Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Belajar Kehidupan di Kota Purwokerto

Di rumah bu Surtina di Kota Purwokerto, aku belajar membuat sapu lidi dan gula.

16 Oktober 2018 | 12.33 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Banyak hal yang mau aku ceritakan tentang perjalanan ke Kota Purwokerto kemarin. Seperti liburanku pada umumnya, aku tak mau terikat waktu. Tidak harus bangun terlalu pagi untuk mengejar destinasi baru, juga tak tidur terlalu cepat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Langsung aja ya. Lagi-lagi sangat bermanfaat tidak berekspektasi pada apa pun. Kejutan-kejutan baru sesungguhnya menanti. Orang-orang baru apalagi. Semua datang bersamaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di sini semuanya berawal.

Kejutan pertama adalah: AKU DIJEMPUT! Dyah, staf mas Bangkit bertugas menjemputku. Sungguh kejutan luar biasa. Ada empat orang yang datang menjemput. Dyah, Primas, Mas Kris, dan Mas Teguh. Emang aku siapa harus dijemput segala? Untuk ini, tentu aku protes.

Kejutan kedua adalah: AKU DIINAPKAN DI HOTEL! Aku protes besar untuk ini. Kata mereka ini adalah standar layanan buat tamu. Aku padahal nggak merasa sebagai tamu. Karena besoknya nggak sempat check out, dua malamlah nginep di sana. Di Kota Purwokerto banyak hotel kok. Jadi kalau mau ke sana, gak ada saudara-pacar-kenalan-gebetan-apalagi simpanan jangan takut ya. Wkwkwk.

Kebanyakan protes, mas Bangkit menyerah dan bilang lakukan apa pun yang aku mau tapi HARUS NYAMAN. Dia kira aku anak kecil. Karena gak ada yang menawarkan diri untuk aku menginap di rumahnya (pengen gratisan banget yah!), akhirnya aku nyari di Airbnb. Ini juga penting banget. Banyak penginapan bagus dan murah. Juga host yang ramah dan baik hati. Hehehe.

Hari pertama, aku pergi ke Desa Rancamaya. Desa ini adalah penghasil gula kelapa. Di sana tinggal para penderes pohon kelapa. Beberapa juga mengolah nira menjadi gula. Ada dua jenis gula yang dihasilkan, gula cetak dan gula kristal.

Jangan sepele ya, produk yang mereka hasilkan pasarnya bukan kamu! Ya kamu! Pasarnya adalah daratan Eropa. Mereka telah bersertifikasi gula organik yang dibantu LPPSLH (Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Lingkungan Hidup) Purwokerto.

Aku sangat beruntung bisa melihat lebih tepatnya terlibat pembuatan gula kelapa. Kalau ditanya ibunya sih, Aku merepotkan mereka. Hehehe.  Ibu Surtina bilang, kunci dari pembuatan gula kelapa adalah keharmonisan rumah tangga. Itu bukan mitos, tapi memang terjadi. Nira bisa gagal diolah menjadi gula kalau hati tidak senang. Kegagalan ini selalu terjadi kalau mereka berantem. See, hati yang gembira adalah obat. Ternyata berlaku untuk semua hal.

Di rumah bu Surtina aku belajar membuat sapu lidi. Ini hal yang sama sekali baru. Semua pelepah tumbuhan palem bisa dibuat jadi sapu lidi. Intinya tulang pelepah itulah yang jadi lidi. Sampe pak Irwan (komandan koperasi gula kelapa) meledekku kalau dia bisa menyelesaikan lima lidi dengan waktu yang bersamaan aku hanya bisa membuat satu lidi.

Wadoh, ini baru cerita di satu tempat loh. Udah sepanjang ini. Semoga nggak bosan ya bacanya.

Di Kota Purwokerto ada banyak curug. Aku pergi ke salah satu curug yang dekat Batur Raden, puncaknya Kota Purwokerto. Banyak penginapan, juga taman nasional, hutan pinus, permandian air panas, dan arena bermain di sana. Lumayan dingin. Tapi gak sedingin Sidikalang, tempatku lahir.

Cerita selanjutnya disambung lagi ya.

 

Tulisan ini sudah tayang di Gustersihombing

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus