BAHKAN semasa Bing terbaring sakit, Kwartet Jaya sudah mencoba
untuk tetap bisa main tanpa kegagalan. Ini berarti bukan hanya
Bing saja yang memiliki kebolehan dalam grup kebanggaan ibukota
itu -- walaupun almarhum memanglah puncaknya, kuncinya, harta
karunnya, sumber idenya. Ia memang pelawak tiada tara -- menurut
istilah Atmonadi -- untuk Republik ini. Tetapi rupa-rupanya
kebolehan saja, dari kawan-kawan Bing itu, tidak cukup. Orang
membutuhkan bintang, sasaran utama dalam setiap pertunjukan yang
ingin sukses besar. Tokoh semacam itu memang diperlukan untuk
kelangsungan hidup sebuah grup yang menjadi tempat berkubang
orang-orang kreatif.
Kini orang mengatakan bahwa perpecahan Kwartet Jaya bersebab
uang dan perempuan. Meskipun Bing telah tiada, andaikan salah
seorang dari sisa kwartet itu memiliki karisma dan kepemimpinan
yang baik soal uang atau perempuan barangkali bisa diselesaikan
sebelum membuat grup itu berantakan seperti sekarang. Kini nama
Kwartet Jaya tidak lagi seampuh dulu, dan tentunya diperlukan
waktu yang lama kalaupun nantinya Eddy Sud bersama sekutunya
berhasil membuktikan kebolehan. Ini sudah terbukti dalam kasus
lain, yakni minggatnya seorang Gudel dari rombongan Srimulat
Surabaya akhir tahun lalu. Meskipun ada penonton fanatik yang
tidak suka lagi nonton Srimulat tanpa Gudel, toh rombongan
tersebut masih terus hidup dan tidak menjadi berantakan.
Sebabnya karena ada seorang Teguh di sana -- yang meskipun bukan
seorang bintang di panggung, tetapi disegani karena banyak
gagasannya yang sudah terbukti jempolan. Selama ada seorang
seperti Teguh, Srimulat akan tetap berjalan meskipun andaikata
nantinya akan ada bintang-bintang cukup besar yang barangkali
mau mengikuti jejak Gudel.
Sebuah Toyota Corolla
Untuk sejenak, peristiwa Gudel maupun Ateng dkk membuat orang
penasaran untuk tahu: bagaimana sebenarnya dunia lawak pribumi
dalam hubungannya dengan soal nafkah. "Sudah bisa dijadikan
sumber penghidupan. Sehingga saya akan terus melawak sampai
mati". Itu kata Atmonadi, yang ikut menyesal lantaran Kwartet
Jaya tidak bisa akur lagi. Toh pada dasarnya ia menganggap
perpecahan dalam dunia lawak sebagai hal yang biasa -- baik yang
lantaran duit, tidak cocok ide atau kebijaksanaan. Ateng
membenarkan bahwa pekerjaan melawak sudah mempunyai titik
terang. "Dulu lawak hanya untuk selingan saja. Sekarang sudah
acara pokok. Nantinya saya yakin akan lebih baik lagi", ujarnya.
Ia lantas mengacungkan telunjuknya ke arah sebuah Toyota Corolla
warna ungu dengan kaca tak tembus mata. "Inilah hasilnya".
Diakuinya bahwa hasil melawak, kalau hanya dipakai makan, takkan
habis sehari -- artinya lebih dari cukup. Lelaki kontet yang
berat badannya 67 kg ini memang telah menaikkan harkat hidupnya
-- mengingat ia pernah sampai jual arloji tangan, bahkan
menyerahkan diri pada Kodim, tatkala mengadakan pertunjukan di
Lampung sebelum mapan seperti sekarang.
"Benar lawak sudah tidak merupakan barang selingan lagi", ucap
Kris Biantoro. Dia ini sekutu Eddy Sud dalam Kwartet Jaya baru.
Kris, yang juga manager Tropicana, menunjuk contoh berupa
klab-klab malam yang tidak sedikit mempersembahkan lawak sebagai
pertunjukan utama. Ia memang mengakui bahwa lapangan kerja itu
bagi pribumi masih baru -- artinya bila dicanangkan sebagai
sumber asap dapur utama, baru beberapa grup saja yang berani
menempuhnya. Namun baginya posisi sosial macam begitu sudah
merupakan kemajuan yang baik sekali. Rumahnya, di kompleks
GHudang Peluru Tebet, terbilang sebuah gedung yang yahud.
Tentu saja rumah ini bukan hasil produksi ketawa, tetapi dari
pekerjaannya selaku Master of Ceremony yang boleh dipuji juga
kelancarannya. Maklum kepasihannya berbahasa Inggeris, suaranya
sebagai penyanyi dan istilah-istilahnya yang segar -- dan
kadangkala ugal-ugalan -- membuat sosok yang bulat ini komersiil
juga.
Dicari Penulis Skrip
Udel, alias drs. Purnomo, pemeran si Mamad yang mengantongi
gelar aktor Indonesia terbaik tahun 1974, masih menyisipkan kata
"mungkin" -- kalau melawak dijadikan sumber hidup. Sarjana
biologi berusia 52 tahun ini kelihatannya tidak begitu
mempersoalkan: apakah lawak sudah bisa memberi makan pelawak.
Pensiunan pegawai negeri ini sebaliknya memikirkan bagaimana
caranya agar pelawak pribumi tidak hanya mengandalkan bakat tok.
Bermacam-macam buku sudah ditelannya mengenai banyol-membanyol.
Udel minta perhatian lantaran grup lawak pribumi sampai saat
itu kebanyakan hanya menyajikan lelucon itu-itu juga: atau ulah
tubuh, atau selip lidah. Itu saja, sehingga terjadi
pengulangan-pengulangan. Adapun 'ulah kata', yang menuntut
adanya skrip dalam melawak seperti biasa ditulis oleh para gag
writer -- itu sebutan untuk orang-orang yang berdiri di belakang
lawakan tokoh-tokoh seperti Bop Hope atau Danny Kaye
rupa-rupanya menurut Udel jarang dicoba. Hanya grup Cepot-Udel
(berdiri sejak 1945) dan kemudian Trio Los Gilos (Cepot, Udel,
Bing Slamet, tiga orang gila di tahun-tahun 1953-1963) yang
sudan mencobanya.
Untuk tahun 1966, Udel mengingatkan pada siaran RRI daul TV yang
menunjukkan adanya usaha ke arah banyolan pakai skrip itu tetapi
kemudian keok akibat sensor, maklumlah karena adanya unsur
"keberanian" yang dianggap tidak pantas untuk sebuah grup sipil.
Skrip dan keberanian melabrak sesuatu yang menurut anggapan
mereka tak benar adalah kekuatan utama Cepot-Udel yang membuat
mereka sukses yang menurut lelaki yang juga nyambi sebagai M.C.
ini, sudah tidak terdapat lagi pada grup-grup lawak kini. Bahkan
Kwartet Jaya versi lama -- pun dianggapnya tidak
melaksanakannya. "Sehingga yang bisa diangkat hanya yang
rendah-rendah saja", ujarnya.
Doktorandus itu lantas memberi contoh jelek. Adalah sebuah
lawakan yang menceritakan seseorang datang ke dokter untuk
mereparasi otaknya. Sementara otaknya direparasi, kepala pasien
diganti dulu dengan otak udang. Hampir seminggu si pasien tak
pernah muncul lagi untuk mengambil otaknya yang sudah dipermak.
Dokter kebetulan menangkap basah pasien di Pasar Baru. "Hei
bung, kenapa otaknya belum diambil juga'?" tanyanya. Pasien itu
dengan kalemnya menjawab: "Ngga usah, sebab saya sekarang sudah
jadi pegawai negeri". Menurut Udel, cerita yang sedikit
menyinggung pegawai negeri ini seharusnya berhenti di sini
sebagai klimaks. Tetapi kebanyakan grup pribumi akan memberi
imbuhan anti-klimaks sehingga selain berkepanjangan, lelucon
jadi bertele-tele. Menurut Udel, lho.
S. Bagio, yang juga pernah main film sebagai Mat Dower,
membenarkan Udel -- perihal ihwal pengulangan isi badutan
pribumi. Tapi anak Asisten Wedana yang tak pernah bisa jadi
insinyur ini, galak juga. Maunya lawakan pribumi tidak mesti
kalah dengan dagelan mancanegara. "Memang cari ide untuk cerita
itu sulit sekali", tuturnya. Tapi ia sungguh mati tidak mau
merasa rendah oleh penjual ketawa semacam Bob Hope yang
semata-mata hanya mengandalkan kata itu. Terhadap wajah klimis
yang seringkali menokohkan watak borjuis dalam film-filmnya itu,
berkata Bagio: "Wah dagelan Mataram menurut saya lebih lucu".
Mudah-mudahan saja ini tidak menjelaskan bahwa bahasa Jawa
baginya lebih mematuk dari bahasa Inggeris. Sebab dia punya
alasan yang cukup kuat. Melawak biasa, yang lebih banyak
mempergunakan ulah tubuh dan kadangkala boleh saja dianggap
konyol -- menurut Bagio tampaknya saja gampang. Tapi sebetulnya
sulit. Sedang lawakan kata, menurut dia harus memperhatikan
saat-saat di mana bisa timbul kegawatan. Yakni manakala grup itu
mulai kelabakan dan ngawur, akibatnya muncul dialog-dialog
porno. Itu sudah tentu tak ada hubungannya dengan grup Mang Udi
-- dari BKAK. Polisi yang mengaku terus terang menjalankan
dagelan penuh pesan -- rekIame-reklame negara menurut istilahnya
sendiri -- tanpa berusaha menanggapi suasana perlawakan pada
umumnya mengaku terus terang: "Memang kami merasa komedi kami
agak kurang selama ini".
Udel Tidak Lucu
Barangkali pengakuan sederhana seperti itu dapat menjelaskan,
bahwa suasana mawas diri sudah ada dalam diri pelawak pribumi.
Bing Slamet pun, pada masa hidupnya, pernah mengakui kemacetan
ide sesudah grupnya mulai mapan. Tetapi memang sulit memecahkan
suasana beku itu. Di satu pihak lawak melawak tergantung pada
isi kepala para pelawak itu sendiri, tetapi di pihak lain tak
dapat diabaikan faktor kondisi penikmatnya yang bermacam-macam
lapisan, bermacam-macam minat daya tangkap dan selera lucu
menurut mereka. Padahal kita yakin bangsa ini sebenarnya suka
ketawa. Bahkan tak jarang juga untuk hal-hal yang tak lucu.
Sehingga apa yang dinamakan komedi yang situasinya agak berbeda
dari komik yang ngakak, di mana peranan kata-kata jauh lebih
banyak karena suasana menjadi unsur yang menelurkan kelucuan --
seharusnya bisa hidup dengan subur sekali.
Benarkah lawakan pribumi memerlukan seorang penulis skrip --
lebih dari penggagas kerangka cerita, sebagaimana ini terdapat
dalam dagelan Srimulat? Udel sudah menyatakan ya. Artinya ia
sendiri membutuhkan dan itu terpenuhi dengan adanya Cepot yang
dianggapnya mampu. Tetapi lihatlah Srimulat yang sudah memiliki
ribuan cerita, yang juga menitik-beratkan diri pada kelucuan
kata-kata. Di sana tidak pernah direncanakan dialog-dialog
sebelunmya. Semuanya spontanitas. Lebihnya lagi mereka sangat
bangga karena merasa tidak pernah mengulang-ulang dagelan.
Meskipun masih terbatas pada bahasa Jawa sebagai bahasa pokok,
toh grup dagelan ini dapat diterima semua lapisan dan dianggap
punya kwalitas baik.
Pada malam Tahun Baru yang lalu, Udel muncul sebagai anak kecil
bercelana kodok bersama Eddy Sud, Kris Biantoro dan Titiek
Puspa. Ini boleh dianggap langkah persiapan dari Kwartet Jaya
baru yang mau diteruskan Eddy Sud. Ia mengetengahkan sebuah
komedi yang diadaptasikan dari sebuah dongeng Inggeris. Bermula
tampak Udel lagi main-main di muka rumah Kris. Eddy muncul
memakai blangkon menanyakan rumah seseorang, karena ia ada
membawa kiriman. Udel segera menunjukkan, dan keduanya masuk.
Kris Biantoro, yang malam itu kelihatannya tidak begitu terlibat
dalam cerita, muncul dengan pakaian Jampang lengkap dengan
goloknya. Ceritapun berlangsung, sementara Udel terus
nakal-nakalan dalam rumah karena Kris menyangka Udel anak Eddy,
dan Eddy sebaliknya menyangka dia anak Kris. Pada akhirnya
mereka tahu juga bahwa dia itu anak tetangga. Sesudah plot kecil
itu terbeber, muncul Titiek Puspa sebagai pengemis yang
menyanyi. Belakalangan menurut Udel, adegan ini salah --
mestinya Titiek muncul sebelum kedok Udel terbongkar.
Tetapi begitulah, kesalahan sudah terlanjur. Cerita yang dulu
pernah juga dicoba oleh grup Trio Los Gilos ini ternyata sama
sekali tidak lucu -- bahkan sebelum dihubungkan dengan Titiek
Puspa. Memang ada terasa suasana mencoba sesuatu yang lain. Tapi
kalau nilainya hanya sebagai percobaan, sedang maunya sebuah
lelucon, lalu apa? Niat Udel supaya dagelan pribumi meningkatkan
diri tentunya tidak salah. Hanya saja jalannya tidak hanya satu.
Tentulah bagus adanya pekerjaan penulis skrip yang berarti
tambahan ladang baru. Tetapi tokoh-tokoh badut pribumi yang
terang-terangan lebih mengandalkan bakat alam dan spontanitas,
tentunya bisa juga maju dengan cara mereka sendiri.
Tertawa Tidak Lucu
"Lawakan semacam itulah yang nantinya akan kami munculkan",
tutur Kris Biantoro mengenang acara TV malam Tahun Baru itu. Ia
menyadari bahwa jenis seperti itu mungkin hanya akan dimengerti
golongan tertentu -- sekaligus berarti tantangan bagi Kwartet
Jaya Baru. Golongan tertentu yang dimaksudnya menurut bahasa
keren "ya golongan intelek", ucap Kris. Rupanya ia optimis,
meskipun pengetahuan yang diperlukan untuk gaya itu harus luas.
"Saya kira Kwartet Jaya cukup mampu", katanya selanjutnya,
sambil mengingatkan bahwa mereka bertiga adalah orang-orang yang
sudah biasa berkecimpung sebagai MC. "Apalagi dengan Mang Udel
yang waktu jayanya Cepot-Udel sudah membawakan lawakan-lawakan
itu". Lebihnya lagi, bekas pegawai DPU yang sempat juga kuliah
sebentar di ATNI ini merasa mendapat dorongan moril dari
pesan-pesan almarhum Bing Slamet. "Saya merasa punya hutang budi
dengan almarhum. Maka sesuai dengan pesannya untuk menjaga
Kwartet Jaya, akan saya wakili", katanya dengan muka yang memang
bisa digerakkan seenak perutnya.
Sedikit lain dengan niat Kwartet Jaya baru yang maunya
menonjolkan dialog itu, Ateng -- serpihan dari Kwartet Jaya yang
masih akan terus berpelukan dengan Iskak -- menyatakan bahwa
lawakan sangat tergantung dari publik. "Kalau saya melawak saya
ingin membuat penonton tertawa wajar. Jangan tertawa tidak
lucu", katanya. Ia setuju bahwa pelawak harus memiliki
pendidikan dasar. Paling tidak pengetahuan umum yang dikorek
dari koran-koran, perlunya supaya banyolan menjadi aktuil.
Sehingga ia bisa membuat lelucon dari kunjungan Presiden Ford ke
Peking, dengan mengutip ucapan Ford: "Kita akan melakukan kerja
sama untuk pembuatan . . . bakmi goreng". Atau perihal kunjungan
Nixon ke Kairo, di mana ia mengandaikan Presiden itu kaget dan
berseru: "Wah ternyata di sini banyak sekali orang Arab".
Tetapi untuk publik pinggiran, contoh semacam itu sudah pasti
tidak lucu. Maka Ateng menyusun teori baru: kalau mau sukses
maka 'ulah tubuh' digencarkan -- sedang dialog dikurangi.
Lebih-lebih kalau menghadapi penonton anak-anak. Sedang manakala
waktu yang ditetapkan terlalu panjang, boleh dilakukan apa yang
dinamakannya "mencuri waktu" -- dengan cara menyanyi dan
sebagainya yang mudah sekali dikerjakan dan makan waktu banyak.
Yang terakhir ini kalau tidak salah adalah sumber keklisean yang
sudah sering amat membosankan. Tetapi masih terus juga juga
dikaji -- habis bagian dari teori sih.
Melawak Banyak Risiko
Mengenai tokoh yang tingginya tetap 1.48 m sejak berusia 20
tahun sampai 33 sekarang ini, memang ada kecenderungan untuk
memperalat keunikan proporsinya. Bahkan ia berkata: "Kependekan
saya mungkin tanda keberuntungan". Ini masih suka diucapkannya,
walaupun ia tentunya tidak bisa lupa waktu ditolak masuk Akademi
Hukum Militer lantaran kurang panjang. Waktu itu Ateng masih
berharap akan tumbuh sebagaimana saudara-saudaranya yang lain.
"Tahu-tahunya bukan tambah tinggi, malah tambah lebar ke
samping", katanya mengejek. Ejekan model itu memang seringkali
dilakukannya pula di panggung -- sehingga sering dikira ia
tidak punya modal lain kecuali keanehan tubuh itu. Untunglah ia
pernah masuk grup Bagio bersama Iskak di tahun 1964 -- di mana
karir lawaknya mulai. "Di situ saya baru tahu bahwa melawak
harus menggunakan pikiran. Saya kira tadinya asal pendek, gemuk
dan lucu saja". Tetapi keinsafan ini sering juga dilupakan Ateng
kalau ia lagi asyik -- dasar memang paling gampang untuk
memperalat keanehan tubuh.
Ia baru berpikir keras lagi kalau dagelannya tidak mempan. Itu
misalnya pernah terjadi tatkala ia melucu di depan para penonton
sakit jiwa. Ia sudah mati-matian begini dan begitu, toh penonton
yang rada kurang normal itu tidak ada yang sudi ketawa. Rupanya
pimpinan rumah sakit lantas merasa kurang enak terhadap Ateng --
karena kurangnya sambutan asuhannya -- tak ayal lagi ia
berbisik-bisik: "Hee kamu tahu nggak, itu kan si Ateng yang
pelawak itu. Jadi kalau dia muncul lagi kalian semua tertawa!".
Betul juga. Begitu Ateng keluar lagi, mereka langsung tertawa
berbareng. Ateng baru sadar sedang menghadapi orang-orang tidak
normal.
"Pelawak memang pekerjaan yang menanggung banyak risiko",
bisik Ateng. Ia mengenangkan kejadian-kejadian kecil tatkala ia
terserang malaria waktu main film. Waktu itu ia malah
diketawakan karena dianggap lagi melucu. Atau lain ketika, waktu
ia mabok di kapal, juga dianggap sedang mengeluarkan
kebolehannya yang nomor sekian. Belum lagi waktu menghibur para
penderita lepra. Menyangka sakit itu gampang menular, ia hampir
mati kaku tatkala harus berjabatan tangan dengan para
penggemarnya yang semuanya ingin salaman. Terpaksa ia lari
kemudian. Salah sangka ini seperti juga salah sangka banyak
orang kate yang datang kepadanya ingin menjadi pelawak mengira
kate saja sudah cukup untuk membuat orang jadi badut.
Yah itulah Ateng, yang mulai bergabung dengan Bing Slamet tahun
1968 di balik nama Kwartet Kita kemudian dirubah menjadi Kwartet
Jaya. Tokoh yang pernah jadi mahasiswa Fakultas Sosial Politik
Universitas Nasional ini, kini sedang mulai merintis rencananya
tidak dengan menyiapkan model lawakan yang baru, tetapi dengan
sistim grup yang memakai manajer. Barangkali dengan begini ia
dan Iskak akan mencoba membuat persoalan keuangan yang, sangat
menakutkan itu bisa lebih jernih. Di samping itu dijelaskannya
bahwa apa yang dilakukannya di klab malam Blue Moon -- 10
Januari lalu -- dengan mencoba Ernie Djohan dan Vivi Sumanti
sebagai bintang-bintang tamu, akan diteruskan. Bintang tamu itu
sifatya sebagai pelengkap yang dibayar. "Seperti Bob Hope-lah",
ujar Ateng.
Pada akhirnya, antara lawakan yang mengandalkan kata-kata dan
lawakan yang menitik-beratkan tekanan pada ulah tubuh, hanya
akan berbeda dari kemampuan pelawaknya sendiri. Keduanya bisa
sama-sama lucu, dan tidak bisa dipilih sebelum orang
menyaksikan sendiri lawakan tersebut. Usaha meningkatkan mutu
lawak tentunya amat menggembirakan, dan ini seperti tercetus
justru pada saat ada perpecahan seperti sekarang ini. Lalu kalau
suasana perpecahan boleh dianggap sesuatu yang normal --
sepanjang soalnya itu-itu juga tentunya segi positipnya terletak
pada manfaatnya sebagai cambuk untuk melakukan
penemuan-penemuan kembali. Dengan cara berpikir seperti itu,
buku The Modern Handbook of Humor yang ada di rumah Udel, dan
memuat secara terperinci bimbingan lelucon sekitar Presiden,
politik, kampus, pedagang, rumah sakit dan sebagainya, masih
tetap penting. Yakni sebagai hanya salah satu kemungkinan dari
jaIan yang satunya lagi: intuisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini