Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mardiyah
Wartawan Tempo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seribu menara menjulang di langit. Masjid, gereja, istana, stasiun kereta, museum, semua dilengkapi menara berkaca patri beraneka warna. Istanbul tak ubahnya seperti burung merak yang berjalan anggun sambil pamer bulu. Cantik. Penuh warna.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siang itu, saya berdiri di Eminonu, dermaga feri paling sibuk di Istanbul. Adam Bordag, lelaki yang saya temui di kedai kopi Eminonu, bertanya sambil menunjuk Selat Bosphorus, "Anda sudah mengunjungi tanah tempat Anda berakar?" Saya agak bingung, akar mana yang dia maksudkan? "Asia, itu kan akar Anda," katanya. Ooo, baiklah, berbekal penasaran, saya segera menyinggahi sang akar.
Bosphorus membelah Istanbul menjadi dua. Di satu sisi adalah kawasan Eropa, yang dibangun berbilang abad sebelum Masehi. Lalu di seberangnya adalah daratan Asia yang berkembang sejak Kaisar Ottoman menaklukkan Byzantium pada abad ke-15.
Penuh semangat saya menumpang feri menyusuri Selat Bosphorus, cuma membayar tiket 12 lira (tak sampai Rp 50 ribu). Selat ini pernah menjadi nadi penting bagi rantai perdagangan Jalur Sutra, pada abad-abad permulaan Masehi. Inilah perairan yang memungkinkan rempah dari Nusantara, teh dan sutra dari Cina, bertukar dengan karpet dan keramik dari Turki atau marmer terbaik dari Italia.
Bosphorus terus berderap. Sampai kini. Orang-orang Turki juga menggunakan selat ini sebagai transportasi. Dalam satu rute perjalanan, feri bisa singgah di 15 dermaga, seperti halte bus kota. "Rumah saya di dekat sini," kata Ameena, seorang penumpang. Dia turun di dermaga Pasa Limani, sambil menenteng pot bunga mawar.
Sinar terik matahari, angin laut, burung camar, membuat Bosphorus seperti rayuan memukau. Saya mencicip segelas teh Turki yang diedarkan petugas. Pahit. Setelah ditambah dua kubus gula, barulah teh panas itu terasa nikmat dan membikin komplet suasana Bosphorus. Perairan menjadi saksi ratusan pertempuran epik. Kaisar demi kaisar, sejak zaman Romawi pada abad kelima Sebelum Masehi, Byzantium (abad ke-4 sampai 14), hingga Kaisar Ottoman pada abad ke-15, semuanya berebut kejayaan di perairan ini.
Di Dermaga Uskudar, kawasan Asia yang cukup padat, saya turun. Berjalan kaki di Uskudar, juga di Kadikoy, entah kenapa terasa lebih nyaman. Mungkin karena di sini jarang ada yang mengeluarkan jurus rayuan secara agresif. Di Sultanahmet, jantung wisata di kawasan Eropa, Anda bisa saja dihampiri seorang lelaki tampan membawa sekuntum mawar. "You are extraordinary beautiful. Where are you from?" Jangan ge-er, karena tak lama kemudian dia akan mengulurkan setumpuk brosur paket tur. "Mau ke gunung, pantai, atau rileks di rumah gua? Terbang dengan balon udara di Cappadocia, pasti menjadi pengalaman tak terlupakan," katanya berapi-api.
Memang harus diakui, kawasan Asia tidak serapi tetangganya di kawasan Eropa. Mobil dan bus menerabas lampu merah, taman kota kurang terurus. Namun, kedai kopi, restoran, dan Turkish bath (tempat mandi tradisional khas Turki) di kawasan Asia lebih orisinal. Di Kadikoy, jalanan tampil cantik dengan berbagai restoran yang asyik. Pasar ikan lebih semarak. Roti hangat yang baru keluar dari oven, diisi ikan mackerel segar yang dipanggang dan daun seledri, bisa kita dapat dengan 4 lira atau sekitar Rp 12 ribu.
Bagi Turki, Asia dan Eropa bukan sekadar teritori yang dipisahkan Selat Bosphorus. Pertemuan dua benua ini menghasilkan keberagaman yang luar biasa. Asia yang konservatif berpadu dengan Eropa yang modernis. Tarik-ulur keduanya berlangsung dinamis sepanjang sejarah. Seperti digambarkan Orhan Pamuk dalam My Name Is Red, para pelukis istana pada masa Kekaisaran Ottoman bergulat dalam kebimbangan: melukis bebas dengan gaya Eropa atau patuh pada ajaran Islam yang tak membolehkan lukisan makhluk hidup yang realistis. Sebuah pergulatan yang bisa berdampak mematikan pada masa itu.
Sejarah kontemporer Turki juga tak lepas dari pergulatan identitas ini. Salah satu puncaknya adalah pada masa Mustafa Kemal Attaturk, Presiden Turki pertama, 1934, yang mencabut sistem Islam dan menggantinya dengan sistem Barat. Pendulum kemudian bergerak ke kanan dengan tumbuhnya Islam konservatif yang dipimpin Presiden Erdogan, sejak 2014.
Dua puluh hari menyusuri Turki, Istanbul-Cappadocia-Pamukkale-Kusadasi-Ephesus, saya juga mencicip tarik-ulur identitas itu. Mungkin juga karena saya terpengaruh oleh novel-novel Pamuk. Saya memang menjelajah Turki dengan berbekal sudut pandang karya Pamuk, khususnya My Name Is Red, Istanbul-Memories of A City, Red Haired Woman, dan Museum of Innocence.
Saya menginap di hotel kecil di Cihangir, tak jauh dari Museum of Innocence, Istanbul. Ini museum kecil saja, bukan bangunan gigantis seperti gedung-gedung lain di Turki. Di sini, pengunjung diajak menyaksikan hampir 200 kotak yang berisi visualisasi adegan novel. Pamuk mengantarkan perjalanan pengunjung melalui narasi, menjelaskan makna kotak demi kotak.
Buat saya, yang menarik adalah Pamuk menambahkan informasi konteks realitas di museum itu. Kalangan elite Turki, 1970-an, setting percintaan pasangan dalam novel-Fusun dan Kamal Basmaci-juga mengalami pergulatan identitas. Di sebuah kotak terpampang foto deretan wajah perempuan yang matanya ditutup warna hitam, seperti pelaku kriminal atau korban pemerkosaan. Rupanya, gadis yang berhubungan seksual sebelum menikah dikenai sanksi sosial yang berat. Ayah-ayah yang murka memasang foto wajah anak gadis mereka dengan mata ditutup hitam di koran lokal. Wah. Celaka betul buat si gadis.
Setelah menikmati Museum of Innocence yang muram, saya naik trem menyusuri Sultanahmed, mencari suasana yang lebih cerah. Pergulatan identitas masih terus berlangsung di Turki masa kini, tapi dengan irama yang lebih rileks dan menyenangkan.
Sore di bulan Ramadan itu, banyak orang berbondong menuju Masjid Biru. Mereka berkelompok, ayah, ibu, kakek, paman, juga anak-anak, membawa bekal makanan. Sejak pukul 4 sore mereka duduk di taman di halaman masjid. Ketika azan asar dan magrib berkumandang, tak banyak yang beranjak salat ke masjid. Sebagian besar tetap bercengkerama di taman, tak sedikit yang asyik makan kacang walnut bakar dan jagung rebus. Pukul 08.20 malam, saat berbuka datang. Adzan bergema. "Come here, we are family," kata mereka menyapa saya, menawarkan buka puasa bersama dengan bekal kebab yang dibawa dari rumah.
Istanbul memang penuh warna. Namira, perempuan muda di sebuah kafe di Beyoglu, bercerita. "Saya berhijab. Tapi bukan berarti saya konservatif," katanya. Gadis lulusan Universitas Turki ini juga gemar berdansa, main musik, pacaran, dan sesekali minum bir atau wine. "Saya yakin, 80 persen orang Turki tidak religius, setidaknya bukan seperti yang dicitrakan Erdogan," katanya.
Lelaki Turki yang saya jumpai pun seperti Namira, membawa paduan modern dan religius yang rileks. Jas, vest, celana dengan jahitan rapi jali menemani penampilan mereka. Sepatu bot kulit disemir rapi. Rambutnya rapi hasil trimming di barber shop saban minggu tanpa absen. Seutas tasbih terselip di jarinya. Saya bertanya, "Anda berdoa apa dengan tasbih itu?" Dengan tergelak dia menjawab, "Ha-ha, Nona, ini cuma seperti gantungan kunci saja. Saya putar-putar saja," katanya. Lalu, dia mencium tangan saya, "Anda harus lebih banyak mengenal pria Turki." Matanya yang serupa warna biji almond meredup. Hadeuh.
Suatu malam saya menyaksikan pentas tari darwis, tarian sufi, yang hikmat dan khusyuk. Jangankan memotret, beranjak ke toilet pun tak boleh. Semua harus khusyuk menyaksikan para darwis berputar, berputar, dan berputar dengan kostum yang khas. Lalu, 30 menit kemudian, di panggung yang sama muncul perempuan dan laki-laki berkostum ketat. Mereka menampilkan tari perut, tarian perang, juga tarian kolosal di tengah padang pasir. Seksi? Tentu saja.
Di ujung perjalanan, Idul Fitri datang. Sepanjang hari orang-orang menyemut di Lapangan Taksim. Di sebuah sudut lapangan, anak-anak muda berjoget bersama. Ada yang berhijab, berbaju tank top, menari mengiringi nyanyian dan tabuhan perkusi, pada malam Idul Fitri. Ratusan orang yang lalu-lalang di Taksim mampir turut berjoget. Semuanya riang. "Hadi dans edelim," kata Ibrahim sambil mengetikkan perkataannya di Google Translate telepon seluler. Ah, rupaya dia mengajak saya menari.
Sejauh yang saya saksikan, pergulatan identitas di Turki jauh dari suasana menegangkan. Semuanya rileks, riang, dan saling menghargai, setidaknya itu yang saya tangkap. "Iya bayramlar. Happy Eid Mubarrak," kata Ibrahim, menutup perjumpaan pada malam itu. Sungguh negeri yang penuh warna, seperti burung merak dan pendaran warna-warni bulunya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo