Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Antara harapan, keyakinan & bayaran

Wawancara tempo dengan artis-artis yang terlibat dalam kampanye pemilu. ternyata ada sebagian artis itu berkampanye hanya untuk mencari aman, dan bukan dengan motivasi politik.

9 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA penyanyi dan pelawak yang untuk Golkar, ada yang untuk PPP. Ada juga yang dikabarkan kampanye untuk PDI - misalnya Surya Grup meskipun tidak bisa dipastikan kebenarannya. Berita yang tidak pasti macam itu termasuk hal yang membingungkan dalam masa kampanye ini. Supaya soalnya jelas, di bawah ini kami bawa pembaca menemui beberapa artis. UPIT Sarimanah. "Saya ini karyawan yang setia pada negara", kata Upit Sarimanah pada Zulkifly Lubis dari TEMPO. Inilah alasan Upit memilih Golkar. Sebagai Kepala Seksi Kesenian Sunda RRI Studio Jakarta Upit yang lahir di Purwakarta 16 Aprii 1928 itu, tampaknya ingin konsekwen. Pesinden yang sudah 30 tahun berkecimpung di dunia perwayang-golekan itu, tampil di podium kampanye pemilu mengaku sebagai muballighot atau golongan ulama. Sebab pesinden nomor wahid ini sejak pulang menunaikan ibadah hajinya awal 1974, dijuluki orang sebagai ustadzah. Nama lengkapnya: Ustadzah Hajjah Upit Sarimanah. Ini ada kisahnya. Sepulang dari Mekah awal 1974, pada suatu majlis taklim Upit dirninta menceritakan pengalamannya selama menunaikan rukun Islam ke-V itu. Uraiannya konon amat mengesankan. Dan sebuah harian memuatnya sebagai berita. "Nah, saya ini jadi ulama karena wartawan", katanya. Sebab sejak itu beberapa majlis taklim sering mengundangnya buat berceramah. Dia tak merasa rendah diri meski misalnya berhadapan dengan ulama tamatan Mekah atau al Azhar sekalipun. Sebagai muballigh ia memang bukan lepasan pesantren. Ia jebolan HIS dan SMP Puteri 1945. Ia rajin mengaji Qur'an dan berguru kepada KH Hasyim Adnan BA, itu jagoan podium PPP. Juga ber"guru" kepada Hamka, Zakiah Drajat dan Osman Raliby melalui ceramah-ceramah mereka di TVRI atau RRI. Tapi ia memisahkan antara aqidah dan karya. Hingga sebagai calon Golkar untuk DPRD, dalam berkampanye ia menyerukan: "Islam agamaku, ka'bah kiblatku dan Golkar coblosanku". Pesinden yang sudah jarang muncul menyanyi tapi lebih banyak bertabligh soal rumah-tangga itu -- sedikitnya 4 kali seminggu -- berjanji kalau terpilih sebagai anggota DPRD akan memperjuangkan perbaikan nasib seniman. "Kan baru segelintir seniman yang hidupnya baik". Oma Irama. Penyanyi dang-dut yang kini terjun ke film ini (main di film Penasaran dan Gitar Tua) sudah aktif dalam organisasi Pemuda Muslimin Indonesia (ormas PSII) daerah Tebet Jakarta sejak pergolakan Gestapu/PKI. 'Saya masuk PSII, karena ingin berpartisipasi menumpas PKI". Dan bila ia otomatis masuk dan berkampanye buat Ka'bah itu baginya amat wajar. Tapi bukan tanpa alasan. "Saya ingin berjuang demi kepentingan muslim karena Allah, sadar mengkampanyekan Islam dan bersedia berjihad", tuturnya kepada Eddy Herwanto dari TEMPO. Di pemilu tahun 1971 ia mengaku tak ikut berkampanye karena, "menyesalkan perpecahan dalam tubuh partai Islam". Karena partai-partai Islam kini bersatu dalam PPP, sebelum diminta ia menawarkan jasa buat ikut berkampanye. "Saya senang PPP menerima saya". Bagi Oma, adalah berdosa bila ia tak mendorong Islam, apalagi tak ikut berjuang. Hingga ia tak begitu peduli bila calon-calon PPP yang terpilih kelak tak membawakan aspirasi politiknya. Juga ia tak memaharni tujuan PPP, karena ia berkampanye atas dasar "keyakinan agama". Ia tak merasa jadi alat politik. Karena ia berkeyakinan, "bila ada orang Islam meninggalkan partai Islam, atau perjuangan Islam, karena takut kehilangan kedudukan, orang itu munafik". Dan baginya, lebih munafik bila ada ulama yang mempengaruhi orang jangan memilih Partai Islam. "Bayangkan, apa hukum Tuhan, terhadap ulama yang tak mendukung Islam sendiri". Bagaimana kalau karena kampanye PPP penggemarnya jadi berkurang? Jawab Oma, itu merupakan "pengorbanan". "Jangankan penggemar atau harta, nyawa pun Insya Allah -- seandainya ada yang mau menyabot -- saya tarok". Tapi ia yakin fansnya kebanyakan muslim. Benyamin Syuaib. "Mendingan saya disuruh nyanyi aja, menghibur. Kalau disuruh ngomong, gimana sih? Saya bukan pimpinan 'kan? Milikilah Benyamin untuk semua golongan dan partai. Tapi tak berarti saya plin plan. Emangnya saya politikus? Saya terlalu cinta dunia saya". Begitu Benyamin nyerocos. Toh, ia tampil juga di kampanye Golkar. Sebabnya orang Golkar memintanya dan ia ada waktu. Sedang orang PPP datang sesudah orang Golkar, dan waktu itu Ben mau ke Banjarmasin. Jadi PPP terpaksa ditolak. Tapi sungguhkah ia Golkar? "Saya tak mau masuk membabi buta. Politik dari kacamata seniman memang lain", katanya. Maksudnya, "tak tertarik sama politik. Mungkin nanti, waktu umur 40-an ke atas. Mikirin karir aja udah capek". Tapi sebagai orang Islam dan haji pula? "Kita ini kan Panca Sila. Agama saya nggak mau diganggu-gugat. Kalau ada yang ngacak-ngacak agama saya, perang juga mau". Tapi sementara ia kampanye Golkar, ia tetap hormat pada Oma. S. Bagyo. Badut ini tak mau ambil pusing soal kampanye. Meski di pemilu 1971 ikut kampanye Artis Safari Golkar. "Cari aman saja", katanya kepada Syarief Hidayat. Tapi kalau ada yang mengajak kampanye ia OK saja, "asal dengan bayaran yang cocok". Golongan mana saja. Tapi ia tak menerangkan bagaimana kalau yang mengajaknya dari 3 golongan. Mungkin akan dilakukan tender. Soalnya buat Bagyo, seperti juga dulu waktu ikut Artis Safari, motifnya cuma cari aman itulah. "Siapa sih artis yang tak ikut Safari?". Tapi Bagyo pernah menolak tawaran Golkar buat berkampanye, karena sedang shoonng fikn dan karena tempatnya di Aceh. "Kalau bukan di Aceh saya mau fikir-fikir. Tapi di Aceh suruh kampanye Golkar, bisa dilempar rencong". Ateng dan Iskak. Kedua badut ini paling tegas memihak Golkar. "100% saya kampanyekan Golkar", kata Ateng. "Supaya pembangunan berjalan terus. Juga dengan pembangunan artis-artisnya to". Minta dibayar kayak Bagyo? "Asal fasilitas ditanggung, sekedar uang saku, bolehlah". Kedua tukang ngocak ini, terkesan oleh jalannya kampanye di Jayapura yang pernah mereka ikuti pertengahan Maret lalu. "Antara ke 3 golongan bergilir teratur", tutur Ateng. Ketika Golkar kampanye: PDI nonton dulu. Selesai Golkar, PDI masuk kampanye. Dan kalau saling jumpa di jalan mereka saling berhalo. Iskak dan Ateng mengaku tak pernah ikut organisasi politik. Organisasi mereka: peguyuban pelawak. Atau bagi Ateng, ikut "perkumpulan orang-orang pendek". Toh keduanya bertekad memenangkan Golkar. Muchsin & Titiek Sandhora. Bagi Muchsin, Golkar bukan partai politik. Karena itu ia mendukungnya. Sebab, bagi penyanyi lagulagu Arab dan Melayu itu, "partai politik adalah busuk. Lain di muka yang diomongin lain di belakang yang dibicarakan". Meski begitu, berjihad buat agama, katanya, ia mau berdiri paling depan. "Tapi ini 'kan bukan mau perang". Dan ikut kampanye Golkar, katanya, "lillahi ta'ala. Tanpa imbalan, diberi janji atau dipaksa". Ia mendongkol diberilakan koran PPP Pelita bahwa ia mau berkampanye buat PPP. Tapi waktu utusan PPP datang, suami isteri itu memang segan menolak. Hanya, akhirnya ketika orang Golkar datang dan mengajak berkampanye, keduanya tarnpil di rapat Golkar Lapangan Banteng. Meski Muchsin mengaku tak mengerti politik, ia menilai Oma Irama, "tidak menyadari gerakan politik".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus