Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bunsei Sato, kepala stasiun, menjadi pencetus wisata halal di Nagano, Jepang.
Inisiatif ini muncul dari kunjungan warga Indonesia ke Nagano pada 2010.
Bunsei Sato mengenalkan wisata halal kepada anggota asosiasi pariwisata di Desa Hakuba.
TANGAN keriput Bunsei Sato cekatan membagi-bagikan karcis kereta berupa kertas hijau berukuran 10 x 5 sentimeter kepada 20 turis asal Indonesia pada pertengahan Februari lalu. Di dalam kertas itu tertulis kereta jalur Oito ke arah Distrik Omachi dari Stasiun Kamishiro akan berangkat pada pukul 20.00. Berbicara dalam bahasa Jepang seraya menggerak-gerakkan tangannya, laki-laki 64 tahun itu meminta para pelancong duduk di ruang tunggu samping peron. Kursi-kursi kayu berwarna cokelat di dalam stasiun yang semula kosong melompong pun langsung terisi penuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sato berdiri di celah pintu besi berongga-rongga di samping peron yang separuh terbuka. Sesekali dia menoleh ke kanan atau ke kiri. Jika ada orang mendekat ke pintu peron, ia akan menahannya dengan tangan agar porang itu tak bisa masuk peron lebih dulu. Malam itu, suasana stasiun kecil di Distrik Goryu, Prefektur Nagano, tersebut cukup sepi. Hingga kemudian bunyi peluit panjang memecah kesunyian. Lampu oranye tiba-tiba menyorot papan biru yang menggantung pada tiang besi di samping peron bertulisan "Jalur Oito". Suara kereta rel listrik menderu, mendekat ke stasiun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang petugas berseragam biru tua menghampiri Sato. Sato seperti menyuruh petugas itu membuka pintu peron selebar-lebarnya. Sato kemudian menyilakan para wisatawan dari Indonesia masuk ke kereta saat kuda besi itu berhenti.
Kereta abu-abu bercorak merah jambu berhenti sekitar 10 menit di Stasiun Kamishiro. Selain penumpang dari Indonesia, ada beberapa penduduk setempat yang naik ke kereta dengan tujuan akhir Omachi tersebut. Kereta baru kembali bergerak saat Sato memberi aba-aba kepada masinis. “Priiit….” Peluit kembali panjang menjerit. Kereta jalur Oito melaju di atas rel yang dipenuhi salju. Dari jendela kereta, tubuh Sato makin lama tampak makin ciut. Sebelum kereta benar-benar menjauh, Sato melambaikan tangan.
•••
BUNSEI Sato adalah Kepala Stasiun Kamishiro sekaligus pemandu turis yang datang ke Nagano. Pada Februari lalu, saya bersama 19 orang Indonesia peserta program Japan-East Asia Network of Exchange for Students and Youths (Jenesys) bertemu dengannya. Tak seperti pemandu wisata biasa, Sato pemrakarsa wisata halal ramah muslim di Prefektur Nagano—berjarak 200 kilometer dari Tokyo.
Saat berbincang dengan Tempo di sebuah hotel di Distrik Omachi, Sato bercerita tentang awal ia mencetuskan gagasan membuat program wisata untuk pelancong muslim sekitar sepuluh tahun lalu. Sebagai kepala stasiun, saat itu Sato ingin stasiun-stasiun di daerahnya dipenuhi turis asing seperti yang terlihat di prefektur lain di Jepang.
Hingga suatu hari, pada 2010, Distrik Goryu—distrik terbesar di Desa Hakuba—menerima kunjungan rombongan pelancong Indonesia yang mengikuti program pertukaran pemuda, Jenesys, yang digelar Kementerian Luar Negeri Jepang. Sato ditunjuk sebagai tuan rumah. Para peserta tinggal semalam di rumah Sato di Goryu untuk belajar tentang budaya dan kehidupan asli warga Jepang.
Selama berada di rumah Sato, sebagian peserta Jenesys mengeluhkan sulitnya menemukan sajian kuliner halal di Hakuba. Sampai-sampai mereka harus membawa bekal mi instan. Sato mengaku sedih ketika mengetahui tetamunya tak leluasa menyantap makanan saat berlibur.
