Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Liburan memang waktunya untuk bersantai. Namun beberapa wisatawan kerap menunjukkan tingkah laku yang berlebihan sampai tergolong pelanggaran. Hal ini disebut sindrom turis menurut sebuah sruvei.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa contoh pelanggaran misalnya, wisatawan yang mencoret-coret villa Romawi kuno dengan grafiti, membuang kantong plastik makanan ringan dalam gua taman nasional hingga berjamur dan menimbulkan aroma tak sedap, atau ada juga yang mengganggu geisha di Kyoto Jepang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut survei analis perjalanan di Radical Storage, jaringan penyimpanan barang bawaan, yang dilakukan pada bulan Oktober terhadap 1.231 orang dewasa di Amerika, sebagian besar orang mengalami sindrom turis. Sebanyak 56.5 persen melakukan sesuatu yang tidak biasa saat bepergian.
Hampir setengah dari wisatawan mengatakan bahwa mereka pernah melakukan perbuatan melanggar hukum. Perbuatan itu tentu tidak akan mereka lakukan di rumah. "Sayangnya, temuan survei ini mengonfirmasi apa yang sudah kita ketahui," kata Giacomo Piva, salah satu pendiri Radical Storage, seperti dilansir dari laman USA TODAY.
Piva menambahkan fakta bahwa 56,5 persen orang mengaku mengalami kondisi buruk dan mengalami 'sindrom turis' saat berlibur menunjukkan bahwa masalah ini bukan tentang beberapa hal yang merusak perjalanan bagi banyak orang. Tetapi banyak hal yang merusak perjalanan semua orang.
"Industri pariwisata mungkin telah pulih dari dampak COVID-19, tetapi sayangnya epidemi perilaku buruk terus mengancam kebebasan bepergian di masa depan, dengan protes antituris melanda Eropa," ujarnya.
Pelanggaran paling umum yang dilakukan wisatawan dalam survei ini adalah bersikap teritorial dengan meletakkan handuk untuk memesan kursi santai di tepi kolam renang, berpose tidak pantas di depan patung, dan memetik tanaman tanpa izin, seperti cagar alam atau properti seseorang.
Dari survei tersebut juga diketahui bahwa pelaku yang paling banyak melakukan pelanggaran adalah Gen Z. Sebanyak 72 persen Gen Z mengatakan bahwa mereka lebih cenderung melakukan hal-hal yang tidak diinginkan selama perjalanan mereka.
Lalu apa penyebab begitu banyak wisatawan merasa dibenarkan jika bersikap lebih ceroboh? Sayangnya hampir separuh wisatawan menyalahkan media sosial yang memicu perilaku buruk wisatawan tersebut. Empat dari 10 wisatawan mengatakan liburan mereka adalah waktu untuk bersantai dan bersenang-senang, keluar dari zona nyaman dan menciptakan kenangan. Sekitar sepertiga responden mengatakan seseorang dapat berperilaku berbeda ketika tidak ada orang yang mengenalnya.
Sementara itu, sebanyak 61 persen responden juga menambahkan bahwa seharusnya ada hukuman yang lebih berat bagi pelaku perjalanan yang berperilaku buruk. Hampir dua pertiganya juga mengatakan mereka merasa malu dengan perilaku buruk teman perjalanan mereka.