Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sebagian sejarawan berpendapat bahwa pusat Sriwijaya berada di Muaro Jambi.
Waktu terbaik berkunjung ke Muaro Jambi bukan pada puncak musim hujan.
Kota tua Muara Sabak adalah pelabuhan penting yang terlupa.
ALKISAH, pada 671 Masehi, seorang peziarah Cina bernama I-Tsing berlayar naik kapal Persia dari Pelabuhan Canton ke Nalanda, India. Berbeda dengan Xuanzang, rekan senegaranya, I-Tsing berangkat bukan melalui Jalur Sutra karena jalur darat tersebut mulai mengalami sejumlah krisis. Produksi ulat sutra Byzantium meningkat sejak 551 Masehi sehingga permintaan sutra Cina turun drastis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain itu, titik penting Jalur Sutra, yakni Asia Tengah, kerap dilanda peperangan antara wangsa Tang Cina, Arab, Tibet, dan Turki Timur, sehingga membahayakan perjalanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Maka pedagang dan peziarah Cina yang hendak ke India harus berlayar ke selatan melalui sisi timur Pulau Sumatera. Dalam pelayaran itulah I-Tsing tiba di sebuah tempat kontemplatif di tepian Sungai Batanghari milik Kedatuan Sribhoga (Sriwijaya) atau disebut juga San-fo-ts’i. Tempat itu kini dikenal sebagai kompleks Candi Muaro Jambi.
I-Tsing bukan sekadar singgah—enam bulan saat berangkat dan beberapa tahun saat pulang—tapi ia belajar agama Buddha dan mencatat. Catatannya menjadi rujukan yang tak lekang. Boleh dikata I-Tsing sejarawan pertama jalur laut yang tak kalah berbahaya itu.
Elizabeth D. Inandiak, peneliti asal Prancis—sebelumnya dikenal lewat Serat Centini—menorehkan intisari cerita di atas dengan amat indah di halaman awal bukunya, Dreams from The Goilden Island atau Mimpi-mimpi dari Pulau Emas (2018). Buku empat bahasa (Indonesia, Cina, Inggris, dan Prancis) ini dihiasi ilustrasi ciamik oleh Heri Dono, dkk. Saya beruntung diberi langsung oleh Inandiak, dan itu mendorong saya melawat ke sana.
***
Salah satu kompleks bekas asrama di Astano. Raudal T Banua
BEGITULAH, pada akhir Februari lalu, dalam musim hujan, saya berangkat menuju Jambi melalui jalan Lintas Timur Sumatera. Saya bertolak dari Air Molek, sebuah kota kecil dekat perbatasan Riau-Jambi. Saya naik ototravel dan menjadi penumpang satu-satunya. Sopirnya, orang Balige, bercerita terus sambil diiringi lagu-lagu Batak yang menyayat hati.
Di antara naik-turun kontur jalan dan laju truk-truk besar, pikiran saya mengawang ke tempat tujuan. Sebagian sejarawan berpendapat bahwa pusat Sriwijaya berada di Muaro Jambi. Namun sebagian lain menabalkan Palembang, hanya saja pusat pendidikan agama Buddha dipercaya tetap di Muaro Jambi sekarang. Ibaratnya Palembang ibu kota negara, Muaro Jambi pusat pendidikan. Mungkin seperti Jakarta dan Yogyakarta kini.
Menarik pula membayangkan jalur pelayaran I-Tsing untuk mencapai Candi Muaro Jambi. Selain menempuh jalur laut, ia harus melalui jalur sungai. Tepatnya dari Muara Sabak di Muara Batanghari menuju kompleks candi di bagian agak ke hulu. Jaraknya memang relatif pendek, sekitar 1.960 km saja. Namun itulah jalan utama ke pusat pendidikan agama Buddha terbesar di Asia Tenggara itu.
Dari tepian Batanghari, melalui kanal-kanal berliku dan bersimpang, para peziarah akan masuk ke gerbang-gerbang candi di kawasan yang luas. Berabad kemudian kanal-kanal itu tertutup rumput dan gelagah, sebagian berubah jadi rawa-rawa. Jalan raya lalu menggantikan jalur air sebagai penghubung ke kompleks candi.
Saya sendiri berangkat dari tempat menginap di Mendalo, Kota Jambi. Saya dibonceng sepeda motor oleh Dwi Rahariyoso, staf pengajar di Universitas Jambi dan pengasuh Komunitas Makara Dwipa, tempat saya sempat mengisi workshop menulis cerpen.
Kami menempuh jalan alternatif menyisir tepian Batanghari yang sedang banjir. Air meluap ke kebun dan rumah penduduk. Tapi karena masih banyak rumah panggung, air hanya merendam tiang-tiangnya. Genangan air kuning keruh itu dimanfaatkan warga untuk mencari ikan. Mereka memasang jala dan tangguk. Kami sempat singgah melihat aktivitas mereka.
Perusahaan batu bara memanfaatkan luapan air Batanghari untuk mengoperasikan kapal tongkang. Menurut Dwi, ini masa masyarakat Jambi terbebas dari “teror” truk-truk batu bara. Namun, bila air surut, kapal tongkang akan sandar, tak mau ambil risiko kandas. Saat itulah truk batu bara, juga truk sawit, memenuhi jalan raya dan mengepulkan debu ke kampung-kampung yang dilaluinya.
“Pemda menyusun aturan kapan truk boleh jalan dan jalur mana saja yang boleh dilewati,” kata Dwi. “Tapi dengar-dengar, aturan itu bakal dianulir, maklum batu bara dan sawit sedang menjadi primadona di Jambi,” buru-buru Dwi menambahkan.
Ah, andai saja Batanghari dijaga dari kerusakan hutan dan tambang emas di hulu, tentu ia akan menjadi urat nadi transportasi air yang dapat diandalkan. Dalam arti tak bergantung pada musim. Sambil berandai demikian, hidung saya menghirup aroma menyengat. Ternyata kami sedang melewati gudang-gudang karet, sisa kejayaan komoditas emas putih di Sumatera yang kini berganti emas merah (sawit) dan emas hitam (batu bara).
Setelah melintasi sebuah jembatan baja di atas Batanghari, kami melewati luasan kebun pinang dan pohon duku sedang berbuah. Menurut Dwi, produksi duku daerah ini melimpah, tapi Palembang dapat nama. Sebagaimana empek-empek, sebenarnya Jambi juga punya, malah ada yang dari singkong segala, hanya kurang dikenal.
“Wah, ini persis Sriwijaya, identik dengan Sungai Musi, Palembang, padahal situsnya bertebaran di sepanjang Batanghari,” saya beranalogi dan dibenarkan oleh Dwi.
Di bagian lain, air meluap ke kebun sawit dan melalui sungai-sungai kecil ikut merendam kompleks candi. Untunglah jalan raya tak ikut terendam. Menurut Dwi, sejak Candi Muaro Jambi ramai dikunjungi, termasuk oleh Presiden Joko Widodo, jalannya diperbaiki.
***
Halaman Candi Astano. Raudal T Banua
CANDI pertama yang kami jumpai adalah Candi Astano, yang artinya Istana. Mungkin semacam rektorat salah satu universitas atau pesantren tertua di dunia itu. Pintu masuknya melalui sebuah jembatan kecil di tepi pintu air. Karena air sedang meluap, jalan di sekitar jembatan itu juga ikut terendam. Kami harus meniti sebuah titian kayu menuju gerbang candi.
Selepas melewati gerbang, saya disambut pemandangan menakjubkan. Pagar bata merah berpuluh-puluh meter mengular di sekeliling candi. Dua bangunan berundak mencuat elegan di hamparan rumput hijau dan sisa reruntuhan. Keduanya berhadapan. Sekilas tampak sederhana, tanpa aksesori. Satu berupa panggung berkaki lebar ke bawah, seolah-olah piramida terpotong di tengah. Satu lainnya berupa segi empat dengan gerbang besar bertangga.
Itulah bangunan utama Candi Astano. Meski tampak sederhana, tapi menyimbolkan kesederhanaan laku-batin para guru spiritual, seperti Borobudur makin ke atas semakin minimalis. Warna merah batu bata mengingatkan saya pada Candi Muara Takus di Kampar, Riau. Menurut catatan sejarah, Candi Muaro Jambi dan Candi Muara Takus memang punya hubungan. Keduanya pusat peribadatan dan studi agama Buddha milik Kedatuan Sriwijaya.
Tak kalah menggetarkan adalah aneka jenis tanaman khas Sumatera dengan tajuk meninggi dan tua, yang beberapa di antaranya jenis langka, seperti meranti dan sialang. Ada juga pohon buah-buahan seperti duku dan durian. Di antara itu, perempuan-perempuan bertopi lebar lewat membawa buntalan karung ke luar pagar.
Kami bertemu dengan penjaga dan petugas kebersihan candi. Dari mereka saya tahu bahwa buntalan itu adalah sampah dedaunan. Dwi langsung akrab dengan sang petugas keamanan. Saya sendiri diajak Pak Mursaliman, petugas kebersihan, berkeliling. Dia menunjukkan hasil kerjanya hari itu berupa pembersihan lumut di dinding candi. Ukurannya seluas tampah. Dalam sehari ia bisa membersihkan area berukuran 6 x 6 meter. Wajar, karena ia kerjakan manual menggunakan sikat, dengan pelan dan hati-hati.
“Berbeda dengan candi di Jawa yang terbuat dari batu, musim hujan begini tak berlumut. Di sini, bahannya batu bata, maka lumut dan rerumputan ikut tumbuh,” katanya. Tak terbayangkan butuh berapa lama bisa membersihkan dinding candi seluas itu.
Saya bertanya kepada Pak Mursaliman nama-nama pohon di sekeliling candi, dan ia fasih menjelaskan. Untuk pertama kali saya melihat pohon sialang dari dekat. Pohon itu biasanya dihinggapi lebah madu. Di gerumbul akarnya menumpuk batu-batu sisa ekskavasi.
“Banyak situs belum tergali,” Pak Mur menunjuk gundukan tanah tertutup rumput yang lazim disebut menapo. Ia pun membawa saya ke samping candi melihat sebuah umpak batu berbentuk cendawan. Di ujungnya mencuat sepotong besi.
“Ini batu kalacakra, penunjuk waktu berdasarkan titik jatuh sinar matahari. Dulu, sebelum tahu fungsinya, warga mengasah parang di sini saat ke kebun,” katanya tersenyum.
Batu Kalacakra penunjuk waktu. Raudal T Banua
Kompleks Candi Astano sangat luas, dibagi oleh bentangan pagar yang membentuk kompleks-kompleks kecil. Semacam kompleks pesantren yang membagi ruang berdasarkan fungsi, seperti pusat pengajaran dan asrama. Pembagian ruang itu sudah sangat modern, terkesan penuh perencanaan.
Nun di kejauhan saya melihat gerbang besar menjulang dengan tangga bebatuan.
“Itu gerbang ke mana, Pak?” saya bertanya.
Petugas yang ramah itu menjelaskan bahwa itulah sebenarnya gerbang utama Candi Astano. Bagian itu menghadap langsung Sungai Batanghari dengan kanal-kanalnya.
“Artinya saya masuk dari pintu belakang?”
“Iya. Sejak kanal-kanal tertutup dan jalan raya menggantikannya, maka yang dulu pintu depan berubah jadi pintu belakang!”
Penasaran, saya melangkah ke gerbang itu. Kedua sisinya ditempati sepasang patung penjaga. “Ini patung Dwarapala, patung penolak bala bersenjata tameng dan gada,” Pak Mursaliman menjelaskan. Sementara pada candi-candi lain Dwarapala berwajah galak, di Candi Muaro Jambi wajahnya tersenyum ramah. Lagi-lagi mengingatkan saya pada tingkat spiritual tertentu. Dari atas tangga gerbang, saya melihat bekas-bekas kanal bersilangan.
***
Deretan stupa di Candi Gumpung. Raudal T Banua
SELANJUTNYA kami beralih ke Candi Gumpung, yang berjarak sekitar 2,5 km dari Candi Astano. Kompleks situs purbakala Muaro Jambi ini memiliki luas 3.981 hektare, punya 86 tapak candi, dan baru 12 titik yang diekskavasi. Sisanya masih terkubur atau berupa menapo (gundukan) dan perwara (bangunan pendamping).
Setiap kompleks punya lebih dari satu candi. Kompleks Candi Gumpang, misalnya, terdiri atas Candi Gumpang I dan Gumpang II, Candi Tinggi I dan Tinggi II, serta Candi Kembar Ratu. Selain itu, ada tiga menapo yang masih belum disentuh. Belum lagi tinggalan lain berupa Telago Raja dan kanal-kanal air yang tak pernah kering.
Pengelola candi memadukan tinggalan itu dengan fasilitas modern, disesuaikan dengan latar candi. Mulai jembatan, pos jaga, dermaga, kantor, hingga jalan kayu menuju telaga. Semua dibuat bernuansa klasik. Tak kalah menarik ada jalur hening (quiet route) yang menyempal dari jalur utama (main route).
Sesuai dengan namanya, jalur ini menyuguhkan vibes keheningan. Bayangkanlah, berjalan di setapak bebatuan, di bawah pohon-pohon tua, semua begitu akrab membuat hati lindap dalam atmosfer kontemplatif. Desir angin dan suara burung-burung justru mempertegas keheningan.
Saya susuri jalur hening sambil memandang gugusan candi. Mulai Candi Gumpang I, selintas mirip Candi Astano, hanya lebih kecil; Candi Gumpang II yang terbentang rendah, Candi Tinggi yang penuh ornamen dan deretan stupa yang amat eksotik dekat gerbang candi.
Sesekali saya duduk di bangku dan kata-kata puitik melambai di kepalaku. Alangkah “mewahnya” jika suatu saat dapat duduk lebih lama dalam layah cahaya pagi. Sembari mendengar burung-burung berkicau, tangan menulis puisi berteman secangkir kopi. Ah!
Tiba-tiba saya tersentak. Di depan saya, lima siswa memotret dan mencatat perihal candi. Dari percakapan kami, saya tahu mereka sedang membuat tugas sekolah.
Setelah melipir ke Talago Rajo menempuh jalan kayu yang rapi, saya kembali ke tempat Dwi menunggu. Ia asyik berbincang dengan seorang petugas candi dengan topi bertulisan “Sekolah Lapangan Muaro Jambi 2022”. Dan ketika saya ikut berbincang, si petugas menanyakan daerah asal saya. Maklum logat saya bukan Yogya. Saya bilang dari Padang, dan ternyata kami sama-sama alumni SMAN I Painan.
“Buyung Padang,” demikian ia mengenalkan nama. Ia mengajak kami mampir ke rumahnya, persis dekat pangkal jembatan candi. Istrinya, yang sedang menjaga warung, menghidangkan kami minuman dan sekeranjang buah duku yang manis.
“Desa ini bernama Muaro Jambi. Nama kabupaten dan nama kompleks candi diambil dari nama desa ini. Dulu, sebelum jembatan dibangun, kami ke kota harus naik perahu. Ambo perantau sejak 1990-an, kini jadi warga sini,” katanya.
Sebenarnya ada sejumlah lokasi candi lain yang akan saya kunjungi. Namun, di samping keterbatasan waktu, menurut Uda Buyung, candi-candi itu tak bisa dikunjungi dalam keadaan banjir begini. Lokasinya terendam. Karena itu ia menyarankan, "Waktu terbaik berkunjung bukan pada puncak musim hujan.”
***
Dermaga Muara Sabak. Raudal T Banua
I-Tsing masuk ke Candi Muaro Jambi melalui Muara Sabak atau Zabaq di kuala Sungai Batanghari. Bandar besar itu menghadap Selat Berhala dan terhubung dengan jalur Selat Malaka. Bahkan sebagian sejarawan menganggap Zabaq yang pernah jaya merupakan ibu kota Sribogha yang sesungguhnya.
Kitab Perjalanan Pedagang Arab Sulaiman menceritakan bahwa, pada abad ke-9, Maharaja Zabaq suka melempar batangan emas ke danau istananya. Saat air surut, emas-emas itu tampak seolah-olah mengapung laksana ikan-ikan mas di atas permukaan danau, demikian Inandiak mengutip karya Ibn Khurdadhbih tersebut.
Apa pun ibu kotanya, Zabaq ataupun Palembang, tetap saja tak tertolak bahwa Candi Muaro Jambi-lah pusat pendidikan dan pengembangan agama Buddha. Itu jaminan kedamaian, terlepas dari hiruk-pikuk ibu kota negara maritim terbesar di muka bumi.
Kini, setelah berabad-abad, saya si pejalan lata mendatangi Candi Muaro Jambi justru dari hulu menuju hilir. Lalu memasuki gerbang-gerbang candinya yang digdaya dari gerbang belakang. Dan tak kalah sungsangnya, ketika selesai berkeliling candi dengan kesan melimpah, saya lanjutkan perjalanan ke Muara Sabak di kuala.
Boleh dikata, Muara Sabak adalah pelabuhan penting yang terlupa. Untung saja dalam era otonomi ia muncul sebagai ibu kota Kabupaten Tanjung Jabung (Tanjab) Timur. Itu hasil pemekaran dari Kabupaten Tanjung Jabung pada 1999 yang beribu kota di Kuala Tungkal.
Perjalanan saya ke Muara Sabak dilanjutkan dengan naik travel. Sesuai dengan kesepakatan, Dwi akan pulang sendirian ke Kota Jambi. Kami mencegat ototravel di sebuah warung makan, sekalian makan siang. Banyak menu warung dari jenis ikan air tawar saya sukai di sini.
Pemukiman kota lama Muara Sabak. Raudal T Banua
Selesai makan, saya kibaskan tangan menyetop ototravel, tapi tak ada yang berhenti. Rata-rata penuh dari Jambi. Seorang tetangga warung mengusulkan supaya saya menumpang pikap kelapa. Sebagai penghasil kelapa, banyak mobil pikap dari Muara Sabak mengantar kelapa ke Kota Jambi. Mereka kembali ke Muara Sabak pada sore hari. Saya sudah oke, tapi tiba-tiba ada sebuah ototravel berhenti. Masih ada tempat kosong ternyata.
Maka berangkatlah saya ke Muara Sabak melalui jalan darat, berkebalikan dengan I-Tsing dan peziarah masa lalu melewati jalan air.
Jarak 60 km Muaro Jambi-Muara Sabak ditempuh sekitar dua jam. Menjelang magrib, sampailah saya di kota tua itu. Namun apa yang disebut kota tua sebenarnya terletak di tepi Sungai Berbak, pecahan muara Batanghari. Di sanalah kota kuno Muara Sabak pernah ada.
Adapun kawasan kota baru dibangun menjauh dari sungai. Khas daerah pemekaran. Ada kantor pemerintahan, pasar, hotel, restoran, dan trotoar di sepanjang jalan utama. Saya menginap di Hotel Ratu, dekat kompleks pemerintahan Tanjab Timur.
Pada malam hari saya berjalan kaki melihat suasana. Sekalian mencari makan malam serta mencari informasi kapal ke Kuala Tungkal—tujuan saya berikutnya. Malam hari, kota kecil itu cukup hidup. Pedagang makanan berderet di sepanjang jalan.
Saat memesan bandrek di sebuah kedai minum, saya bertanya kepada pengunjung lain mengenai kapal ke Kuala Tungkal. Sayang tak ada yang tahu atau menjawab ragu-ragu—bukti makin terasingnya jalur air. Ada yang bilang kapal berangkat dari Nipah Panjang, sebagian bilang dari Kampung Laut. Kedua tempat itu cukup jauh dari Muara Sabak.
Tapi umumnya mereka menyarankan lewat jalur darat saja dengan travel. Itu sama saja memutar dua kali lipat: saya harus kembali ke Kota Jambi dan memutar lagi ke pantai. Akhirnya, ketika makan malam di warung padang, saya dapat kepastian. Pemilik warung “urang awak” asal Indrapura itu menelepon kawannya yang bekerja di pelabuhan.
Ia mengabarkan ada kapal kecil jenis speed boat bertolak tiap pukul tujuh pagi dari pelabuhan kota lama. Jarak pelabuhan dari pusat kota sekitar 10 km. Persoalannya, naik apa saya ke pelabuhan pagi-pagi, sedangkan tak ada taksi maupun kendaraan online?
Persoalan itu pun terjawab ketika resepsionis hotel mengabarkan bahwa mereka punya ojek motor langganan. Ia beri saya nomor telepon tukang ojek itu dan segera saya hubungi, janjian.
Besoknya sehabis subuh, saya dijemput. Kami melewati jalanan sepi yang lurus penuh hutan sagu atau rumbia. Tapi mendadak sepeda motor tak bisa digas! Ternyata ada komponen mesin yang bermasalah. Wah, saya sudah pasrah ketinggalan kapal!
Namun dari kejauhan saya lihat ada sepeda motor tanpa boncengan, dan nekat saya setop. Saya bilang saya mengejar jadwal kapal, sementara ojek tumpangan saya rusak. Orang itu menyuruh saya naik. Setelah membayar ongkos ojek, saya pun berpindah kendaraan. Ternyata orang baik itu seorang tentara yang akan menuju posnya di kota lama.
Demikianlah pada pagi itu saya terhantar di kota tua Muara Sabak. Rumah-rumah kayu berderet diselang-selingi sarang walet, masjid, tanah kosong berupa rawa, anak-anak sungai dengan perahu barang, serta jembatan kecil tempat orang melintas. Buah pinang dalam kantong jala saya lihat banyak tergantung di dinding rumah. Selain kelapa, Muara Sabak rupanya penghasil pinang, komoditas andalan sejak zaman baheula.
Berbeda dengan kampung lamanya yang sesak, Pelabuhan Muara Sabak sangat tertata. Bangku-bangku dan pohon perindang berderet di sepanjang tepian hingga dermaga. Di ruang tunggu ada barang teronggok, tapi saya tak melihat kapal dan penumpangnya. Seorang bapak yang sedang jalan pagi bilang kapalnya baru dijemput dan penumpang belum lagi datang.
Jadwal keberangkatan ternyata pukul delapan. Waktu tunggu saya gunakan untuk menyusuri lorong-lorong kota, hingga saya terhantar ke pasar pagi. Saya singgah di kedai kuliner sambil mendengar orang bercakap-cakap dengan logat Melayu Jambi yang khas berbaur dengan bahasa Bugis. Orang Bugis bersama orang Banjar memang sudah lama bermukim di sepanjang pantai timur Sumatera, dari Tembilahan, Kuala Tungkal, Sabak, hingga Nipah Panjang.
Bersama semua itu, saya mengenang Zabaq dahulu sebagai pelabuhan segala bangsa. Hal yang memungkinkan kompleks Candi Muaro Jambi terjaga damai di hulu. Sabbe satta bhavantu sukhitatta; semoga semua makhluk berbahagia! ***
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Rubrik Perjalanan terbit setiap dua pekan. Kirim tulisan perjalanan Anda ke surat-e [email protected] dan cc ke [email protected]. Tulisan memakai teknik bertutur yang mengeksplorasi pengalaman personal dilengkapi data pendukung dan foto. Artikel setidaknya terbagi dua: satu tulisan utama dengan panjang maksimal 13.000 karakter dengan spasi dan satu tulisan pendukung maksimal 2.000 karakter dengan spasi. Jika masih ada tema unik terkait perjalanan bisa juga dipisah menjadi tulisan ketiga sepanjang maksimal 5.000 karakter dengan spasi. Lampirkan foto penulis, alamat, dan kontak.