Bagi orang Hakuba, tutur Sato, membantu orang yang kesulitan mendapatkan makanan adalah keutamaan. Apa pun kondisinya. Nilai itu diajarkan turun-temurun oleh para orang tua. “Jadi kami mencoba belajar menyiapkan makanan untuk turis, seperti orang-orang muslim, yang memiliki pantangan terhadap jenis daging atau bahan makanan tertentu,” kata Sato.
Berangkat dari problem makanan itulah Sato mulai terbuka terhadap konsep wisata halal. Sepulang rombongan Indonesia dari Hakuba, Sato beranjangsana ke rumah tetangga-tetangganya di Distrik Goryu yang memiliki usaha penginapan. Dia bercerita tentang pengalamannya menerima tamu yang kesulitan menemukan makanan halal.
Kepada para tetangganya, Sato mengatakan penting mengetahui latar belakang para tamu asing agar tuan rumah dapat menyediakan layanan, termasuk makanan, bagi klien yang punya pantangan khusus. Dengan begitu, turis asing tak ragu-ragu berwisata ke Hakuba. “Itu demi kenyamanan tamu,” ujar Sato.
Menurut Sato, wisatawan muslim bukan sekadar tamu yang datang, melancong, lalu pergi. Mereka menjadi teman karib bagi orang-orang Jepang meski hanya tinggal tiga-empat hari di Desa Hakuba. “Kami mengenal wisatawan muslim sebagai orang yang ramah,” ucap Sato.
Pada 2012, Sato menerima kedatangan seorang pelancong laki-laki muda dari Malaysia. Ia bercerita kepada pelancong itu bahwa Desa Hakuba sedang berupaya mengembangkan wisata ramah muslim. Mereka pun bertukar pandangan tentang bisnis wisata yang moderat.
Tamu Malaysia itu menyarankan fasilitas yang disediakan para pelaku wisata untuk pelancong bukan hanya makanan halal, tapi juga kebutuhan ibadah. Karena sulit mencari peralatan ibadah muslim di Nagano, Sato meminta tolong turis asal Malaysia yang kini menjadi sahabatnya itu mengirimkan beberapa mukena dan sajadah dari negaranya.
Tak lama berselang, setelah turis Malaysia itu pulang, tiga mukena dan tujuh sajadah tiba di Hakuba. Hingga kini Sato menyimpan perlengkapan salat berian tersebut. Dia meminjamkannya secara bergilir kepada 70 anggota asosiasi pariwisata di Hakuba jika koleganya menerima tamu turis muslim.
Sato bersama tiga kawan anggota asosiasinya juga rutin mengikuti seminar wisata berkonsep halal yang digelar di Tokyo atau kota lain di Jepang untuk menambah atau memperbaiki layanan. Dia bahkan melakukan studi banding sampai ke Malaysia.
Meski Nagano tak punya fasilitas publik khusus untuk wisatawan muslim, seperti musala atau restoran halal, setidaknya penginapan-penginapan di daerah itu telah lebih siap menyediakan dan mengolah makanan halal sampai menyiapkan tempat wudu dan salat.
Tahun demi tahun, Nagano tumbuh menjadi daerah wisata yang kian moderat. Dipromosikan dari mulut ke mulut sebagai tempat wisata yang ramah turis asing, termasuk wisatawan muslim, Nagano pun populer sebagai pusat ski.
Nagano telah menyaingi Yuzawa di Prefektur Niigata—prefektur dengan resor ski terbesar di Jepang. Para turis melancong pada saat musim dingin untuk bermain di atas tumpukan salju yang mengeras di desa yang punya ikon kuda putih bersayap itu.
Jumlah resor ski di desa di Nagano bertambah banyak. Sato mengatakan kini ada lebih dari lima resor ski di desanya yang tersebar di empat distrik. Dua di antaranya di bawah naungan Distrik Goryu, bernama Hakuba Goryu Ski Resort dan Hakuba 47 Ski Resort.
Dalam berbagai pameran dan acara pariwisata, Sato bersama anggota asosiasi pariwisata di daerahnya mulai percaya diri mempromosikan Nagano. Lulusan salah satu universitas negeri di Jepang ini menginginkan Nagano kelak menjadi destinasi utama turis-turis mancanegara, termasuk wisatawan muslim.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo