Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Istana Pagaruyung pernah terbakar hebat 17 tahun lalu, tepatnya pada 27 Februari 2007. Kebakaran ini disebabkan sambaran petir di puncak istana atau gonjong dan menghanguskan sebagian besar dokumen, serta kain-kain hiasan.
Istana Pagaruyung dibangun kembali dan diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Oktober 2013. Istana Pagaruyung merupakan kerajaan yang pernah menguasai seluruh Alam Minangkabau, Sumatera Barat (Sumbar). Bahkan pada masa keemasannya kerajaan ini pernah menguasai seluruh wilayah Sumatera Tengah.
Profil Istana Pagaruyung
Istano Baso Pagaruyung atau lebih dikenal dengan nama Istana Pagaruyung terletak di Kecamatan Tanjung Emas, Kota Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Istana yang menjadi ikon pariwisata Sumatera Barat ini berjarak lebih kurang 5 kilometer dari pusat Kota Batusangkar.
Dikutip dari wonderfulimages.kemenparekraf.go.id, istana yang berdiri sekarang merupakan replika dari yang asli. Istana yang asli terletak di atas bukit Batu Patah, namun dibakar habis pada 1804 oleh kaum Paderi yang kala itu memerangi para bangsawan dan kaum adat. Istana tersebut kemudian didirikan kembali namun kembali terbakar pada 1966.
Pada 27 Desember 1976 upaya rekonstruksi ulang kembali dilakukan dengan ditandai peletakan tunggak tuo (tiang utama) oleh Gubernur Sumatera Barat saat itu Harun Zain. Dikutip dari museum.kemdikbud.go.id, istana ini dibangun kembali di lokasinya yang baru di sisi selatan bangunan asli, yaitu lokasi saat ini. Harun Zain merasa diperlukan warisan yang bisa mempersatukan orang Minang, terutama setelah peristiwa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Dilansir dari eprints2.undip.ac.id, pembangunan ini dikarenakan Istana Basa Pagaruyung merupakan simbol adat Minangkabau, sekaligus guna mempertahankan eksistensi adat Minangkabau. Di tahun yang sama, Istana Pagaruyung menjadi situs cagar budaya dan juga dibuka sebagai objek wisata untuk umum. Hal itu sesuai dengan yang tercantum dalam Peraturan daerah Kabupaten Tanah Datar nomor 2 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tanah Datar.
Awal Berdiri Kerajaan Pagaruyung
Dikutip dari digilib.unimed.ac.id, Istano Basa Pagaruyung pertama kali didirikan Adityawarman pada 1347–1375. Ia merupakan panglima perang Majapahit yang juga keturunan dari kerajaan Dharmasraya (Melayu), sebagaimana disebutkan dalam prasasti Kubu Rajo, prasasti Pagaruyung, dan Prasasti Suroaso.
Pada mulanya kerajaan Pagaruyung yang dipimpin oleh Adityawarman menganut agama Budha. Lalu, pada pertengahan abad ke-16 kerajaan Pagaruyung memeluk agama Islam dimana pada saat itu kerajaan Pagaruyung dipimpin oleh Sultan Alif. Kerajaan Pagaruyung terbagi menjadi tiga luhak, yakni Luhak Agam (sekeliling Bukit Tinggi), Luhak Tanah Datar (Selingkar Batusangkar), dan Luhak Lima Puluh Kota (sekitar Payakumbuh). Tempat raja bertempat tinggal terdapat di Luhak Tanah Datar tepatnya di Batusangkar.
Sebelum Adityawarman mendirikan kerajaan Pagaruyung, ketiga Luhak tersebut merupakan wilayah kekuasaan kerajaan Dharmasraya, cikal bakal kerajaan Pagaruyung. Kemudian, pada pertengahan abad ke-14 Adityawarman memindahkan pusat kerajaannya lebih ke daerah pedalaman, yakni di daerah Batu Sangkar, di Luhak Tanah Datar.
Namun, pada abad ke-15, setelah wafatnya Adityawarman Kerajaan Pagaruyung beralih menjadi konfederasi republik-republik genealogis atau disebut Luhak. Kala itu, setiap daerahnya berdiri sendiri-sendiri dan diperintah oleh seorang penghulu yang memiliki kekuasaan besar atau disebut Nagari.
Pada abad berikutnya, Kerajaan Pagaruyung mengalami masa peralihan. Kesultanan Aceh yang saat itu sudah menguasai Pesisir Barat berperan dalam pengislaman kerajaan Pagaruyung. Perubahan terlihat setelah Sultan Alif Khalifatullah naik tahta sekitar 1560. Ia merupakan raja (sultan) pertama di Kerajaan Pagaruyung yang memeluk agama Islam.
Setelah itu, kekuasaan raja berbentuk tiga serangkai atau yang dikenal dengan nama Rajo Nan Tigo Selo, yakni Raja Alam, Raja Adat, dan Raja Ibadat. Kekuasaan ketiga raja kemudian diperkuat dewan menteri yang disebut Basa Ampek Balai, yakni Bandaharo di Sungai Tarab, Tuan Kadi dari Padang Ginting, Mangkudum dari Suroaso, dan Indomo dari Sumanik.
Seiring berjalannya waktu, muncul suatu gerakan pembaharuan agama atau yang lebih dikenal dengan nama gerakan Paderi. Dikutip dari library.binus.ac.id, gerakan ini berawal dari tiga orang ulama yang baru pulang dari Mekah pada 1803.
Kaum Paderi melihat bahwa ajaran Islam di tempat tersebut telah melenceng dari norma yang digariskan oleh agama Islam. Dari sinilah asal mula perseteruan antara Kaum Paderi dengan Kaum Adat di lingkungan Kesultanan Pagaruyung.
Pada akhirnya, gerakan ini mulai melancarkan aksinya melakukan pembaharuan agama Islam di ketiga Luhak sekaligus. Namun, mereka mendapatkan perlawanan yang sengit di Luhak Tanah Datar, tepatnya dari keluarga kerajaan Pagaruyung. Perlawanan terakhir dilakukan oleh Sultan Sembahyang III.
Akan tetapi perlawanan ini hanya terjadi sesaat karena pada 1870 Sultan Sembahyang III meninggal dunia di Muara Lembu. Dengan meninggalnya Sultan Sembahyang III, maka berakhir pula sejarah Kerajaan Pagaruyung yang didirikan oleh Adityawarman pada 1347.
Pilihan Editor: Saksikan Keindahan Lain di Istana Pagaruyung Sumbar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini