Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Antara ketawa dan berantakan

Sebagian pelawak berpendapat bahwa melawak sudah dapat merupakan sumber penghasilan. ada usaha para pelawak untuk meningkatkan mutu lawakan. kwartet jaya bubar, karena masalah uang dan perempuan. (hb)

24 Januari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAHKAN semasa Bing terbaring sakit, Kwartet Jaya sudah mencoba untuk tetap bisa main tanpa kegagalan. Ini berarti bukan hanya Bing saja yang memiliki kebolehan dalam grup kebanggaan ibukota itu -- walaupun almarhum memanglah puncaknya, kuncinya, harta karunnya, sumber idenya. Ia memang pelawak tiada tara -- menurut istilah Atmonadi -- untuk Republik ini. Tetapi rupa-rupanya kebolehan saja, dari kawan-kawan Bing itu, tidak cukup. Orang membutuhkan bintang, sasaran utama dalam setiap pertunjukan yang ingin sukses besar. Tokoh semacam itu memang diperlukan untuk kelangsungan hidup sebuah grup yang menjadi tempat berkubang orang-orang kreatif. Kini orang mengatakan bahwa perpecahan Kwartet Jaya bersebab uang dan perempuan. Meskipun Bing telah tiada, andaikan salah seorang dari sisa kwartet itu memiliki karisma dan kepemimpinan yang baik soal uang atau perempuan barangkali bisa diselesaikan sebelum membuat grup itu berantakan seperti sekarang. Kini nama Kwartet Jaya tidak lagi seampuh dulu, dan tentunya diperlukan waktu yang lama kalaupun nantinya Eddy Sud bersama sekutunya berhasil membuktikan kebolehan. Ini sudah terbukti dalam kasus lain, yakni minggatnya seorang Gudel dari rombongan Srimulat Surabaya akhir tahun lalu. Meskipun ada penonton fanatik yang tidak suka lagi nonton Srimulat tanpa Gudel, toh rombongan tersebut masih terus hidup dan tidak menjadi berantakan. Sebabnya karena ada seorang Teguh di sana -- yang meskipun bukan seorang bintang di panggung, tetapi disegani karena banyak gagasannya yang sudah terbukti jempolan. Selama ada seorang seperti Teguh, Srimulat akan tetap berjalan meskipun andaikata nantinya akan ada bintang-bintang cukup besar yang barangkali mau mengikuti jejak Gudel. Sebuah Toyota Corolla Untuk sejenak, peristiwa Gudel maupun Ateng dkk membuat orang penasaran untuk tahu: bagaimana sebenarnya dunia lawak pribumi dalam hubungannya dengan soal nafkah. "Sudah bisa dijadikan sumber penghidupan. Sehingga saya akan terus melawak sampai mati". Itu kata Atmonadi, yang ikut menyesal lantaran Kwartet Jaya tidak bisa akur lagi. Toh pada dasarnya ia menganggap perpecahan dalam dunia lawak sebagai hal yang biasa -- baik yang lantaran duit, tidak cocok ide atau kebijaksanaan. Ateng membenarkan bahwa pekerjaan melawak sudah mempunyai titik terang. "Dulu lawak hanya untuk selingan saja. Sekarang sudah acara pokok. Nantinya saya yakin akan lebih baik lagi", ujarnya. Ia lantas mengacungkan telunjuknya ke arah sebuah Toyota Corolla warna ungu dengan kaca tak tembus mata. "Inilah hasilnya". Diakuinya bahwa hasil melawak, kalau hanya dipakai makan, takkan habis sehari -- artinya lebih dari cukup. Lelaki kontet yang berat badannya 67 kg ini memang telah menaikkan harkat hidupnya -- mengingat ia pernah sampai jual arloji tangan, bahkan menyerahkan diri pada Kodim, tatkala mengadakan pertunjukan di Lampung sebelum mapan seperti sekarang. "Benar lawak sudah tidak merupakan barang selingan lagi", ucap Kris Biantoro. Dia ini sekutu Eddy Sud dalam Kwartet Jaya baru. Kris, yang juga manager Tropicana, menunjuk contoh berupa klab-klab malam yang tidak sedikit mempersembahkan lawak sebagai pertunjukan utama. Ia memang mengakui bahwa lapangan kerja itu bagi pribumi masih baru -- artinya bila dicanangkan sebagai sumber asap dapur utama, baru beberapa grup saja yang berani menempuhnya. Namun baginya posisi sosial macam begitu sudah merupakan kemajuan yang baik sekali. Rumahnya, di kompleks GHudang Peluru Tebet, terbilang sebuah gedung yang yahud. Tentu saja rumah ini bukan hasil produksi ketawa, tetapi dari pekerjaannya selaku Master of Ceremony yang boleh dipuji juga kelancarannya. Maklum kepasihannya berbahasa Inggeris, suaranya sebagai penyanyi dan istilah-istilahnya yang segar -- dan kadangkala ugal-ugalan -- membuat sosok yang bulat ini komersiil juga. Dicari Penulis Skrip Udel, alias drs. Purnomo, pemeran si Mamad yang mengantongi gelar aktor Indonesia terbaik tahun 1974, masih menyisipkan kata "mungkin" -- kalau melawak dijadikan sumber hidup. Sarjana biologi berusia 52 tahun ini kelihatannya tidak begitu mempersoalkan: apakah lawak sudah bisa memberi makan pelawak. Pensiunan pegawai negeri ini sebaliknya memikirkan bagaimana caranya agar pelawak pribumi tidak hanya mengandalkan bakat tok. Bermacam-macam buku sudah ditelannya mengenai banyol-membanyol. Udel minta perhatian lantaran grup lawak pribumi sampai saat itu kebanyakan hanya menyajikan lelucon itu-itu juga: atau ulah tubuh, atau selip lidah. Itu saja, sehingga terjadi pengulangan-pengulangan. Adapun 'ulah kata', yang menuntut adanya skrip dalam melawak seperti biasa ditulis oleh para gag writer -- itu sebutan untuk orang-orang yang berdiri di belakang lawakan tokoh-tokoh seperti Bop Hope atau Danny Kaye rupa-rupanya menurut Udel jarang dicoba. Hanya grup Cepot-Udel (berdiri sejak 1945) dan kemudian Trio Los Gilos (Cepot, Udel, Bing Slamet, tiga orang gila di tahun-tahun 1953-1963) yang sudan mencobanya. Untuk tahun 1966, Udel mengingatkan pada siaran RRI daul TV yang menunjukkan adanya usaha ke arah banyolan pakai skrip itu tetapi kemudian keok akibat sensor, maklumlah karena adanya unsur "keberanian" yang dianggap tidak pantas untuk sebuah grup sipil. Skrip dan keberanian melabrak sesuatu yang menurut anggapan mereka tak benar adalah kekuatan utama Cepot-Udel yang membuat mereka sukses yang menurut lelaki yang juga nyambi sebagai M.C. ini, sudah tidak terdapat lagi pada grup-grup lawak kini. Bahkan Kwartet Jaya versi lama -- pun dianggapnya tidak melaksanakannya. "Sehingga yang bisa diangkat hanya yang rendah-rendah saja", ujarnya. Doktorandus itu lantas memberi contoh jelek. Adalah sebuah lawakan yang menceritakan seseorang datang ke dokter untuk mereparasi otaknya. Sementara otaknya direparasi, kepala pasien diganti dulu dengan otak udang. Hampir seminggu si pasien tak pernah muncul lagi untuk mengambil otaknya yang sudah dipermak. Dokter kebetulan menangkap basah pasien di Pasar Baru. "Hei bung, kenapa otaknya belum diambil juga'?" tanyanya. Pasien itu dengan kalemnya menjawab: "Ngga usah, sebab saya sekarang sudah jadi pegawai negeri". Menurut Udel, cerita yang sedikit menyinggung pegawai negeri ini seharusnya berhenti di sini sebagai klimaks. Tetapi kebanyakan grup pribumi akan memberi imbuhan anti-klimaks sehingga selain berkepanjangan, lelucon jadi bertele-tele. Menurut Udel, lho. S. Bagio, yang juga pernah main film sebagai Mat Dower, membenarkan Udel -- perihal ihwal pengulangan isi badutan pribumi. Tapi anak Asisten Wedana yang tak pernah bisa jadi insinyur ini, galak juga. Maunya lawakan pribumi tidak mesti kalah dengan dagelan mancanegara. "Memang cari ide untuk cerita itu sulit sekali", tuturnya. Tapi ia sungguh mati tidak mau merasa rendah oleh penjual ketawa semacam Bob Hope yang semata-mata hanya mengandalkan kata itu. Terhadap wajah klimis yang seringkali menokohkan watak borjuis dalam film-filmnya itu, berkata Bagio: "Wah dagelan Mataram menurut saya lebih lucu". Mudah-mudahan saja ini tidak menjelaskan bahwa bahasa Jawa baginya lebih mematuk dari bahasa Inggeris. Sebab dia punya alasan yang cukup kuat. Melawak biasa, yang lebih banyak mempergunakan ulah tubuh dan kadangkala boleh saja dianggap konyol -- menurut Bagio tampaknya saja gampang. Tapi sebetulnya sulit. Sedang lawakan kata, menurut dia harus memperhatikan saat-saat di mana bisa timbul kegawatan. Yakni manakala grup itu mulai kelabakan dan ngawur, akibatnya muncul dialog-dialog porno. Itu sudah tentu tak ada hubungannya dengan grup Mang Udi -- dari BKAK. Polisi yang mengaku terus terang menjalankan dagelan penuh pesan -- rekIame-reklame negara menurut istilahnya sendiri -- tanpa berusaha menanggapi suasana perlawakan pada umumnya mengaku terus terang: "Memang kami merasa komedi kami agak kurang selama ini". Udel Tidak Lucu Barangkali pengakuan sederhana seperti itu dapat menjelaskan, bahwa suasana mawas diri sudah ada dalam diri pelawak pribumi. Bing Slamet pun, pada masa hidupnya, pernah mengakui kemacetan ide sesudah grupnya mulai mapan. Tetapi memang sulit memecahkan suasana beku itu. Di satu pihak lawak melawak tergantung pada isi kepala para pelawak itu sendiri, tetapi di pihak lain tak dapat diabaikan faktor kondisi penikmatnya yang bermacam-macam lapisan, bermacam-macam minat daya tangkap dan selera lucu menurut mereka. Padahal kita yakin bangsa ini sebenarnya suka ketawa. Bahkan tak jarang juga untuk hal-hal yang tak lucu. Sehingga apa yang dinamakan komedi yang situasinya agak berbeda dari komik yang ngakak, di mana peranan kata-kata jauh lebih banyak karena suasana menjadi unsur yang menelurkan kelucuan -- seharusnya bisa hidup dengan subur sekali. Benarkah lawakan pribumi memerlukan seorang penulis skrip -- lebih dari penggagas kerangka cerita, sebagaimana ini terdapat dalam dagelan Srimulat? Udel sudah menyatakan ya. Artinya ia sendiri membutuhkan dan itu terpenuhi dengan adanya Cepot yang dianggapnya mampu. Tetapi lihatlah Srimulat yang sudah memiliki ribuan cerita, yang juga menitik-beratkan diri pada kelucuan kata-kata. Di sana tidak pernah direncanakan dialog-dialog sebelunmya. Semuanya spontanitas. Lebihnya lagi mereka sangat bangga karena merasa tidak pernah mengulang-ulang dagelan. Meskipun masih terbatas pada bahasa Jawa sebagai bahasa pokok, toh grup dagelan ini dapat diterima semua lapisan dan dianggap punya kwalitas baik. Pada malam Tahun Baru yang lalu, Udel muncul sebagai anak kecil bercelana kodok bersama Eddy Sud, Kris Biantoro dan Titiek Puspa. Ini boleh dianggap langkah persiapan dari Kwartet Jaya baru yang mau diteruskan Eddy Sud. Ia mengetengahkan sebuah komedi yang diadaptasikan dari sebuah dongeng Inggeris. Bermula tampak Udel lagi main-main di muka rumah Kris. Eddy muncul memakai blangkon menanyakan rumah seseorang, karena ia ada membawa kiriman. Udel segera menunjukkan, dan keduanya masuk. Kris Biantoro, yang malam itu kelihatannya tidak begitu terlibat dalam cerita, muncul dengan pakaian Jampang lengkap dengan goloknya. Ceritapun berlangsung, sementara Udel terus nakal-nakalan dalam rumah karena Kris menyangka Udel anak Eddy, dan Eddy sebaliknya menyangka dia anak Kris. Pada akhirnya mereka tahu juga bahwa dia itu anak tetangga. Sesudah plot kecil itu terbeber, muncul Titiek Puspa sebagai pengemis yang menyanyi. Belakalangan menurut Udel, adegan ini salah -- mestinya Titiek muncul sebelum kedok Udel terbongkar. Tetapi begitulah, kesalahan sudah terlanjur. Cerita yang dulu pernah juga dicoba oleh grup Trio Los Gilos ini ternyata sama sekali tidak lucu -- bahkan sebelum dihubungkan dengan Titiek Puspa. Memang ada terasa suasana mencoba sesuatu yang lain. Tapi kalau nilainya hanya sebagai percobaan, sedang maunya sebuah lelucon, lalu apa? Niat Udel supaya dagelan pribumi meningkatkan diri tentunya tidak salah. Hanya saja jalannya tidak hanya satu. Tentulah bagus adanya pekerjaan penulis skrip yang berarti tambahan ladang baru. Tetapi tokoh-tokoh badut pribumi yang terang-terangan lebih mengandalkan bakat alam dan spontanitas, tentunya bisa juga maju dengan cara mereka sendiri. Tertawa Tidak Lucu "Lawakan semacam itulah yang nantinya akan kami munculkan", tutur Kris Biantoro mengenang acara TV malam Tahun Baru itu. Ia menyadari bahwa jenis seperti itu mungkin hanya akan dimengerti golongan tertentu -- sekaligus berarti tantangan bagi Kwartet Jaya Baru. Golongan tertentu yang dimaksudnya menurut bahasa keren "ya golongan intelek", ucap Kris. Rupanya ia optimis, meskipun pengetahuan yang diperlukan untuk gaya itu harus luas. "Saya kira Kwartet Jaya cukup mampu", katanya selanjutnya, sambil mengingatkan bahwa mereka bertiga adalah orang-orang yang sudah biasa berkecimpung sebagai MC. "Apalagi dengan Mang Udel yang waktu jayanya Cepot-Udel sudah membawakan lawakan-lawakan itu". Lebihnya lagi, bekas pegawai DPU yang sempat juga kuliah sebentar di ATNI ini merasa mendapat dorongan moril dari pesan-pesan almarhum Bing Slamet. "Saya merasa punya hutang budi dengan almarhum. Maka sesuai dengan pesannya untuk menjaga Kwartet Jaya, akan saya wakili", katanya dengan muka yang memang bisa digerakkan seenak perutnya. Sedikit lain dengan niat Kwartet Jaya baru yang maunya menonjolkan dialog itu, Ateng -- serpihan dari Kwartet Jaya yang masih akan terus berpelukan dengan Iskak -- menyatakan bahwa lawakan sangat tergantung dari publik. "Kalau saya melawak saya ingin membuat penonton tertawa wajar. Jangan tertawa tidak lucu", katanya. Ia setuju bahwa pelawak harus memiliki pendidikan dasar. Paling tidak pengetahuan umum yang dikorek dari koran-koran, perlunya supaya banyolan menjadi aktuil. Sehingga ia bisa membuat lelucon dari kunjungan Presiden Ford ke Peking, dengan mengutip ucapan Ford: "Kita akan melakukan kerja sama untuk pembuatan . . . bakmi goreng". Atau perihal kunjungan Nixon ke Kairo, di mana ia mengandaikan Presiden itu kaget dan berseru: "Wah ternyata di sini banyak sekali orang Arab". Tetapi untuk publik pinggiran, contoh semacam itu sudah pasti tidak lucu. Maka Ateng menyusun teori baru: kalau mau sukses maka 'ulah tubuh' digencarkan -- sedang dialog dikurangi. Lebih-lebih kalau menghadapi penonton anak-anak. Sedang manakala waktu yang ditetapkan terlalu panjang, boleh dilakukan apa yang dinamakannya "mencuri waktu" -- dengan cara menyanyi dan sebagainya yang mudah sekali dikerjakan dan makan waktu banyak. Yang terakhir ini kalau tidak salah adalah sumber keklisean yang sudah sering amat membosankan. Tetapi masih terus juga juga dikaji -- habis bagian dari teori sih. Melawak Banyak Risiko Mengenai tokoh yang tingginya tetap 1.48 m sejak berusia 20 tahun sampai 33 sekarang ini, memang ada kecenderungan untuk memperalat keunikan proporsinya. Bahkan ia berkata: "Kependekan saya mungkin tanda keberuntungan". Ini masih suka diucapkannya, walaupun ia tentunya tidak bisa lupa waktu ditolak masuk Akademi Hukum Militer lantaran kurang panjang. Waktu itu Ateng masih berharap akan tumbuh sebagaimana saudara-saudaranya yang lain. "Tahu-tahunya bukan tambah tinggi, malah tambah lebar ke samping", katanya mengejek. Ejekan model itu memang seringkali dilakukannya pula di panggung -- sehingga sering dikira ia tidak punya modal lain kecuali keanehan tubuh itu. Untunglah ia pernah masuk grup Bagio bersama Iskak di tahun 1964 -- di mana karir lawaknya mulai. "Di situ saya baru tahu bahwa melawak harus menggunakan pikiran. Saya kira tadinya asal pendek, gemuk dan lucu saja". Tetapi keinsafan ini sering juga dilupakan Ateng kalau ia lagi asyik -- dasar memang paling gampang untuk memperalat keanehan tubuh. Ia baru berpikir keras lagi kalau dagelannya tidak mempan. Itu misalnya pernah terjadi tatkala ia melucu di depan para penonton sakit jiwa. Ia sudah mati-matian begini dan begitu, toh penonton yang rada kurang normal itu tidak ada yang sudi ketawa. Rupanya pimpinan rumah sakit lantas merasa kurang enak terhadap Ateng -- karena kurangnya sambutan asuhannya -- tak ayal lagi ia berbisik-bisik: "Hee kamu tahu nggak, itu kan si Ateng yang pelawak itu. Jadi kalau dia muncul lagi kalian semua tertawa!". Betul juga. Begitu Ateng keluar lagi, mereka langsung tertawa berbareng. Ateng baru sadar sedang menghadapi orang-orang tidak normal. "Pelawak memang pekerjaan yang menanggung banyak risiko", bisik Ateng. Ia mengenangkan kejadian-kejadian kecil tatkala ia terserang malaria waktu main film. Waktu itu ia malah diketawakan karena dianggap lagi melucu. Atau lain ketika, waktu ia mabok di kapal, juga dianggap sedang mengeluarkan kebolehannya yang nomor sekian. Belum lagi waktu menghibur para penderita lepra. Menyangka sakit itu gampang menular, ia hampir mati kaku tatkala harus berjabatan tangan dengan para penggemarnya yang semuanya ingin salaman. Terpaksa ia lari kemudian. Salah sangka ini seperti juga salah sangka banyak orang kate yang datang kepadanya ingin menjadi pelawak mengira kate saja sudah cukup untuk membuat orang jadi badut. Yah itulah Ateng, yang mulai bergabung dengan Bing Slamet tahun 1968 di balik nama Kwartet Kita kemudian dirubah menjadi Kwartet Jaya. Tokoh yang pernah jadi mahasiswa Fakultas Sosial Politik Universitas Nasional ini, kini sedang mulai merintis rencananya tidak dengan menyiapkan model lawakan yang baru, tetapi dengan sistim grup yang memakai manajer. Barangkali dengan begini ia dan Iskak akan mencoba membuat persoalan keuangan yang, sangat menakutkan itu bisa lebih jernih. Di samping itu dijelaskannya bahwa apa yang dilakukannya di klab malam Blue Moon -- 10 Januari lalu -- dengan mencoba Ernie Djohan dan Vivi Sumanti sebagai bintang-bintang tamu, akan diteruskan. Bintang tamu itu sifatya sebagai pelengkap yang dibayar. "Seperti Bob Hope-lah", ujar Ateng. Pada akhirnya, antara lawakan yang mengandalkan kata-kata dan lawakan yang menitik-beratkan tekanan pada ulah tubuh, hanya akan berbeda dari kemampuan pelawaknya sendiri. Keduanya bisa sama-sama lucu, dan tidak bisa dipilih sebelum orang menyaksikan sendiri lawakan tersebut. Usaha meningkatkan mutu lawak tentunya amat menggembirakan, dan ini seperti tercetus justru pada saat ada perpecahan seperti sekarang ini. Lalu kalau suasana perpecahan boleh dianggap sesuatu yang normal -- sepanjang soalnya itu-itu juga tentunya segi positipnya terletak pada manfaatnya sebagai cambuk untuk melakukan penemuan-penemuan kembali. Dengan cara berpikir seperti itu, buku The Modern Handbook of Humor yang ada di rumah Udel, dan memuat secara terperinci bimbingan lelucon sekitar Presiden, politik, kampus, pedagang, rumah sakit dan sebagainya, masih tetap penting. Yakni sebagai hanya salah satu kemungkinan dari jaIan yang satunya lagi: intuisi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus