Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Pangkah

Jika memang terbang, teruslah terbang. Tak ada yang mampu menahan atau mendorong jiwamu. Jiwamu adalah burung elang yang terbang tinggi. Burung elang yang dicintai matahari.

4 Agustus 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mardi Luhung
I
Jika memang terbang, teruslah terbang. Tak ada
yang mampu menahan atau mendorong jiwamu.
Jiwamu adalah burung elang yang terbang tinggi.
Burung elang yang dicintai matahari. Matahari
yang tak putus-putus bersinar. Mengingatkan
pada apa-apa yang telah dijanjikan di awal-waktu.
Ketika dengan garis tebal kau katakan: "Aku
milik-Nya, aku milik-Nya. Tak ada alasan yang
lain." (Sungguh, dulu kau datang telanjang,
maka nanti, ketika pergi pun mesti telanjang.) (1
II
Kata burung elang: "Jiwa yang terbakar, jangan
memadam,(2 sebab kau bukanlah abu-debu dunia."
III
Burung pipit: "Bagaimana rasanya terbang tinggi?"
Burung elang: "Rasa itu tak dapat aku ceritakan
padamu. Karena terbangmu hanya di sela reranting." (3
Burung pipit: "Bagaimana jika cerita itu aku beli?"
Burung elang: "Kau tak mungkin mampu membeli.
Karena ini bukan urusan koin emas atau perak."
IV
Burung elang melewati bebintang. Juga bongkahan
gelap. Tempat si penyelinap (4 mengerutkan tubuhnya.
Ketika dilempari kutuk oleh si cahaya: "Jangan kau
kuping apa yang tak pernah diamanatkan untukmu!"
V
"Jika memang ingin dilupakan, kenapa selalu saja
berkirim kabar. Arah memang tak bernalar. Apalagi
antara pengarah dan yang diarah telah terentang
tali.(5 Tali yang setipis benang dibelah tujuh," tukas
burung elang sambil terus mengepakkan sayapnya.
___________

1. Telanjang: Inilah tubuh itu. Tubuh yang tak
telanjang. Tubuh yang kau angankan masuk
ke lemari kaca sebuah toko. Menjadi boneka.
Boneka anggun. Padahal, ketika toko ditutup,
tubuh itu pun turun. Menari dan menyanyi. Dan
sesekali menengok pada jam di dinding. Sebab,
jika jam menunjuk pukul 3 pagi, tubuh itu mesti
kembali ke lemari kaca. Menjadi boneka lagi.

2. Padam: Maka padamlah lampu. Gelaplah
kamar. Semua yang ada menahan napas.
Meraba apa yang bisa diraba. Agar segera
ditemukan pintu keluar. Dan ketika pintu
keluar ditemukan. Dibuka. Yang ketemu
malah kamar yang lain. Yang juga gelap.
"Semestinya yang dicari adalah saklar,"
begitu kata seorang dari sudut yang entah.

3. Ranting: Ranting mengusung buah. Dan
buah memanggil ranting sebagai saudara
tua. Tapi ketika buah dipetik. Ranting pun
tinggal sendiri. Sampai suatu ketika ranting
tanggal. Jatuh ke tanah. Membusuk. Jadi
humus. Humus yang membesarkan pohon
baru. Pohon yang ketika dipandang, mirip
menara bercabang yang berdenyut-denyut.

4. Penyelinap: Pernahkah kau merasa, ketika
beranjak tidur, ada yang menyelinap ke kolong
ranjang. Dan ketika kau melongok, ternyata
kosong. Lalu ketika membuka selimut, kau pun
kembali merasa ada yang menelusup ke keliman
selimut. Pernahkah, dan pernahkah? Jika belum,
bahagialah, sebab diam-diam kau telah dijaga.

5. Tali: Salah satu kata yang tertua yakni tali.
Dan kata ini pernah dihapal oleh si pertama,
ketika mesti merajut titian agar segera turun
ke bumi. Dan kata ini pula, yang diajarkan
si burung kepada si pencemburu-awal. Ketika
mengikat ujung kafan kembarannya (yang telah
dibunuhnya), sebelum dikuburkan pelan-pelan.

(Gresik, 2018)


Julur Sungai
Becerminlah. Dan kau akan tahu, ada sesuatu yang membuatmu kaget. Sesuatu yang berenangan. Sesuatu yang seperti ikan tapi bukan ikan. Cumi-cumi juga bukan. Tapi begitu kau kenal.
Sebab, kau pernah bersamanya di suatu tempat. Tempat yang lentur. Tempat kau pernah belajar mengangankan setapak, rumput, gunung, awan, dan langit. Yang kelak akan menemuimu.
Dalam rupa yang bagus dan terus dibaguskan. Lalu diturunkan ke derajat yang renta. Sambil menukas: "Pada akhirnya, apa yang ada memang dilepas. Seperti pedang yang dilepas oleh sarungnya."
Becerminlah. Dan kau akan tahu, jika pedang yang dilepas oleh sarungnya itu pelan-pelan memasuki dadamu. Seperti masuknya sepucuk kunci ke lubangnya. Kunci yang selalu kau simpan.
Kunci yang ketika diputar, seluruh apa yang telah kau genggam pun berhamburan. Terus menyebar ke punggung sungai. Sungai yang sesekali bangkit. Dan menjulur setinggi-tingginya.

(Gresik, 2018)


Mardi Luhung lahir di Gresik, 5 Maret 1965. Ia adalah peraih anugerah Khatulistiwa Literary Award 210. Cumcum Pergi ke Akhirat (2017) adalah buku puisi terbarunya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus