Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepedulian terhadap warisan Nusantara berupa tenun semakin menggelora. Di daerah yang menjadi surga tenun, Nusa Tenggara Timur, digelar "Parade 1.001 Sandalwood dan Festival Tenun Ikat". Festival yang digelar di Waikabubak, Sumba Barat, tersebut dimeriahkan oleh sekitar 20 penenun tradisional dan 150 perempuan yang menenun massal. Perayaan yang bersifat tahunan ini sudah kedua kalinya digelar oleh pemerintah daerah NTT.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di luar Sumba, tenun kerap ditampilkan sebagai sripanggung dalam berbagai perhelatan mode bergengsi di Tanah Air. Dalam Jakarta Fashion and Food Festival, misalnya, Cita Tenun Indonesia (CTI) setia menghadirkan pertunjukan mode "Jalinan Lungsi Pakan" yang berkolaborasi dengan berbagai perancang. Pada tahun ini, CTI berkolaborasi dengan Danny Satriadi, Danjyo Hyoji, Rama Dauhan, KLE, Prasetio Nugroho, dan Fiona HD.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dewan pengurus Cita Tenun, Sjamsidar Isa, mengatakan pemilihan enam perancang tersebut bukan tanpa alasan. Dia bertutur bahwa Citra Tenun ingin agar tenun dapat berkibar, menjadi tren masa kini dan dinikmati oleh anak muda saat ini. Empat perancang sudah tak asing lagi namanya di industri mode Tanah Air, sementara Prasetio Nugroho dan Fiona HD merupakan pemenang Next Young Promising Designer 2017 yang digelar tiap tahun oleh Jakarta Fashion and Food Festival
"Mereka adalah perancang favorit generasi muda saat ini dan jarang menangani tenun," kata Sjamsidar. "Ini adalah tantangan bagi mereka. Semua dijebak."
Jebakan CTI berhasil memerangkap Kleting Titis Wigati di bawah label KLE untuk merancang kain tenun Buton, dari Sulawesi Tenggara, yang memiliki corak garis-garis khas. Sepintas kain ini mirip lurik, hanya garisnya lebih lebar dengan warna-warna yang cerah, seperti kuning, ungu, dan pink. Sebelum mengenal mata uang modern, tenun yang kerap disebut kampua ini berfungsi sebagai alat tukar. "The oldest currency," kata dia.
Kleting memberi nama "La Striscia, A Vibrant Currency" untuk koleksi busana siap pakai yang bergaya kasual dan semi-formal dengan kesan ultra-feminin ini. "Saya bikin desain playful karena warnanya mendukung, tetapi juga tetap formal," kata dia. Dengan demikian, busana rancangannya cocok untuk dipakai ke kantor dan pergi berpesta pada malam hari.
Kesan yang sama muncul dalam busana rancangan Fiona HD yang ditantang mengerjakan tenun Baduy. "Tenun Baduy lebih dari sekadar hitam dan biru. Ini bisa lebih magical dan pada waktu yang sama lebih ceria dan menyenangkan dipakai," kata dia. Fiona menggambarkan keceriaan dalam koleksi Baduy Enchanted lewat kombinasi dengan motif print bunga-bunga. Untuk menggambarkan keceriaan itu, dia tak ragu menggunakan warna-warna cerah, seperti pink, toska, dan abu-abu cerah.
Pendatang baru lainnya, Prasetio Nugroho, dijebak menggunakan tenun Endek Bali untuk diolah menjadi busana modern. "Saya kombinasikan bahan seperti chiffon, katun, polyester untuk menciptakan Nareswari yang bergaya futuristik," kata dia. Prasetio menciptakan busana oversize dengan paduan warna merah, biru, hitam, emas, dan perak. Busana ini membuat tenun Bali terlihat apik digunakan di luar acara keagamaan di Bali.
Perancang ternama Rama Dauhan kebagian mengolah tenun Jepara yang sudah hampir punah dalam koleksi Sawala yang berarti menolak. Meski menggunakan tenun, Rama tidak kehilangan ciri khasnya. Dia menghadirkan jaket bomber, aneka luaran dengan volume besar, celana Capri, rok lebar, lengkap dengan detail kantung kargo, dan hoodie. Hasilnya, tenun berganti rupa menjadi busana sporty yang sangat muda. "Ini sangat muda, sangat Indonesia," kata dia.
Kesan sporty nan kasual juga tampak dalam rancangan Danjyo Hyoji yang mengangkat tema "Fragmen". "Ciri khas kami sangat Jepang. Jadi, tantangannya adalah merancang menggunakan tenun tanpa menghilangkan jati diri ini," kata Dana Maulana. Di bawah label ini, dia merancang busana pria menggunakan tenun Cual dan Songket Sambas yang didominasi warna biru laut.
Danny Satriadi tak ketinggalan meramaikan episode ini dengan menampilkan Lestari yang diciptakan dari tenun Lombok. "Saya memadukannya dengan taffeta, shantung, organza, dan tulle, dengan styling Edwardian," kata dia. Di tangannya, tenun Sumba menjadi busana para putri raja yang kerap mampir dalam imajinasi anak-anak. DINI PRAMITA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo