasa Melayu-Riau menjadi bahasa pengantar untuk seluruh Nusantara, dan apalagi setelah ia memencar di zaman Indonesia merdeka, ia "kehilangan" suatu pusat. Mungkin tak ada jeleknya. Bahasa ini dengan demikian menjadi bahasa yang mudah diikuti, memiliki basis pendukung yang semakin luas, dan dengan demikian mempunyai kemungkinan yang semakin kaya. Tak ada ukuran yang jelas mana yang "baik dan sopan" dan mana yang tidak. Ia tak perlu menjadi mahal untuk dipelajari. Namun barangkali, seperti kata ahli bahasa, kita membutuhkan kesamaan dalam lambang-lambang. Kalau tidak bahasa Indonesia bukanlah bahasa persatuan. Kita membutuhkan "pembakuan". Dan dari semangat ini lahirlah ejaan baru, misalnya. Ketika para ahli bahasa berhasil memperkenalkan dan mengharuskan kita memakai ejaan yang diperbaharui, enam tahun yang lalu suatu momentum sebenarnya terbangun. Tak kurang dari Kepala Negara sendiri yang menganjurkan agar kita "berbahasa Indonesia yang baik dan benar" -- apa pun artinya "baik dan benar" itu. Di TVRI muncul pelajaran bahasa Indonesia. Di koran-koran diskusi-diskusi terjadi. Di Jakarta nama-nama toko dan gedung tak boleh menunaikan bahasa asing. Tapi ahli bahasa, dengan segala kecenderungan teknokratisnya, rupanya memang tak. bisa diharapkan menjadi para penggerak masyarakat. Momentum yang terjadi telah terlepas. Kita tak segera memanfaatkannya. Seminar demi seminar selesai, belum juga terdengar jawab ke masyarakat setelah ejaan, apa? Kita bahkan tambah kacau sampai 6 tahun ini: apakah "Sujono" berarti "Suyono" ataukah "Sudjono"? Sementara itu, ketika para ahli bahasa kita sibuk memikirkan bahasa tulisan (ejaan adalah sendi pertamanya), kita pun seperti lupa bahwa sekitar 30% bangsa kita tak mengenal bahasa yang disusun dalam huruf Latin itu. Kita lupa pentingnya bahasa lisan, yang mungkin merupakan bahasa komunikasi 75% atau lebih dalam hidup kita radio, TV, khotbah, pidato di balai desa. Kita lalai barangkali bahwa dengan memprioritaskan bahasa tulisan, kita memprioritaskan satu segi dari bahasa kita yang terbatas. Tapi barangkali bahasa memang menunjukkan bangsa. Dalam arti lain: bahwa apa yang baik dan apa yang terlantar di sana mencerminkan apa yang baik dan apa yang terlantar di antara kita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus