Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Bisnis Sepekan

29 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Usman Gerogoti Bank Danamon

Pergantian Dirut Bank Danamon dari Milan R. Schuster ke Arwin Rasyid besar unsur rekayasanya. Milan Robert Schuster disingkirkan BPPN karena berhasil mendeteksi kredit subordinansi Usman Admadjaja sebesar Rp 150 miliar dengan bunga 2 persen di atas bunga deposito normal. Kredit itu dikucurkan menjelang bank itu direkap. Usman, melalui PT Danamon Usaha Gedung, juga menggerogoti Bank Danamon dengan menetapkan harga sewa gedung dan satelit komunikasi untuk semua kantor cabang Bank Danamon dengan biaya yang sangat tinggi. Bank Danamon harus menyewa Wisma Anggana, yang dikelola PT Danamon Usaha Gedung, Rp 1,3 triliun per bulan. Padahal, ketika pindah ke Gedung GKBI, ia hanya menyewa Rp 1,8 triliun untuk setahun. Semua ini terungkap dari rapat tertutup Komisi IX DPR dengan Milan R. Schuster. Selasa pekan lalu, Schuster mengaku baru tahu akan diganti setengah jam sebelum rapat umum luar biasa (RULB) Bank Danamon, dua pekan lalu.

Anehnya, BPPN selaku pemilik Bank Danamon tidak melakukan tindakan apa pun terhadap Usman Admadjaja, yang jelas-jelas sudah menggerogoti Bank Danamon itu. Kepala BPPN, Cacuk Sudarijanto, malah mengganti Milan Schuster, yang dinilai berhasil memperbaiki kinerja Bank Danamon. PT Danamon Usaha Gedung pun masih sepenuhnya dikuasai Usman Admadjaja, dengan kepemilikan 99 persen oleh PT Danamon Multi Investama dan 1 persen dipegangnya sendiri.

Ada Koruptor di Depag?

Departemen Agama (Depag), yang mestinya mengurusi persoalan kebajikan umat, ternyata tidak terlepas dari unsur penyimpangan. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan penyimpangan penggunaan dana ongkos naik haji (0NH) sebesar Rp 354,716 miliar dari nilai anggaran yang diperiksa Rp 3,961 triliun pada semester I tahun anggaran 2000.

Temuan ini sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Sebab, Agustus lalu BPK juga sudah menginformasikan adanya penyelewengan dana ONH sebesar Rp 304 miliar. Bukan itu saja, dana abadi milik Depag yang dikumpulkan dari penyelenggaraan ONH juga digunakan tidak dengan semestinya. Dana abadi seharusnya digunakan untuk membantu pembangunan pondok pesantren, rumah ibadah, dan bantuan bagi korban bencana alam dan kerusuhan. Kenyataannya, dana abadi tersebut digunakan untuk kegiatan rutin, membiayai perjalanan menteri, kunjungan kerja ke luar negeri, dan keperluan teknis operasional lainnya.

Besarnya penyimpangan ini sangat memprihatinkan, di tengah upaya menekan ongkos naik haji yang mahal dan minimnya fasilitas yang didapat para tamu Allah itu. Jika dana itu tidak dikorupsi, jemaah haji Indonesia sebenarnya bisa membayar ONH 10 persen lebih murah atau mendapat fasilitas penginapan yang lebih baik.

Tidak jelas siapa yang harus bertanggung jawab atas penggunaan dana yang salah sasaran ini. Anggota BPK, Mu'ron Asad, yang Agustus lalu pernah membeberkan temuan awal korupsi di Depag, mengatakan bahwa penyimpangan dana seperti ini sudah dilakukan oleh dua menteri agama sebelumnya.

Bakrie Menunda Bayar Utang

Meski kantongnya kosong, PT Bakrie Brothers menolak disebut mengemplang utang. "Bakrie yakin bisa membayar utang jika waktu pembayarannya ditunda," kata Freddy T. Simatupang, penasihat hukum Bakrie Brothers, Jumat pekan lalu. Permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) ke Pengadilan Niaga Jakarta sudah dilakukan Bakrie dua pekan lalu. Menurut Freddy, majelis hakim akan memberikan putusannya Senin ini.

Selain permohonan menunda bayar utang, Bakrie juga mengajukan rencana perdamaian. Isinya, Bakrie Brothers meminta pembebasan semua kewajibannya dan memaksimalkan nilai yang harus dikembalikan kepada para kreditor. Imbalannya, Bakrie akan memberikan penghasilan tertentu kepada para kreditor dan akan melaksanakan program insentif lainnya.

Alasan Bakrie mengajukan PKPU adalah karena selama tiga tahun terakhir, ia mengalami kerugian terus-menerus, termasuk dari anak-anak perusahaannya. Tiga tahun lalu, penghasilan bersih Bakrie masih minus Rp 284 juta. Tahun berikutnya makin anjlok, minus Rp 2,2 miliar. Nah, tahun lalu penghasilan bersihnya tercatat minus Rp 758 juta. Sementara itu, hingga semester pertama tahun ini, penghasilan tercatat minus Rp 1,8 miliar. Belum lagi bunga utang yang makin tinggi, plus jatuhnya nilai rupiah terhadap dolar AS.

Saat ini utang Bakrie yang telah jatuh tempo mencapai US$ 1 miliar. Jumlah itu belum termasuk kreditor-kreditor lain yang akan mengajukan klaim atau mendaftarkan tagihannya kepada Bakrie Brothers.

Kalau rugi terus, apa sanggup membayar, ya?

Maunya Luhut, Tommy Mundur

Pertemuannya sama, tapi hasil yang dibawa berbeda. Menteri Perdagangan dan Perindustrian, Luhut Panjaitan, menyebut KIA Motor meminta pemerintah mengganti pemilik saham PT Timor Putra Nasional (TPN). "Kalau rakyat memang tidak suka, berikan saja (saham PT TPN) kepada yang lain," sindir Luhut, Sabtu dua pekan lalu.

Yang dimaksud Luhut tak lain adalah Tommy Soeharto, pemilik separuh saham TPN. Bahkan, masih kata Luhut, KIA Motor meminta dicarikan mitra baru sekaligus meminta pemerintah Indonesia masuk di PT TPN. Permintaan perusahaan otomotif dari Korea Selatan ini adalah agar mereka bisa memperbesar investasinya di TPN.

Anehnya, Suharto, salah seorang komisaris TPN yang hadir dalam pertemuan antara KIA Motor, TPN, dan pemerintah Indonesia, membantah pernyataan Luhut. Seingat Suharto—ini Suharto yang bukan mantan presiden—KIA hanya meminta kepastian siapa yang akan ditunjuk sebagai wakil Timor dan pemerintah dalam tim penyusun rencana bisnis, jika restrukturisasi utangnya di BPPN telah selesai. Saat ini BPPN, selaku pemilik separuh saham TPN, sedang melakukan restrukturisasi utang TPN sebesar US$ 446 juta.

"Penggantian itu hanya keinginan Menperindag sendiri," kata Suharto, Jumat pekan lalu. Mau bertaruh, yang benar Suharto apa Luhut?

Cara Amerika Menagih Utang

Overseas Private Investment Corp. (OPIC) makin memusingkan pemerintah Indonesia. Saat pemerintah bersedia membayar klaim asuransi yang diajukan, sebesar US$ 290 juta, perusahaan asuransi dari Amerika Serikat ini malah menolaknya. Seperti dikutip Asia Wall Street Journal Jumat lalu, penolakan OPIC bukan soal uangnya, melainkan cara pembayarannya.

OPIC menolak gagasan pemerintah untuk membayar klaim asuransi itu melalui skema Paris Club. Jika mengikuti skema Paris Club, PLN akan membayar tagihan tersebut dalam tempo 20 tahun dengan masa tenggang (grace period) 4 tahun. "OPIC mengatakan, skema itu tak menguntungkan," kata Direktur Utama PLN, Kuntoro Mangkusubroto.

Tagihan itu berawal dari pembatalan dan penangguhan dua proyek pembangkit listrik swasta, PLTP Dieng dan PLTP Patuha, tiga tahun lalu. MidAmerican Energy, pemilik kedua proyek itu, menggugat PLN melalui Arbitrase Internasional, yang akhirnya dimenangi perusahaan Amerika itu. Buntutnya, PLN harus membayar ganti rugi sebesar US$ 572 juta kepada MidAmerican. OPIC, selaku penjamin proyek ini, membayar klaim ganti rugi MidAmerican sebesar US$ 290 juta (Rp 2,5 triliun). Nah, kini pemerintah Indonesialah yang harus membayar ke OPIC.

Karena proses pembayaran berlarut-larut, pemerintah Amerika mendesak pemerintah Indonesia untuk mempercepat penyelesaian pembayaran klaim itu. Bahkan mereka mengancam bahwa OPIC punya kemampuan untuk merampas aset-aset Indonesia di luar negeri jika klaim itu tak terbayar.

Lalu, apa langkah pemerintah Indonesia? "Kita masih menunggu usulan pemerintah untuk memulai negosiasi ulang dengan OPIC dan menentukan mekanisme pembayarannya," kata Kuntoro.

Beda Indonesia dengan Malaysia

Dalam menangani masalah tenaga kerja, Malaysia dan Indonesia sungguh bertolak belakang. Malaysia menarik pulang tenaga kerja ahlinya, tetapi mendorong penduduknya yang tak punya keahlian untuk bekerja ke luar negeri. Program yang direncanakan akan direalisasi pada tahun depan ini tertuang dalam bujet Malaysia tahun 2001.

Mereka yang mau pulang kembali ke Malaysia diberi kekecualian pajak selama dua tahun, dibebaskan membayar bea cukai bagi mobil dan berbagai barang yang dibawa pulang (termasuk barang baru).

Di Indonesia, yang terjadi sebaliknya. Banyak orang pintar Indonesia hengkang ke luar negeri karena di sana iklim kerja dan fasilitas lebih memuaskan. Sedangkan tenaga kerja tidak ahli tertahan di dalam negeri. Upaya mendorong keluar tenaga kerja tidak ahli ini seharusnya terus dilakukan, di tengah pasar kerja domestik yang sudah jenuh.

Ekonom Adrian Panggabean mengatakan, ada beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah Indonesia guna mendorong keluarnya tenaga kerja bukan ahli. Salah satunya adalah menghapus pajak fiskal, yang hanya menyumbang Rp 3 triliun-Rp 4 triliun per tahun bagi pendapatan negara. Pajak fiskal itu dinilai tidak efisien karena distortif terhadap pergerakan tenaga kerja, tidak simetris dengan kebijakan lalu-lintas modal bebas, dan sumbangannya marginal terhadap pendapatan negara.

Leanika Tanjung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum