Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kearifan lokal dalam bentuk budaya maupun arsitektur bangunan di sebuah tempat wisata memang tak boleh diabaikan dalam membangun pariwisata. Jika penduduk di destinasi wisata memiliki rumah dengan arsitektur tertentu, maka sebaiknya homestay atau penginapan untuk wisatawan mengadaptasi bentuk yang sama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Tim Percepatan Pengembangan Homestay Desa Wisata Kementerian Pariwisata, Anneke Prasyanti mengatakan telah mengingatkan perihal ini kepada pelaku pariwisata di daerah. Berdasarkan pengamatannya di Lombok yang beberapa waktu lalu terkena bencana gempa, semua rumah yang menerapkan arsitektur asli Indonesia sudah tahan gempa.
"Teman-teman di Lombok sudah paham itu. Rumah yang asli terbuat dari papan itu aman, sedangkan rumah yang terbuat dari tembok atau batako roboh," kata Anneke di Jakarta, Rabu 10 Juli 2019. Dinding rumah yang roboh mengakibatkan 560 orang meninggal karena tertimpa batu bata.
Sebab itu, Anneke melanjutkan, pembangunan sarana pariwisata harus memperhatikan dan mengangkat kearifan lokal karena ketahanannya lebih tinggi terhadap gempa. "Kalau rumah panggung dan rumah kayu itu ikut bergoyang bersama gempa. Orang di dalamnya aman. Kayak Lalu Muhammad Zohri itu rumahnya aman, kanan-kirinya hancur karena dia punya rumah kayu. Yang lain pakai bata," ujar Anneke.
Menurut Anneke, arsitektur berkearifan lokal di Indonesia juga merupakan aset terbesar untuk kawasan Asia karena Indonesia merupakan negara yang terdiri dari bermacam-macam suku dan budaya. Kementerian Pariwisata menargetkan pembangunan 10 ribu kamar pondok wisata pada tahun 2019. Saat ini yang sudah teralisasi sebanyak 4.776 kamar di seluruh Indonesia.