TATKALA Gudel meninggalkan Srimulat, ikut serta seekor anjing
berusia 8 tahun yang bernama "Teri". Nama ini seperti ironi bagi
pelawak yang sudah punya pengagum sangat luas ini, yang terpaksa
meninggalkan tempat yang sesungguhnya sangat dicintainya demi
perut. Ia nyaris bernama Mudjio kembali -- dulunya seorang
magang abdi dakem keraton Jogja, atau menurut istilahnya
sendiri: "figuran keraton" -- kalau tidak cepat-cepat lari ke
Jakarta ke pangkuan kakak kandungnya yang lantas mendirikan
'Atmonadi Plus'. Dari balik tembok Taman Ismail Marzuki ia
menatap sayu ke arah Teater Terbuka di mana ia selalu bermain
dengan sukses bersama rombongannya. Ia menyorongkan soto ke
mulutnya di deretan warung Cikini dengan badan yang lesu. "Baru
keluar dari Srimulat sebenarnya saya tidak merasa sedih, memang
keluarnya tidak sengaja. Tapi badan saya kurus. Mestinya 70 jadi
72 kilo". Isterinya cepat-cepat memperbaiki: "Mestinya 72 jadi
70". Johny Gudel hanya tersenyum bloon.
Mumpung Kwartet Jaya Pecah
Atmonadi, yang menjadi dalang utama debut Gudel tanpa Srimulat.
menerangkan secara tidak resmi bahwa Gudel memang akan terus
bloon sampai tua. Ini sudah cap mati baginya sehingga para
penggemarnya sendiri lebih suka ia terus tidak becus berbahasa
Indonesia yang rapi. "Malahan sudah ada yang mulai protes kalau
adinda saya itu nantinya mulai mahir berbahasa Indonesia yang
baik", kata Atmonadi yang lagi sibuk main film Baron Kuning.
Adapun Jarot -- adik Gudel yang juga tergabung dalam Atmonadi
Plus -- sempat bilang bahwa mungkin saja lama-kelamaan Gudel
tidak bisa dihindarkan untuk mulai berbahasa Melayu logat
Jakarta. "Tetapi sesungguhnya letak kekuatan abang saya itu
justru pada kengawurannya berbicara -- sehingga seringkali
mengagetkan orang karena susunan kata-katanya yang seringkali
tak masuk akal, tapi benar-benar lucu. Suaranya tidak
dibuat-buat seperti kebanyakan pelawak, dan caranya mengucapkan
kata-kata memang tidak bisa ditiru. Bisa, tapi tak akan luwes
seperti Johny Gudel", kata Jarot, yang ternyata juga pernah
berkubang di Srimulat setahun (1973) dan sekaligus pengagum
Gudel yang nomor wahid.
Bagi para pemilik TV, Atmonadi Plus (Atmonadi, Gudel, Jarot, Rus
Pentil, Lies Umami) yang mulai menjual ketawa di ibukota sejak
bulan Oktober tahun lalu, tentunya tak asing lagi. Mereka pernah
mengisahkan perkara "Dukun Pijat" dengan lucu sekali. 14
Januari lalu mereka juga memainkan suka duka dua orang sakit.
Meskipun buntutnya kepanjangan sedikit, toh tidak mengecewakan.
Ini sebuah persiapan yang baik. Apalagi menjelang tahun baru
kemaren Kwartet Jaya yang paling dicintai semua orang sudah
berantakan. Berita sedih ini dengan tak sengaja sudah menjadi
pelumas bagi Gudel yang dahulunya sering hanya memakai sarung
atau kolor siang hari di THR Surabaya -- untuk mengumpulkan
orang-orang yang haus ketawa. Desember lalu Atmonadi Plus main
sampai 15 kali berturut-turut. Sedang pada malam tahun baru
mereka ngebut main di 4 buah tempat. Sempat juga pada tanggal 26
Desember menghibur keluarga Cendana yang bersyukur, karena Pak
lHarto sudah sehat kembali. "Wah senangnya bukan main", kata
Gudel.
Bagi Gudel sendiri, yang memiliki 2 orang isteri dan 7 anak itu,
yang paling penting adalah Rp 30 ribu kali sekian. Bermula
dengan cerita pertama "Pilihlah Aku", honornya dulu hanya
separuhnya, dapat dibayangkan betapa deras kemajuannya. Tak
anehlah kalau Gudel ini sekarang ke mana-mana tampak rapih
bersih dan berkaca-mata keemasan. "Saya sendiri sudah bilang
pada pak Atmo, ya lama-lama jangan terlalu dimurahkan", katanya
dengan lugu. Belum nampak tanda-tanda mabuk sukses.
Mudah-mudahan saja terus ingat yang satu itu.
Pangeran Bloon
Subur Sardjono -- belum banyak yang tahu nama ini -- sekretaris
Yayasan Dharma Bhakti Budaya di Jakarta, menyuruh masyarakat
menanti sampai bulan depan. Sebuah gedung di kawasan Jakarta
Fair sedang diutak-utik: kursinya, panggungnya, tetek-bengeknya,
untuk segera dinamakan gedung Ria Jaya Johny Gudel. Di sanalah
nanti musafir-musafir ketawa yang mencari penggeli hati bisa
puas-puasan setiap malam sampai tua. Di sebuah rumah kontrakan
di Ciliitan, yang disewa Rp 600 ribu untuk 2 tahun, 15 orang
pemain musik dan awak panggung -- semuanya pelarian dari Jawa
Timur ditambah dengan seorang bekas Bagong dari wayang orang Sri
Wanita Semarang -- sudah siap tempur. Di antaranya tampak juga
Aris Mustapa alias Aristopa yang sengaja ditunjuk oleh Gudel
sendiri sebagai tukang reka-reka cerita, seperti juga Srimulat
yang memiliki sidang pengarah itu. Tak ayal lagi suasana
Srimulat akan dimanfaatkan -- kalau tidak ditiru mentah-mentah
nantinya. Paling sedikit ibukota akan segera memiliki rumah
badut-badut berkumpul, di mana mereka akan membuktikan
benar-benar bahwa membanyol memang matapencaharian terhormat
dan meyakinkan sebagai pegangan hidup. Gudel tampak optimis
sekali. Demikian juga Atmonadi, yang sebelumnya pernah berniat
untuk berhenti melawak. Dalam pada itu, Gudel sendiri ternyata
belum mempunyai kartu penduduk, meskipun kedatangannya tampaknya
diterima baik oleh ibukota. "Nanti kalau diusir saya menghadap
sendiri pak Gubernur", katanya.
Gudel daIam usia 55 tahun (bintang zodiaknya sayang sekali ia
sendiri tak tahu) memang seorang pangeran bloon yang
kelihatannya paling punya kemungkinan untuk menggantikan gelar
raja badut yang kosong sejak Bing tiada. Anak kedua abdi dalem
keraton Yogya Djajasemedi ini, meskipun melek hurufnya
remang-remang -- karena SD saja tidak tamat -- toh sesungguhnya
bukan orang bodoh sebagaimana banyak disangka orang. Ia memang
lugu dan sederhana, tetapi separuh dari kepolosannya adalah
pemilihan sikap yang diam-diam membersitkan kecerdasan.
Perhatikan saja bagaimana ia melawak. Cetusan-cetusannya,
kata-katanya yang seringkali berbalik menikam dirinya sendiri --
sehingga artinya menjadi kacau dan menimbulkan rasa geli yang
mengejutkan -- sesungguhnya menampakkan kesadaran yang cerdik
yang bersembunyi di balik spontanitasnya.
Bekas anggota ketoprak yang bergabung dalam barisan pelawak
Kuping Hitam itu, boleh saja dikatakan badut alam. Tetapi
lihatlah wajahnya di TV close-up demi close-up tak pernah bisa
membuktikan bahwa ia menjual-jual muka dengan memaksa. Tampang
dan potongannya memang cukup lucu, tapi ia tak pernah memperalat
semata-mata tubuh tok. Leluconnya adalah hasil pembangunan
suasana yang titik beratnya pada kata-kata. Pernah juga ia
mempergunakan kata-kata kesleo atau memperalat kebodohan dalam
berbahasa asing. Tetapi umumnya kata-katanya biasa saja, hanya
caranya mengutarakan dan pengacauan artinya sedemikian khas
sehingga merupakan ciri tersendiri.
Itu tentulah banyak diketemukannya di Srimulat, yang memiliki
seorang Teguh yang punya selera humor yang tinggi. Seorang guru
yang selalu menuntut anak buahnya untuk menghindari "dagelan
blangkon" dagelan hapalan. Seorang yang menurut Jarot: "bukan
pelawak tetapi memiliki wawasan luas dalam dunia lawak. "Pak
Teguh selalu memberi nasehat", kata Jarot, "agar kita melawak
yang wajar saja, yang bisa diterima nalar. Lihat saja apa Johny
Gudel pernah petantang-petenteng atau meringas-meringis waktu
muncul? Dia masuk dengan jalan biasa saja. Inilah lawakan
sekarang".
Ambisi Masa Tua
Gudel menemukan namanya dalam perjalanan hijrah ke Srimulat
Surabaya. Ia tertarik melihat seekor anak kerbau (dalam bahasa
Jawa: Gudel) yang sedang menetek. Merasa lucu, ia menamakan
dirinya Gudel kalau melakukan peranan orang kecil-kecilan
seperti jongos dan sebangsanya. Nama Johny dipakainya kalau jadi
anak muda, orang kaya atau anak kecil. "Tapi keistimewaan pak
Johny Gudel adalah kalau jadi orang bloon, orang goblok yang
pendiriannya seperti orang pandai tapi tidak bisa", kata Jarot
memberi komentar. Hal ini benar adanya. Dan keterbatasan itu
bisa berbahaya kalau orang menjadi hapal pola lawakannya.
Kwartet Jaya dahulu pernah dikasak-kusukkan mundur, padahal
sesungguhnya hanya karena orang sudah mulai hapal pola melawak
Bing. Untung saja mahluk lucu yang tiada bandingannya di persada
pribumi itu masih punya kebolehan menyanyi dan main musik serta
berbahasa Inggeris. Tapi bagaimana nanti Gudel, yang hanya bisa
menyanyi "lagu-lagu setengah nada" itu? Secara tak langsung
Atmonadi menjawab: ia tidak akan sudi membuat rekaman pita kaset
bersama Gudel, karena takut dagelan mereka nanti dihapal orang.
"Sedang kalau melawak biasa, lama-lama kan orang bisa lupa juga.
Lalu bisa diulang di sana atau di sini, kan tidak semua orang
tahu. Kalau dikaset meskipun kita tidak main orang toh tahu,
jadi bisa susah. Kecuali kalau direkam dengan mencuri lho", kata
lelaki yang juga pantang main di klab malam ini.
Gudel sendiri tampaknya tidak berambisi lain kecuali untuk bisa
meningkatkan hidupnya menghadapi masa tua. Itulah alasan
satu-satunya kenapa ia meninggalkan Srimulat. Sekarang, meskipun
belum punya skuter atau rumah seperti yang dicita-citakannya, ia
sudah .merasa mendingan. "Uang megang terus, dan bebas karena
tidak diperintah juragan. Bukan jadi juragan, karena di sini
hidup sama-sama", katanya tanpa mengerling para pelarian yang
lain, yang duduk mencangkng di tikar dengan muka berseri-seri.
Ketiga anaknya (25 th, 22 th, 20 th), yang pernah bekerja
sebagai awak panggung di Srimulat, tampak juga siap menanti
kerja bulan Pebruari itu. Sementara Gudel sudah mulai
digerayangi peminatnya kalau berjalan di Pasar Senen misalnya,
anak-anaknya itu belum menunjukkan tanda-tanda akan mengikuti
karier orang tua mereka. Kasihan juga mereka rata-rata tidak
tamat SMP. Barangkali dengan hidup lebih baik Gudel sendiri
akan memikirkan pendidikan anak-anaknya yang lain -- dari
isterinya yang muda yang kini menemaninya ke mana-mana. Ini
tentunya termasuk bagian juga dalam mempersiapkan hari tua.
Padahal di Srimulat ada sebuah keluara yang berhasil melawak
dalam kondisi setempat, sementara puterinya berhasil menggaet
gelar BA sambil juga ikut main sebagai figuran. Ini sekedar
menunjukkan bahwa Gudel agaknya tidak begitu tertarik pada
pendidikan -- karena sangat percaya pada bakat alam. Untuk
sementara mungkin hal ini memadai. Tetapi untuk jangka panjang,
apalagi kalau harus tampil setiap malam nantinya, siapa tahu
lama-lama bisa menyulitkan.
Tidak Doyan Paguyuban
"Saya amat-amati, perpecahan rombongan pelawak biasanya perkara
uang. Juga dalam rombongan Kwartet Jaya itu", ujar Atmonadi.
"Karena itu saya berusaha mengadakan pembagian seadil-adilnya
dan mengadakan simpanan bersama 10% dipotong dari honorarium
setiap kali main". Orang tua ini juga menjelaskan bahwa ia dan
Gudel tak mau masuk Paguyuban Pelawak yang diketuai Eddy Sud.
Karena kegiatan itu hanya semacam arisan dan kumpul kumpul tok.
"Mengumpulkan sih baik, tapi kalau sudah terkumpul ya disalurkan
dong", katanya. Tapi sementara itu Jarot adiknya dibiarkannya
masuk ke sana, karena pensiunan tentara ini rupanya memang
membutuhkan pergaulan di kalangan pelawak ibukota. Menanggapi
kemungkinan perpecahan, Jarot yang sependapat juga bahwa
masaalah uang adalah masaalah pokok dalam setiap perpecahan,
mengatakan bahwa Atmonadi Plus yang kini mendapat Rp 250 ribu
untuk 1 jam pertunjukan tidak akan pecah. Karena justru adanya 3
sekandung dalam grup. "Saya selalu membisik pak Atmo supaya kita
hati-hati dalam hal ini", ujarnya. Gudel, yang doyan perkutut,
bola, catur dan memelihara ayam, barangkali pada saat ini tidak
begitu memikirkan soal kemungkinan perpecahan nanti. Ia lagi
bersemangat memasuki sejarahnya yang baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini