TAHUN anggaran 1976/77 baru berakhir Maret ini. Sebentar lagi
angkaangka statistik tentang prestasi ekonomi Indonesia selama
masa itu akan muncul. Namun dari angka-angka sementara yang
mulai masuk tentang neraca pembayaran Indonesia pada periode
itu, harus diakui adanya titik terang. Pemerintah memperkirakan,
pada tahun anggaran 1976/77 neraca pembayaran Indonesia akan
menghasilkan surplus sebesar AS$ 580 juta, sesudah tahun
sebelumnya mengalami defisit sebesar AS$ 360 juta. Tapi sampai
Jimuari kemarin neraca pembayaran telah mengalami surplus
sebesar AS$ 965 juta. Dengan adanya surplus ini, maka cadangan
devisa Indonesia yang pada akhir Maret tahun lalu masih
berjumlah sekitar AS$ 560 juta, pada akhir Januari kemarin sudah
melonjak menjadi AS$ 1520 juta.
Perbaikan ini tercapai berkat adanya kenaikan ekspor yang
jumlahnya lebih besar dari pada kenaikan impor. Dus devisa yang
masuk sampai akhir 1976 lebih besar dari devisa yang terpakai.
Ekspor meningkat dengan kira-kira AS$ 1,4 milyar, sedang impor
naik dengan AS$ 0,9 milyar. Jadi masih ada sisa kira-kira AS$
0,5 milyar. Ini masuk ke cadangan devisa pemerintah.
Perbaikan dalam ekspor terjadi baik pada volume maupun nilai.
Ekspor minyak volumenya naik dengan 11%, sementara nilainya
naik dengan 13%. Kayu, bahan ekspor utama di samping minyak,
volume ekspornya naik dengan sepertiga. Dan nilainya naik dengan
lebih dari separoh, seperti juga yang dialami kayu. Musibah yang
menimpa produksi kopi Brazil merupakan berkah bagi kopi
Indonesia, karena itu sekalipun volume ekspor hanya naik dengan
8, nilainya meningkat dengan hampir dua setengah kali lipat.
Kenaikan harga komoditi ekspor Indonesia memang sudah pada
puncaknya. Dan dalam bulan-bulan mendatang ini sulit diharapkan
harga akan naik lagi. Bagi Indonesia sulitnya adalah karena
persediaan komoditi ekspor di sini masih inelastis, hingga
kenaikan permintaan di luar negeri tak bisa diimbangi dengan
cepat oleh peningkatan produksi. Kecuali minyak yang produksinya
meningkat cepat akhir-akhir ini dari 1,3 juta barrel sehari
menjadi 1,5 juta barrel bulan ini.
Rappaport
Menteri Pertambangan Sadli baru-baru ini mengungkapkan kini
terdapat permintaan yang kuat terhadap minyak Indonesia dari
pantai barat Amerika. Minyak Indonesia laku keras di California,
hingga jumlah penjualan di Jepang -yang merupakan pasaran utama
minyak Indonesia sekarang ini - mulai turun. Ini perkembangan
yang sehat, tentunya, karena ketergantungan terhadap Jepang bagi
pemasaran minyak mulai berkurang.
Di segi impor, impor beras, dan mesin-mesin memborong sebagian
besar devisa. Dari kira-kira AS$ 900 juta kenaikan impor,
sekitar AS$ 600 juta merupakan kenaikan impor mesin-mesin dan
beras. Impor beras sendiri naik dengan AS$ 125 juta. Ini
disebabkan Bulog melakukan impor besar-besaran untuk memperkuat
stok dalam negeri. Impor mesin-mesin dan alat pengangkutan naik
sekali karena pembangunan pabrik-pabrik oleh penanam modal yang
sudah mendapat izin memang masih berlaku. Pupuk yang merupakan
salah satu pemakan devisa terbesar, impornya kini sudah jauh
berkurang berkat bertambahnya produksi dalam negeri akhir-akhir
ini, dengan selesainya pabrik Pusri unit III di Gresik dan
Purwakarta. Tahun 1976 impornya hanya AS$ 24 juta, sesudah
setahun sebelumnya berjumlah AS$ 400 juta.
Dengan hasil yang lumayan di bidang perdagangan luar negerinya,
rupanya Indonesia diniiai baik oleh Bank Dunia. Dalam laporan
tahunannya tentang Indonesia selama 1976, Bank Dunia memberi
rekomendasi agar Indonesia bisa diberi kredit lagi sejumlah AS$
2 milyar. AS$ 1 milyar di antaranya akan berasal dari Bank
Dunia, Bank Pembangunan Asia dan IGGI. Sedang yang AS$ 1 milyar
lagi akan berasai dari sumber-sumber lain, seperti bank-bank
komersiil.
Ini tak akan susah dikerjakan oleh pemerintah Indonesia, karena
ternyata akhir-akhir ini Indonesia telah membuktikan bahwa
krisis Pertamina merupakan sesuatu yang lampau, sekalipun kini
Indonesia masih harus mencicil AS$ 35 juta setahun untuk denda
pembatalan kontrak sewa tanker-tanker samudera. Cicilan itu
belum termasuk untuk tanker-tanker yang dibeli-cicil dari
perusahaan Bruce Rappaport, yang sampai sekarang masih jadi
sengketa hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini