Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Parliza Hendrawan
Kontributor Tempo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Padang sabana" dengan ratusan kerbau. Padang ini bukan padang biasa. Memang ada hamparan rumput, tapi lebih banyak lagi hamparan rawa kering, rawa yang dipenuhi rumput, juga rawa bak kolam raksasa. Penghuni rawa-rawa itu adalah para kerbau yang berlarian di rumput atau mencebur ke rawa secara berbondong-bondong.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kerbaunya pun bukan kerbau darat yang biasa dipakai membajak sawah. Bukan pula kerbau sungai. Ini kerbau rawa. Nama ilmiah kerbau adalah Bubalus bubalis. Namun, secara spesifik, kerbau dibagi menjadi tiga: kerbau liar (B. bubalis arnee), kerbau sungai (B. bubalis bubalis), dan kerbau rawa (B. bubalis carabauesis). Kerbau rawa memiliki tanduk lebih panjang dan punya kemampuan berenang jarak jauh.
Di Pampangan, salah satu kecamatan di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, panorama yang langka itu bisa ditemukan. Jaraknya sekitar 85 kilometer dari Kota Palembang atau sekitar 50 km dari Kota Kayu Agung, ibu kota Kabupaten OKI.
Daerah ini dikenal sebagai salah satu daerah penghasil ikan dan beras dari sawah dan lebak. Tapi Pampangan juga dikenal sebagai sentra pengembangbiakan kerbau rawa. Saya ingin melihat lebih dekat ekosistem kerbau rawa di wilayah Pampangan itu.
Habitat kerbau rawa memang ada di beberapa tempat di Indonesia. Yang cukup terkenal, karena sudah menjadi destinasi wisata, adalah di Danau Panggang, Amuntai, Kalimantan Selatan. Populasi kerbau di sana sekitar 2.000 ekor. Kerbau Amuntai memiliki kemampuan berenang selama empat jam sejauh 4-5 kilometer. Setiap pagi, kerbau-kerbau itu dilepaskan. Pada sore hari, kerbau digiring kembali ke kandang. Peternak kerbau cuma menggembala dari atas perahu.
Di Sumatera, selain di Pampangan, habitat kerbau rawa bisa dijumpai di Tanjung Senai, Kabupaten Ogan Ilir (OI), dan Desa/Kecamatan Rambutan di Kabupaten Banyuasin. Jarak antar-tiga daerah tersebut cukup jauh. Dibutuhkan waktu lebih dari satu hari untuk menelusurinya. Saya mengunjungi tiga sentra pengembangbiakan kerbau rawa tersebut pada Agustus lalu.
Setelah menempuh perjalanan selama lebih dari tiga jam dari Kota Palembang, saya tiba di Pampangan, tepatnya di Desa Bangsal. Udara desa masih begitu segar dan aliran sungai masih cukup untuk membawa para nelayan hilir-mudik. Dan ketika tengah malam, suara lenguhan kerbau rawa kerap meningkahi, bersama angin sepoi-sepoi yang menembus celah lantai kayu pondok milik Pak Kepala Desa yang kami diami.
Pagi-pagi benar saya terbangun dan langsung bersiap-siap bertualang mengelilingi sungai dan rawa-rawa di Desa Bangsal. Jarak pandang masih sangat terbatas. Kabut masih menyelimuti desa yang dihuni 868 warga itu.
Menjelang pukul 06.00 pagi, Muhammad Hasan, Kepala Desa Bangsal, mendatangi pondok tempat saya bermalam. Ia mengajak saya dan seorang kerabat mengunjungi kandang kerbau milik beberapa warga di sebelah selatan Bangsal. Perjalanan bisa ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 30-40 menit. Medannya agak berat, karena terdiri atas rawa basah yang di sekitarnya juga tumbuh hamparan rumput. Salah-salah kaki bisa terperosok ke bekas jejak kerbau yang bisa setinggi paha.
Perjalanan bisa lebih cepat bila menumpang perahu kayu, atau dalam bahasa setempat disebut ketek, milik warga. Setelah berjalan, kami sayup-sayup mendengar suara "tek...tek...tek...", suara khas perahu kayu bermesin 6,5 PK itu. Ketek itu milik Uju Muhammad. Pak Hasan pun menghentikannya dan menitipkan kami untuk bepergian ke kandang para peternak.
Kami beruntung. Uju Muhammad, 60 tahun, ternyata juga beternak kerbau rawa. Sembari membuang air yang masuk ke lambung ketek, Uju bercerita banyak perihal ekosistem kerbau rawa. Ia juga bercerita tentang susu kerbau, yang dalam bahasa setempat disebut puan, yang bisa dimasak menjadi camilan yang mantap di lidah. Kami pun penasaran.
Dua puluh menit kemudian, ketek menepi di bibir sungai yang berjarak sekitar 150 meter dari kandang. Lenguhan dan aroma khas kerbau menyambut kedatangan kami. Kabut sudah mulai menipis, sehingga merahnya tanah, hitamnya air rawa, dan hijaunya rerumputan mulai tampak. Saya membayangkan seperti sedang berada di salah satu hamparan padang sabana di Afrika, sebagaimana yang sering saya tonton di layar televisi.
"Ada 11 kandang di sini," kata Uju Muhammad sembari membuka gembok kandangnya. Uju memiliki hampir 60 ekor kerbau.
Ia kemudian dengan lincah memamerkan kepiawaiannya memerah susu, yang sebelumnya diisap oleh bayi kerbau yang belum genap berumur 8 bulan. Sekitar lima menit kemudian, giliran kerbau anakan lainnya yang mengisap puting betina berumur lebih dari 15 tahun itu. Hasil perahannya sekitar 4 liter puan segar. Puan itu pun ditampung di ember plastik.
Setelah itu, puluhan kerbau dikeluarkan dari kandang menuju rawa. Suara gaduh dan riuh menyertai kepergian mereka ke hamparan rumput. Seekor kerbau betina dewasa tampak berlari meninggalkan kandang sembari menyusui anaknya.
Di rawa itulah kerbau-kerbau akan seharian menghabiskan waktu dengan berenang, berlarian, atau memakan rumput sembari menyelami air rawa. Tugas Uju belum selesai. Ia masih harus membersihkan kandang dari kotoran dan memperbaiki kandang yang rusak. Uju merintis peternakan kerbau rawa itu sejak awal 1980-an.
Matahari makin tinggi. Uju dan peternak lain pulang untuk sarapan dan melakukan aktivitas produktif lain, termasuk memasak susu. Menjelang sore, ia harus kembali ke kandang untuk menyambut kepulangan hewan-hewan piaraan itu. Para peternak, biasanya setelah salat asar, menghidupkan api untuk menghangatkan tubuh kerbau setelah seharian berendam di air. Perapian difungsikan juga untuk mengusir nyamuk dan binatang yang menempel di kulit hitam gelap mereka.
Selesai mengintip proses pemerahan susu kerbau, kami melanjutkan petualangan kecil mengelilingi sungai dan rawa-rawa di sekitar Desa Bangsal. Desa ini berbatasan dengan Desa Kuro di sebelah barat, Desa Manggaris di sebelah utara, serta Desa Pulau Betung di arah timur dan selatan. Sepanjang mata memandang, penglihatan dimanjakan oleh hamparan "padang sabana".
Dari atas perahu ketek, lensa kamera berhasil menangkap aktivitas pagi warga desa, seperti mandi dan mencuci di sungai. Tampak pula jajaran keramba ikan yang terbuat dari bambu. Bahkan tak jarang perahu yang ditumpangi berpapasan dengan perahu lain yang sedang mengangkut barang dagangan yang menuju pasar kecamatan di Pampangan.
Sementara itu, di bibir sungai yang mengarah ke jalan desa, terdapat ratusan rumah kayu dan semi-permanen yang berbaris rapi. Tiang-tiang rumah tertanam di rawa. Hanya tangga kayu yang menjadi penghubung rumah dan sungai. Pesona ini kian menambah keelokan desa.
Untuk menuju Desa Bangsal tak terlalu sulit, baik dari arah Kayu Agung maupun Kota Palembang. Bila menggunakan bus, pelancong mengeluarkan ongkos tiket Rp 25-30 ribu. Setidaknya ada tiga pilihan jalan darat yang bisa ditempuh dari Palembang. Rute pertama dimulai dari Jakabaring dengan melewati beberapa desa, di antaranya Sungai Pinang-Rambutan-SP Padang-Pampangan. Rute ini merupakan jalan utama.
Sedangkan rute kedua hanya direkomendasikan pada musim kemarau, karena jalanan banyak berlubang, bahkan dipenuhi lumpur. Rute tersebut dimulai dari Jakabaring, melewati Desa Sungai Pinang-Rambutan-Simpang Semudim-Pulau Layang dan Desa Bangsal. Alternatif ketiga dari Jakabaring, kendaraan akan melintas di Desa Sungai Pinang-Rambutan-Tanjung Kerang-Siju-Jermun dan Pampangan.
Kepala Sub-bagian Media dan Komunikasi Publik Sekretariat Daerah OKI, Adi Yanto, menjelaskan, Desa Bangsal bisa juga ditempuh dari Kota Kayu Agung dengan melewati SP Padang-Pampangan. Dengan ongkos hanya Rp 25 ribu dan lama perjalanan sekitar dua jam, ia menjamin para pelancong bisa sampai ke ibu kota kecamatan. Selanjutnya, dengan menumpang ojek bertarif sekitar Rp 20 ribu, tamu akan diantar ke Desa Bangsal. "Menginap di Kayu Agung akan ada banyak pilihan. Kalau di Bangsal, biasanya di homestay milik warga setempat," kata Adi.
Selain di Pampangan, saya mendatangi habitat kerbau rawa di Tanjung Senai. Saya tiba di sana setelah melakukan perjalanan sekitar satu jam dari Palembang. Tak kalah mempesona, kerbau di sini juga hidup berkoloni. Dari kejauhan, koloni kerbau itu tampak hitam menyemut.
Hari berikutnya, saya mampir ke Desa Rambutan di Banyuasin. Saya tiba sore hari, sehingga pas dengan waktu kepulangan kerbau ke kandang yang terletak di tengah rawa yang menyerupai sebuah pulau. Dari pulau tersebut, sejauh mata memandang, terdapat bentang alam yang begitu mempesona. Ada perpaduan warna yang pas antara tanah yang memerah dan rumput yang hijau serta ada sebagian yang kekuning-kuningan. Tampak jelas juga lubang-lubang kecil yang tercetak rapi dari kaki-kaki kerbau rawa.
Di Desa Rambutan terdapat hampir seratusan kerbau yang berendam. Beberapa di antaranya menyelam sembari memakan rumput bento. Menjelang magrib, secara beriringan kerbau masuk ke kandang dan langsung mengelilingi perapian.
Saat mengunjungi Swamp Buffalo Centre dan Eduwisata di Rambutan, Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead terpikat mencicipi gulo puan dan susu segar hasil perahan. Para peternak dengan gambut dan rawa serta ekosistem lain merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Di wilayah ini, BRG berkomitmen menjaga kelestarian 1,2 juta hektare lahan gambut yang sebagian di antaranya rawan terbakar. "Masyarakat harus tetap produktif dengan peternakan kerbau rawanya agar mereka tak lagi membakar lahan," kata Nazir.
Ketika bepergian ke Pampangan, cukup banyak oleh-oleh yang bisa dibawa pulang. Selain susu segar kerbau rawa beserta turunannya, ada kemplang panggang khas Pampangan, yang terbuat dari campuran ikan air tawar dan tepung. Olahan susu segar kerbau rawa tetap menjadi pilihan utama. Peternak mulai mengembangkan nilai turunan dari susu segar, yaitu jelly puan.
Menurut Muhammad Hasan, Kepala Desa Bangsal, berkat bantuan BRG, pihaknya memiliki berbagai pilihan dalam mengolah susu segar. Makanan berupa jelly puan yang dibuat oleh para santri di pondok pesantren Ibnul Fallaah tak hanya sehat, tapi juga sangat terjangkau: Rp 2.500 per cup kecil. Adapun susu segar dijual Rp 15 ribu per liter. Setelah dimasak menjadi gulo puan, harganya menjadi Rp 80 ribu per kilogram. Kemudian ada sagon puan seharga Rp 150 ribu/kg dan minyak samin Rp 200 ribu/kg.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo