Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Karnaval Wayang di Tugu Yogyakarta, Keren Banget

ribuan warga ini bertekad untuk melihat langsung kirab wayang yang dibawakan langsung oleh 1400 peserta dari 14 kecamatan di Provinsi Yogyakarta.

19 Oktober 2018 | 11.14 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Dua orang siswi belajar memainkan wayang kulit di Jakarta Intercultural School (JIS) Elementary, Jakarta, 2 November 2017. Para siswa belajar mengenal wayang dan musik gamelan untuk menyambut hari wayang sedunia. Tempo/Ilham Fikri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta -Saya agak lupa persisnya menonton wayang untuk pertama kalinya.Yang saya ingat, waktu itu siaran televisi hanya TVRI, dan wayang dijadikan hiburan pada malam hari, beberapa saat setelah acara Dunia dalam Berita berakhir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebagai perempuan asli Sumatera, pertunjukan wayang yang lambat dan bertele-tele tidak menarik perhatian saya. Terbiasa dengan musik dengan tempo cepat, tarian yang bersemangat, dan suara yang menggelegar, pertunjukan wayang sukses membuat saya mengantuk sebelum waktunya.

Semakin bertambah tua, semakin banyak bertemu beragam jenis manusia, preferensi hiburan yang bisa saya nikmati semakin banyak. Saya bahagia melihat tarian klasik dengan tempo super lambat di pelataran keraton, senang mendengar suara-suara memekik dari kumpulan laki-laki yang menarikan kecak, juga mencintai jaipong-tarian yang dianggap menjual erotisme.

Semakin bertambah tua, menjajal aneka rupa, saya tau setiap tarian/pertunjukan punya usahanya masing-masing untuk dipertontonkan. Satu waktu, saat menetap di Yogyakarta, saya mencoba belajar tari klasik. Sekian kali “mendak” (bentuk dasar kaki yang paling dominan, yaitu posisi lutut kaki ditekuk merendah) dalam satu putaran tarian mampu membuat paha, betis, dan telapak kaki saya gemetar gentar.

Kembali soal wayang, tahukah kamu kalau wayang sudah masuk ke Daftar Warisan Budaya Takbenda UNESCO (UNESCO Intangible Cultural Heritage Lists). Dalam daftar UNESCO itu, selain wayang, dari Indonesia terdaftar pula Keris, Batik, Angklung, Tari Saman, dan Noken.

Wayang terkenal dengan gerakan dan gaya musik yang rumit. Cerita kuno yang berpusat di Pulau Jawa ini berkembang mulai dari istana kerajaan di Jawa dan Bali, hingga serta di daerah pedesaan.

Cerita Wayang meminjam karakter dari mitos asli, epos dan pahlawan India dari kisah-kisah Persia. Dalang  menguasai perbendaharaan cerita yang sangat banyak, dan mampu melafalkan bagian-bagian narasi kuno yang puitis untuk mengugah minat penontonnya. Selain menceritakan kisah klasik, wayang juga kerap digunakan sebagai media kritik sosial.

Jenis-jenis wayang sendiri berdasarkan medianya ada banyak. Lima jenis yang cukup banyak dikenal yaitu Wayang Beber (berbentuk lembaran gambar-gambar yang melukiskan adegan-adegan), Wayang Kulit (berbentuk pipih dan terbuat dari kulit kerbau atau kambing), Wayang Klitik/Karucil (pipih, mirip dengan wayang kulit, namun terbuat dari kayu, bukan kulit), Wayang Golek (menggunakan wayang tiga dimensi yang terbuat dari kayu), dan Wayang Wong/Orang (drama tari yang menggunakan manusia untuk memerankan tokoh-tokohnya).

Pada perayaan puncak Ulang Tahun Kota Yogyakarta ke-262, 7 Oktober 2018 lalu, ribuan manusia tumpah ruah mulai dari Jembatan Gondolayu, Tugu Paal Putih, dan berakhir di Jalan Margo Utomo. Seperti saya, ribuan warga ini bertekad untuk melihat langsung kirab wayang yang dibawakan langsung oleh 1400 peserta dari 14 kecamatan di provinsi Yogyakarta.

Pertunjukan baru mulai pukul 7 malam, tetapi dari siang panitia sudah mulai beres-beres. Pembatas jalan mulai dipasang, alur lalu lintas mulai diatur. Banyak warga yang rela duduk melantai di pinggir jalan, beralaskan paving block, berpayung terik mentari, menanti pagelaran yang hanya muncul satu tahun sekali ini.

Sebelum acara dimulai, saya dan beberapa teman menyempatkan datang ke lokasi persiapan peserta. Gelap masih jauh, tapi mereka sudah siap dengan hiasan wajah dan kostum lengkap. Saya melihat banyak senyum, banyak bangga, dan banyak telepon peserta yang diacungkan tinggi-tinggi untuk mengabadikan momen spesial ini. Saya, yang menonton saja, bahagia sekali. Apalagi mereka, yang jadi bagian dari sejarah.

Setiap kecamatan yang berpartisipasi akan menampilkan lakon wayang yang berbeda. Dari Kecamatan Kotagede ada Rama – Shinta, Kecamatan Danurejan membawa serta Srikandi, Ngampilan membawa Bhisma, Gondokusuman membawa Kunti, Mantrijeron membawa Sugriwo-Subali-Anjani, dan Gondokusuman membawa serta Kresna.

Dari Kecamatan Pakualaman ada Narasoma, dari Wirobrajan ada Suwida, dari Kraton ada Larasati, Gedongtengen menarikan Palguna – Palgunadi, Mergangsan membawa Kumbokarno, Umbulharjo menampilkan Anoman, dan Jetis membawa Togog-Semar Bathara Guru.

Gelap yang turun dari langit semacam aba-aba bagi seluruh warga yang memadati area karnaval. Saya, yang saat itu berprofesi sebagai turis, cukup takjub melihat puluhan ribu warga yang tenang. Tidak ada dorong-dorongan, tidak ada jerit-jeritan. Semua manut, ikut aturan. Meskipun luar biasa ramai, tapi suasana tetap damai.

Acara Wayang Jogja Night Carnival resmi dibuka dengan suara gong yang dibunyikan oleh Gubernur Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X. Izin dari sultan menjadi kode pada iringan karnaval, penari flash mob, dan warga untuk ikut menyerukan sorak-sorai kegembiraan.

Terima kasih untuk semua yang membuat acara ini berlangsung baik, lancar, dan aman. Termasuk untuk bapak-bapak petugas kebersihan yang usai acara masih harus bekerja keras membuat Jogja tetap nyaman dinikmati. Buat saya, Jogja masih, dan tetap istimewa.

Tulisan ini sudah tayang di Atemalem

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus