BERBEDA dengan waktu pemilu 1971, dalam pemilu tahun ini Golkar
tak mengerahkan artis secara besarbesaran. "Kami tak lagi
menggunakan sistim pengerahan artis Safari model 1971", tutur
drs. Moerdopo, bendahara DPP Golkar kepada TEMPO pekan lalu.
Kurang biaya? "Bukan. Soal dana, kita kan golongan besar, banyak
punya sponsor", ujarnya.
Mungkin betul. Tapi bisa diingat juga ucapan Ketua Umum Golkar
Amir Murtono, di depan pers sehari sebelum masa kampanye
berlaku. Ia menyatakan "dalam masalah biaya buat kampanye,
Colkar juga mengalami kesulitan seperti parpol". Ia
mengungkapkan bahwa dari rencana biaya Rp 1,5 milyar, sampai
saat itu baru terkumpul Rp « milyar, termasuk bantuan residen
yang Rp 175 juta. Kabarnya karena itu Bucuk Suharto, tokoh Artis
Safari dan pemimpin perusahaan film Golkar (PT Safari Sinar
Sakti Film), tak jadi mengerahkan artis buat berkampanye. Tak
disetujui DPP. Padahal sudah diajukannya setahun lalu.
Tapi Moerdopo memang punya alasan lain. Yakni sistim itu sudah
diduga akan ditiru pihak lain. Selain itu menurut dia,
pengerahan artis dan regu kesenian buat kampanye sekarang
ditekankan kepada kekuatan daerah masingmasing. Sebab menurut
Moerdopo, strategi pengerahan regu kesenian ke daerah-daerah di
1971 itu telah menghasilkan kemenangan ganda. Pertama
memenangkan Golkar. Kedua "menanamkan benih" artis-artis dan
grup kesenian di daerah-daerah. Hasilnya di tahun 1977 ini
tak perlu lagi ia mengerahkan artis-artis dari Pusat. Cukup yang
ada di daerah-daerah saja.
Itu menurut Moerdopo. Sedang menurut Mus Mualim, anggota Bagian
Sosial Budaya DPP Golkar, "DPP Golkar tidak lagi membiayai
kampanye artisartis". Hal itu kini dibebankan kepada
daerah-daerah. "Kami tak terlalu ngoyo": katanya kepada Adi
Putra dari TEMPO. Suami Titiek Puspa ini menambahkan bahwa ada
juga yang ikut kampanye di daerah tapi tak sebanyak 1971. Ia
menyebut misalnya Frans Daromez di Manado, Titiek Puspa di Jawa
Timur, Muchsin & Sandhora dan Benyamin S. di Jakarta.
Kepergian mereka ke daerah itu pun agak "kebetulan". Menurut
Moerdopo, Frans Daromez berkampanye sampai 20 Maret di Sulut
karena kebetulan "pulang kampung. Benyamin dan Grace Simon
pernah berkampanye di Banjarnlasin dengan mendompleng undangan
Kodam setempat. Ateng dan Iskak bersama penyanyi Vivi Sumanti
berkampanye di Irian Jaya nunut undangan Pemda setempat.
Betapapun juga, menurut Moerdopo, "tak ada artis atau grup
kesenian yang kini besar, bisa dipisahkan dari jasa Golkar".
Seorang staf Moerdopo bahkan menyatakan bahwa di tahun 1960-an
kehidupan para artis berantakan, sampai datang regu Safari yang
kemudian memperhatikan mereka. "Artis menikmati kemenangan
Golkar", katanya karena Golkar "membukakan banyak jalan".
Diakui oleh Moerdopo, bahwa PNI dulu (1971) pernah terkenal
karena menampilkan grup reognya. Tapi dibandingkan dengan tim
Safari Golkar, katanya itu belum apa-apa. Juga bila kini Partai
Persatuan Pembangunan dapat menampilkan Oma Irama, bagi Moerdopo
itu belum jadi ukuran kehebatan kampanye PPP. "Apa sih kekuatan
Oma Irama", cetusnya. "Tak mungkin menandingi tim Safari 1971".
Dan memang, tampaknya PPP cuma mampu menampilkan Raden Haji Oma
Irama itu. Sampai awal April ini, cuma "raja dang-dut" itu
satu-satunya artis penyanyi yang giat jadi "gong" partai
bertanda-gambar Ka'bah itu.
Menurut H. Muzaini Ramli, Ketua Lajnah Pemilihan Umum Ummat
Islam (LPUI) DPD PPP DKI Jakarta, PPP memang akan mengerahkan
artis-artis. Juga cabang-cabang PPP di daerah-daerah "akan
berbuat serupa", katanya. Tapi sampai Sabtu pekan lalu, Muzaini
masih enggan menyebutkan siapa saja mereka.
Tampaknya memang banyak hambatan yang dihadapi PPP DKI Jakarta
dan daerah. Dana amat cekak. Kebanyakan artis yang bersedia
kampanye memang menyatakan lillahi ta'ala. Tapi toh biaya
angkutan perlu. Sementara itu PPP tak bisa berkutik bila artis
yang sudah digarapnya "dibajak orang lain", seperti dikatakan
Muzaini. Karena itu, kecuali menyebut Oma Irama yang memang
pendirian dan tekadnya kuat tetap berpihak pada PPP, Muzaini tak
berani terang-terangan mengumumkan sebelumnya siapa artis yang
akan tampil buat PPP. Sebab gejala saling memperebutkan artis
memang muncul selama masa kampanye ini.
Kasus Benyamin S dan Muchsin & Titik Sandhora agaknya dapat
merupakan contoh. Kabarnya, jauh sebelum Benyamin dan Muchsin &
Sandhora tampil di kampanye Golkar, pihak PPP DKI, seperti
diakui Muzaini, sudah melakukan pendekatan kepada mereka
bertiga. Tapi tampaknya PPP kalah sigap. Benyamin jadi muncul di
kampanye Golkar, meski memberikan kesan "asal nongol".
Muchsin-nya Titiek Sandhora lebih yakin: ia agak menyesali Oma
Irama yang PPP (lihat: Antara Harapan).
Golkar - yang memegang banyak kunci ke pelbagai kesempatan -
memang bisa lebih mampu membujuk. Artis Safari atau resminya
Team Kesenian Safari Golkar 1971 itu, beranggotakan tak kurang
dari 324 orang artis dan "ofisiar'. Terdiri dari para penyanyi,
pelawak, penari dan pemain band atau orkes. Bandnya saja
berjumlah 13 buah. Antara lain Koes Plus, Kumbang Cari, The
Brims, Dharma Putra, Los Suita Rama dan OK Bintang Jakarta.
Jumlah penyanyinya tak kurang dari 60 orang. Di antaranya Lilies
Suryani, Nurseha, Rosa Lesmana, Minggus Tahitu, Taty Saleh,
Yetty Wijaya, Melky Guslaw Nanny Triana, Fenty Effendy, Tiar
Ramon, Elly Kasim, Lily Sarief, Titiek Puspa, Betty Djuhara dan
Alfian. Pendeknya semua penyanyi dan pelawak (sudah tentu
termasuk almarhum Bing Slamet dan teman-temannya yang dikenal
sebagai Kwartet Jaya), yang pada waktu itu menghiruk-pikuki
dunia musik dan lawak. Tak ketinggalan pula Rofiqoh Dharto
Wahab, dengan orkes rebana Johansyahnya, dengan anggota 11
orang.
Di tahun 1971, dengan memakai tak kurang dari 14 pesawat terbang
milik perusahaan Bouraq dan Seulawah, Artis Safari yang
dikomandoi Bucuk Suharto itu selama dua bulan penuh, sejak 5 Mei
1971, didrop ke seantero pojok tanah air. Terbagi 13 kelompok,
paling sedikit selama seminggu satu kelompok menjelajahi suatu
daerah. Daerah itu sudah diteliti keadaan dan selera warganya -
agar setiap kelompok bisa diterima dan cocok dengan keinginan
penduduk setempat. Mereka ternyata mendapat sambutan hangat dari
rakyat yang butuh hiburan.
Dengan jaminan pengangkutan dan tempat menginap di hotel, tentu
saja para artis itu merasa tak ada alasan buat tak senang hati
untuk ikut serta. Lagipula antusiasme artis-artis itu mengikuti
kampanye pada waktu itu tak dapat dilepaskan dari keadaan di
masa sebelumnya Seperti kata Mus Mualim: "Tahun 1963-1964 (masa
"demokrasi terpimpin "Orde Lama - Red.) tak ada kebebasan
mencipta, tak ada sarana tempat menyalurkan hasil ciptaan.
Hingga setelah itu timbul semangat untuk ikut kampanye, karena
mengharapkan keadaan yang lebih baik".
Tapi di samping soal kemerdekaan itu - yang memang diinginkan
orang kreatif seperti Mus Mualim -- ada daya tarik lain bagi
kebanyakan artis show business yang gemar gemerlapan. Uang saku
Rp 1000 sehari untuk satu orang pada waktu itu masih boleh
dibilang bagus. Apalagi seperti dikatakan Moerdopo dengan wajah
cerah: "Pakai pesawat terbang dan dapat pakaian seragam siapa
yang tak senang?"
Hingga tak aneh bila menurut Moerdopo, sampai sekarang hampir
"tak ada artis yang menyatakan tak mendukung Golkar". Meski
sebenarnya hubungan antara para artis dengan Team Artis Safari
cuma bersifat kekeluargaan. "Tak ada ikatan disiplin organisasi
apapun" kata A. Hudiyono, Sekretaris Artis Safari.
Status Team Artis Safari itu sendiri dalam tubuh Golkar hanyalah
sebagai task force (satuan tugas) pada waktu kampanye pemilu
1971 itu saja. Seusai masa kampanye, mereka kembali bebas main
di mana saja dan dengan siapa saja. Dan bila mereka main, Team
Artis Safari tak pernah mengotak-atik honor mereka sepeser pun.
Menurut Hudiyono, "keterikatan mereka hanyalah secara moril
saja". Maksudnya karena mereka pernah bergabung dalam rombongan
raksasa para artis dan menjelajah Indonesia.
Bagaimana dengan para artis yang bergabung dalam Papiko
(Persatuan Artis Penyanyi Ibukota), yang berdiri awal 1972?
Sebagian besar anggota Papiko yang 250 orang itu, tentu juga
pernah punya hubungan dengan Team Artis Safari. Papiko merupakan
organisasi prof dengan ikatan disiplin organisasi, berupa iuran
Rp 250 sebulan. Namun demikian, menurut penyanyi Wirdaningsih 25
tahun, sekretaris Papiko, "tak ada larangan bagi anggotanya buat
aktif berkampanye untuk salah satu kontestan".
Secara organisasi, Papiko belum dihubungi oleh salah satu
peserta pemilu. "Bila diajak, kita bersedia saja, siapanun yang
mengajak", tutur Wirdaningsih. Papiko organisasi netral. Ia tak
merasa keberatan seorang anggotanya dihubungi langsung oleh
panitia pemilu. Nah, siapa mau pesan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini