Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Harapan pada gudel

Johny gudel meninggalkan srimulat, bergabung dengan kakaknya, mendirikan atmonadi plus. ia tokoh menarik karena penampilannya bloon. pecahnya kwartet jaya dapat melicinkan gudel menuju sukses.(hb)

24 Januari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TATKALA Gudel meninggalkan Srimulat, ikut serta seekor anjing berusia 8 tahun yang bernama "Teri". Nama ini seperti ironi bagi pelawak yang sudah punya pengagum sangat luas ini, yang terpaksa meninggalkan tempat yang sesungguhnya sangat dicintainya demi perut. Ia nyaris bernama Mudjio kembali -- dulunya seorang magang abdi dakem keraton Jogja, atau menurut istilahnya sendiri: "figuran keraton" -- kalau tidak cepat-cepat lari ke Jakarta ke pangkuan kakak kandungnya yang lantas mendirikan 'Atmonadi Plus'. Dari balik tembok Taman Ismail Marzuki ia menatap sayu ke arah Teater Terbuka di mana ia selalu bermain dengan sukses bersama rombongannya. Ia menyorongkan soto ke mulutnya di deretan warung Cikini dengan badan yang lesu. "Baru keluar dari Srimulat sebenarnya saya tidak merasa sedih, memang keluarnya tidak sengaja. Tapi badan saya kurus. Mestinya 70 jadi 72 kilo". Isterinya cepat-cepat memperbaiki: "Mestinya 72 jadi 70". Johny Gudel hanya tersenyum bloon. Mumpung Kwartet Jaya Pecah Atmonadi, yang menjadi dalang utama debut Gudel tanpa Srimulat. menerangkan secara tidak resmi bahwa Gudel memang akan terus bloon sampai tua. Ini sudah cap mati baginya sehingga para penggemarnya sendiri lebih suka ia terus tidak becus berbahasa Indonesia yang rapi. "Malahan sudah ada yang mulai protes kalau adinda saya itu nantinya mulai mahir berbahasa Indonesia yang baik", kata Atmonadi yang lagi sibuk main film Baron Kuning. Adapun Jarot -- adik Gudel yang juga tergabung dalam Atmonadi Plus -- sempat bilang bahwa mungkin saja lama-kelamaan Gudel tidak bisa dihindarkan untuk mulai berbahasa Melayu logat Jakarta. "Tetapi sesungguhnya letak kekuatan abang saya itu justru pada kengawurannya berbicara -- sehingga seringkali mengagetkan orang karena susunan kata-katanya yang seringkali tak masuk akal, tapi benar-benar lucu. Suaranya tidak dibuat-buat seperti kebanyakan pelawak, dan caranya mengucapkan kata-kata memang tidak bisa ditiru. Bisa, tapi tak akan luwes seperti Johny Gudel", kata Jarot, yang ternyata juga pernah berkubang di Srimulat setahun (1973) dan sekaligus pengagum Gudel yang nomor wahid. Bagi para pemilik TV, Atmonadi Plus (Atmonadi, Gudel, Jarot, Rus Pentil, Lies Umami) yang mulai menjual ketawa di ibukota sejak bulan Oktober tahun lalu, tentunya tak asing lagi. Mereka pernah mengisahkan perkara "Dukun Pijat" dengan lucu sekali. 14 Januari lalu mereka juga memainkan suka duka dua orang sakit. Meskipun buntutnya kepanjangan sedikit, toh tidak mengecewakan. Ini sebuah persiapan yang baik. Apalagi menjelang tahun baru kemaren Kwartet Jaya yang paling dicintai semua orang sudah berantakan. Berita sedih ini dengan tak sengaja sudah menjadi pelumas bagi Gudel yang dahulunya sering hanya memakai sarung atau kolor siang hari di THR Surabaya -- untuk mengumpulkan orang-orang yang haus ketawa. Desember lalu Atmonadi Plus main sampai 15 kali berturut-turut. Sedang pada malam tahun baru mereka ngebut main di 4 buah tempat. Sempat juga pada tanggal 26 Desember menghibur keluarga Cendana yang bersyukur, karena Pak lHarto sudah sehat kembali. "Wah senangnya bukan main", kata Gudel. Bagi Gudel sendiri, yang memiliki 2 orang isteri dan 7 anak itu, yang paling penting adalah Rp 30 ribu kali sekian. Bermula dengan cerita pertama "Pilihlah Aku", honornya dulu hanya separuhnya, dapat dibayangkan betapa deras kemajuannya. Tak anehlah kalau Gudel ini sekarang ke mana-mana tampak rapih bersih dan berkaca-mata keemasan. "Saya sendiri sudah bilang pada pak Atmo, ya lama-lama jangan terlalu dimurahkan", katanya dengan lugu. Belum nampak tanda-tanda mabuk sukses. Mudah-mudahan saja terus ingat yang satu itu. Pangeran Bloon Subur Sardjono -- belum banyak yang tahu nama ini -- sekretaris Yayasan Dharma Bhakti Budaya di Jakarta, menyuruh masyarakat menanti sampai bulan depan. Sebuah gedung di kawasan Jakarta Fair sedang diutak-utik: kursinya, panggungnya, tetek-bengeknya, untuk segera dinamakan gedung Ria Jaya Johny Gudel. Di sanalah nanti musafir-musafir ketawa yang mencari penggeli hati bisa puas-puasan setiap malam sampai tua. Di sebuah rumah kontrakan di Ciliitan, yang disewa Rp 600 ribu untuk 2 tahun, 15 orang pemain musik dan awak panggung -- semuanya pelarian dari Jawa Timur ditambah dengan seorang bekas Bagong dari wayang orang Sri Wanita Semarang -- sudah siap tempur. Di antaranya tampak juga Aris Mustapa alias Aristopa yang sengaja ditunjuk oleh Gudel sendiri sebagai tukang reka-reka cerita, seperti juga Srimulat yang memiliki sidang pengarah itu. Tak ayal lagi suasana Srimulat akan dimanfaatkan -- kalau tidak ditiru mentah-mentah nantinya. Paling sedikit ibukota akan segera memiliki rumah badut-badut berkumpul, di mana mereka akan membuktikan benar-benar bahwa membanyol memang matapencaharian terhormat dan meyakinkan sebagai pegangan hidup. Gudel tampak optimis sekali. Demikian juga Atmonadi, yang sebelumnya pernah berniat untuk berhenti melawak. Dalam pada itu, Gudel sendiri ternyata belum mempunyai kartu penduduk, meskipun kedatangannya tampaknya diterima baik oleh ibukota. "Nanti kalau diusir saya menghadap sendiri pak Gubernur", katanya. Gudel daIam usia 55 tahun (bintang zodiaknya sayang sekali ia sendiri tak tahu) memang seorang pangeran bloon yang kelihatannya paling punya kemungkinan untuk menggantikan gelar raja badut yang kosong sejak Bing tiada. Anak kedua abdi dalem keraton Yogya Djajasemedi ini, meskipun melek hurufnya remang-remang -- karena SD saja tidak tamat -- toh sesungguhnya bukan orang bodoh sebagaimana banyak disangka orang. Ia memang lugu dan sederhana, tetapi separuh dari kepolosannya adalah pemilihan sikap yang diam-diam membersitkan kecerdasan. Perhatikan saja bagaimana ia melawak. Cetusan-cetusannya, kata-katanya yang seringkali berbalik menikam dirinya sendiri -- sehingga artinya menjadi kacau dan menimbulkan rasa geli yang mengejutkan -- sesungguhnya menampakkan kesadaran yang cerdik yang bersembunyi di balik spontanitasnya. Bekas anggota ketoprak yang bergabung dalam barisan pelawak Kuping Hitam itu, boleh saja dikatakan badut alam. Tetapi lihatlah wajahnya di TV close-up demi close-up tak pernah bisa membuktikan bahwa ia menjual-jual muka dengan memaksa. Tampang dan potongannya memang cukup lucu, tapi ia tak pernah memperalat semata-mata tubuh tok. Leluconnya adalah hasil pembangunan suasana yang titik beratnya pada kata-kata. Pernah juga ia mempergunakan kata-kata kesleo atau memperalat kebodohan dalam berbahasa asing. Tetapi umumnya kata-katanya biasa saja, hanya caranya mengutarakan dan pengacauan artinya sedemikian khas sehingga merupakan ciri tersendiri. Itu tentulah banyak diketemukannya di Srimulat, yang memiliki seorang Teguh yang punya selera humor yang tinggi. Seorang guru yang selalu menuntut anak buahnya untuk menghindari "dagelan blangkon" dagelan hapalan. Seorang yang menurut Jarot: "bukan pelawak tetapi memiliki wawasan luas dalam dunia lawak. "Pak Teguh selalu memberi nasehat", kata Jarot, "agar kita melawak yang wajar saja, yang bisa diterima nalar. Lihat saja apa Johny Gudel pernah petantang-petenteng atau meringas-meringis waktu muncul? Dia masuk dengan jalan biasa saja. Inilah lawakan sekarang". Ambisi Masa Tua Gudel menemukan namanya dalam perjalanan hijrah ke Srimulat Surabaya. Ia tertarik melihat seekor anak kerbau (dalam bahasa Jawa: Gudel) yang sedang menetek. Merasa lucu, ia menamakan dirinya Gudel kalau melakukan peranan orang kecil-kecilan seperti jongos dan sebangsanya. Nama Johny dipakainya kalau jadi anak muda, orang kaya atau anak kecil. "Tapi keistimewaan pak Johny Gudel adalah kalau jadi orang bloon, orang goblok yang pendiriannya seperti orang pandai tapi tidak bisa", kata Jarot memberi komentar. Hal ini benar adanya. Dan keterbatasan itu bisa berbahaya kalau orang menjadi hapal pola lawakannya. Kwartet Jaya dahulu pernah dikasak-kusukkan mundur, padahal sesungguhnya hanya karena orang sudah mulai hapal pola melawak Bing. Untung saja mahluk lucu yang tiada bandingannya di persada pribumi itu masih punya kebolehan menyanyi dan main musik serta berbahasa Inggeris. Tapi bagaimana nanti Gudel, yang hanya bisa menyanyi "lagu-lagu setengah nada" itu? Secara tak langsung Atmonadi menjawab: ia tidak akan sudi membuat rekaman pita kaset bersama Gudel, karena takut dagelan mereka nanti dihapal orang. "Sedang kalau melawak biasa, lama-lama kan orang bisa lupa juga. Lalu bisa diulang di sana atau di sini, kan tidak semua orang tahu. Kalau dikaset meskipun kita tidak main orang toh tahu, jadi bisa susah. Kecuali kalau direkam dengan mencuri lho", kata lelaki yang juga pantang main di klab malam ini. Gudel sendiri tampaknya tidak berambisi lain kecuali untuk bisa meningkatkan hidupnya menghadapi masa tua. Itulah alasan satu-satunya kenapa ia meninggalkan Srimulat. Sekarang, meskipun belum punya skuter atau rumah seperti yang dicita-citakannya, ia sudah .merasa mendingan. "Uang megang terus, dan bebas karena tidak diperintah juragan. Bukan jadi juragan, karena di sini hidup sama-sama", katanya tanpa mengerling para pelarian yang lain, yang duduk mencangkng di tikar dengan muka berseri-seri. Ketiga anaknya (25 th, 22 th, 20 th), yang pernah bekerja sebagai awak panggung di Srimulat, tampak juga siap menanti kerja bulan Pebruari itu. Sementara Gudel sudah mulai digerayangi peminatnya kalau berjalan di Pasar Senen misalnya, anak-anaknya itu belum menunjukkan tanda-tanda akan mengikuti karier orang tua mereka. Kasihan juga mereka rata-rata tidak tamat SMP. Barangkali dengan hidup lebih baik Gudel sendiri akan memikirkan pendidikan anak-anaknya yang lain -- dari isterinya yang muda yang kini menemaninya ke mana-mana. Ini tentunya termasuk bagian juga dalam mempersiapkan hari tua. Padahal di Srimulat ada sebuah keluara yang berhasil melawak dalam kondisi setempat, sementara puterinya berhasil menggaet gelar BA sambil juga ikut main sebagai figuran. Ini sekedar menunjukkan bahwa Gudel agaknya tidak begitu tertarik pada pendidikan -- karena sangat percaya pada bakat alam. Untuk sementara mungkin hal ini memadai. Tetapi untuk jangka panjang, apalagi kalau harus tampil setiap malam nantinya, siapa tahu lama-lama bisa menyulitkan. Tidak Doyan Paguyuban "Saya amat-amati, perpecahan rombongan pelawak biasanya perkara uang. Juga dalam rombongan Kwartet Jaya itu", ujar Atmonadi. "Karena itu saya berusaha mengadakan pembagian seadil-adilnya dan mengadakan simpanan bersama 10% dipotong dari honorarium setiap kali main". Orang tua ini juga menjelaskan bahwa ia dan Gudel tak mau masuk Paguyuban Pelawak yang diketuai Eddy Sud. Karena kegiatan itu hanya semacam arisan dan kumpul kumpul tok. "Mengumpulkan sih baik, tapi kalau sudah terkumpul ya disalurkan dong", katanya. Tapi sementara itu Jarot adiknya dibiarkannya masuk ke sana, karena pensiunan tentara ini rupanya memang membutuhkan pergaulan di kalangan pelawak ibukota. Menanggapi kemungkinan perpecahan, Jarot yang sependapat juga bahwa masaalah uang adalah masaalah pokok dalam setiap perpecahan, mengatakan bahwa Atmonadi Plus yang kini mendapat Rp 250 ribu untuk 1 jam pertunjukan tidak akan pecah. Karena justru adanya 3 sekandung dalam grup. "Saya selalu membisik pak Atmo supaya kita hati-hati dalam hal ini", ujarnya. Gudel, yang doyan perkutut, bola, catur dan memelihara ayam, barangkali pada saat ini tidak begitu memikirkan soal kemungkinan perpecahan nanti. Ia lagi bersemangat memasuki sejarahnya yang baru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus