Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menurut New York Times, lebih dari satu dekade yang lalu, para pemilik gajah biasa membawa hewan mereka ke kota-kota Thailand dan mengemis di jalanan. Sebagian lagi dipekerjakan oleh para penebang liar di sepanjang perbatasan dengan Myanmar. Gajah-gajah itu dilibatkan dalam pembalakan liar, dengan membawa kayu-kayu ke luar dari hutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah Thailand secara bertahap, berhasil mengurangi praktik eksploitasi terhadap gajah jinak itu. Mereka bekerja untuk keperluan pariwisata. Namun kini, saat virus corona merebak, gajah-gajah itu terancam kembali kepada kehidupan lamanya yang melelahkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurunnya kunjungan wisatawan mancanegara memaksa penutupan puluhan pusat gajah dan tempat-tempat wisata serupa. Penutupan itu membuat lebih dari 1.000 gajah di Thailand menganggur dan membahayakan masa depan mereka. Di lain sisi, sebagaimana dinukil dari CNN, sebagian kritikus menilai eksploitasi gajah dalam pariwisata juga prilaku yang kejam.
Seperti yang terjadi di Anchor Wat, Kamboja, seekor gajah tiba-tiba ambruk lalu mati kelelahan. Karena dipaksa terus menerus ditunggangi turis. Gajah-gajah di taman-taman wisata Thailand juga menggelar atraksi sepanjang hari, dari melukis, bermain bola, hingga ditunggangi wisatawan.
Meskipun kondisi gajah tereksploitasi, dari pariwisata, para pemilik bisa membeti makan gajah-gajah itu. Menurut New York Times, seekor gajah Thailand butuh US$40 per hari untuk makan – itu sama dengan lebih dari tiga kali upah harian minimum di Thailand.
Theerapat Trungprakan, presiden Asosiasi Aliansi Gajah Thailand, yang merupakan asosuasi operator atraksi gajah, mengatakan dia takut bila pemerintah tidak campur tangan. Pasalnya, gajah-gajah akan dipaksa kembali ke jalan-jalan atau bahkan ke dalam operasi pembalakan liar.
"Kami tidak ingin lingkaran alternatif bertahan hidup itu kembali," kata Theerapat. "Ini akan membahayakan kesejahteraan gajah, seperti membuat gajah berkeliaran di jalanan meminta pisang atau tebu."
Thailand, yang pada hari Selasa, 31 Maret 2020, melaporkan 827 kasus virus corona dan empat kematian, telah berusaha untuk menghentikan penyebaran virus dengan menutup sekolah dan tempat hiburan, dan mendorong orang untuk tinggal di rumah.
Wabah awal di China menyebabkan penurunan pengunjung yang tiba-tiba ke Thailand, karena kedua negara membatasi perjalanan. Pada 2019, Cina menyumbang lebih dari seperempat dari 40 juta wisatawan Thailand.
Pada bulan Februari, kedatangan wisatawan secara keseluruhan di Thailand turun 44 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pariwisata telah semakin merosot pada Maret dengan batasan baru untuk perjalanan dan aktivitas.
Sebelum virus corona mewabah, Kamp Gajah Maesa menjadikan atraksi gajah sebagai pemikat wisatawan. Kini kamp tersebut ditutup dan dibuka lagi sebagai wahana edukasi mengenai gajah. Foto: @lady_koi
Pariwisata adalah bagian besar dari ekonomi Thailand. Sebelum virus menyerang, perjalanan dan pariwisata menyumbang lebih dari 20 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan mempekerjakan hampir 16 persen dari angkatan kerja.
Efeknya telah dirasakan secara nasional. Kamar hotel kosong dan taksi tidak digunakan. Acara-acara besar telah ditunda atau dibatalkan, termasuk festival Tahun Baru Thailand yang biasanya diadakan pada bulan April. Serta WBC Muay Thai World Convention pertama, yang telah dijadwalkan untuk bulan ini di Bangkok.