Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Baik, Kata Bank Dunia

Pemerintah memperkirakan, neraca pembayaran Indonesia tahun anggaran 1976/77 akan menghasilkan surplus setelah mengalami defisit tahun lalu. Hal ini disebabkan kenaikan ekspor yg lebih baik dari impor.

9 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAHUN anggaran 1976/77 baru berakhir Maret ini. Sebentar lagi angkaangka statistik tentang prestasi ekonomi Indonesia selama masa itu akan muncul. Namun dari angka-angka sementara yang mulai masuk tentang neraca pembayaran Indonesia pada periode itu, harus diakui adanya titik terang. Pemerintah memperkirakan, pada tahun anggaran 1976/77 neraca pembayaran Indonesia akan menghasilkan surplus sebesar AS$ 580 juta, sesudah tahun sebelumnya mengalami defisit sebesar AS$ 360 juta. Tapi sampai Jimuari kemarin neraca pembayaran telah mengalami surplus sebesar AS$ 965 juta. Dengan adanya surplus ini, maka cadangan devisa Indonesia yang pada akhir Maret tahun lalu masih berjumlah sekitar AS$ 560 juta, pada akhir Januari kemarin sudah melonjak menjadi AS$ 1520 juta. Perbaikan ini tercapai berkat adanya kenaikan ekspor yang jumlahnya lebih besar dari pada kenaikan impor. Dus devisa yang masuk sampai akhir 1976 lebih besar dari devisa yang terpakai. Ekspor meningkat dengan kira-kira AS$ 1,4 milyar, sedang impor naik dengan AS$ 0,9 milyar. Jadi masih ada sisa kira-kira AS$ 0,5 milyar. Ini masuk ke cadangan devisa pemerintah. Perbaikan dalam ekspor terjadi baik pada volume maupun nilai. Ekspor minyak volumenya naik dengan 11%, sementara nilainya naik dengan 13%. Kayu, bahan ekspor utama di samping minyak, volume ekspornya naik dengan sepertiga. Dan nilainya naik dengan lebih dari separoh, seperti juga yang dialami kayu. Musibah yang menimpa produksi kopi Brazil merupakan berkah bagi kopi Indonesia, karena itu sekalipun volume ekspor hanya naik dengan 8, nilainya meningkat dengan hampir dua setengah kali lipat. Kenaikan harga komoditi ekspor Indonesia memang sudah pada puncaknya. Dan dalam bulan-bulan mendatang ini sulit diharapkan harga akan naik lagi. Bagi Indonesia sulitnya adalah karena persediaan komoditi ekspor di sini masih inelastis, hingga kenaikan permintaan di luar negeri tak bisa diimbangi dengan cepat oleh peningkatan produksi. Kecuali minyak yang produksinya meningkat cepat akhir-akhir ini dari 1,3 juta barrel sehari menjadi 1,5 juta barrel bulan ini. Rappaport Menteri Pertambangan Sadli baru-baru ini mengungkapkan kini terdapat permintaan yang kuat terhadap minyak Indonesia dari pantai barat Amerika. Minyak Indonesia laku keras di California, hingga jumlah penjualan di Jepang -yang merupakan pasaran utama minyak Indonesia sekarang ini - mulai turun. Ini perkembangan yang sehat, tentunya, karena ketergantungan terhadap Jepang bagi pemasaran minyak mulai berkurang. Di segi impor, impor beras, dan mesin-mesin memborong sebagian besar devisa. Dari kira-kira AS$ 900 juta kenaikan impor, sekitar AS$ 600 juta merupakan kenaikan impor mesin-mesin dan beras. Impor beras sendiri naik dengan AS$ 125 juta. Ini disebabkan Bulog melakukan impor besar-besaran untuk memperkuat stok dalam negeri. Impor mesin-mesin dan alat pengangkutan naik sekali karena pembangunan pabrik-pabrik oleh penanam modal yang sudah mendapat izin memang masih berlaku. Pupuk yang merupakan salah satu pemakan devisa terbesar, impornya kini sudah jauh berkurang berkat bertambahnya produksi dalam negeri akhir-akhir ini, dengan selesainya pabrik Pusri unit III di Gresik dan Purwakarta. Tahun 1976 impornya hanya AS$ 24 juta, sesudah setahun sebelumnya berjumlah AS$ 400 juta. Dengan hasil yang lumayan di bidang perdagangan luar negerinya, rupanya Indonesia diniiai baik oleh Bank Dunia. Dalam laporan tahunannya tentang Indonesia selama 1976, Bank Dunia memberi rekomendasi agar Indonesia bisa diberi kredit lagi sejumlah AS$ 2 milyar. AS$ 1 milyar di antaranya akan berasal dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan IGGI. Sedang yang AS$ 1 milyar lagi akan berasai dari sumber-sumber lain, seperti bank-bank komersiil. Ini tak akan susah dikerjakan oleh pemerintah Indonesia, karena ternyata akhir-akhir ini Indonesia telah membuktikan bahwa krisis Pertamina merupakan sesuatu yang lampau, sekalipun kini Indonesia masih harus mencicil AS$ 35 juta setahun untuk denda pembatalan kontrak sewa tanker-tanker samudera. Cicilan itu belum termasuk untuk tanker-tanker yang dibeli-cicil dari perusahaan Bruce Rappaport, yang sampai sekarang masih jadi sengketa hukum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus