Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Kembar delapan ditaburi bintang

Bioskop di kota-kota besar sepi pengunjung, hiburan makin beragam. agar penonton lebih terhibur dan punya banyak pilihan, pengelola gedung mendirikan bioskop kembar, bandung punya bioskop kembar 8.

22 Oktober 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOTA Bandung yang mendung ditaburi bintang-bintang, Selasa pekan lalu. Memang bukan di langit, tetapi di Nusantara Palaguna. Ini nama gedung bioskop yang malam itu dipadati orang karena munculnya beberapa bintang film. Saat itulah gedung bioskop kembar delapan ini diresmikan. Lalu dikaitkan dengan pekan film -- acara yang dikoordinasikan Panitia Tetap Festival Film Indonesia (FFI). Artis yang datang dari Jakarta antara lain Christine Hakim, Ida Iasha, Anneke Putri, Rico Tampatty, Grace Violetta. Juga sutradara Wim Umboh. Empat film nasional diputar, yakni Selamat Tinggal Jeanette, Ayahku, Kamus Cinta Sang Primadona, dan Seputih Kasih Semerah Luka. Empat bioskop lain memutar film Barat. Ada yang bilang, bioskop kembar delapan di Bandung ini satu-satunya di Asia. Semula di tempat itu ada dua gedung bioskop, yang ruang tunggunya juga terpisah. Yakni, Nusantara Theatre dan Palaguna Theatre. Kedua gedung ini sebenarnya milik Pemda Kota Madya Bandung, tetapi pengelolaannya terpisah. Satu dikelola perusahaan daerah, yang satu lagi dikontrakkan ke swasta. Chad Parwez Servia, pengusaha muda yang mengelola salah satu gedung itu, melihat keganjilan. Gedung besar tapi penontonnya sepi. "Lebih baik diperkecil tapi terisi," kata pengusaha yang punya sejumlah gedung bioskop di Bandung dan Cirebon ini. Idenya itu diterima Pemda Bandung. Maka, gedung Nusantara dipecah menjadi empat, dengan nama Theatre 1, 2, 3, dan 4. Lalu, gedung Palaguna dipecah menjadi Astar, Anggrek, Melati, dan Mawar. Ruang tunggu menjadi satu, sehingga jadilah satu gedung dengan delapan pintu masuk dengan nama gabungan dua nama yang asli. Tiap gedung bioskop kini hanya berkapasitas 200 kursi. Renovasi ini ternyata tak membutuhkan biaya tinggi. Dana yang dikeluarkan hanya sekitar Rp 700 juta, dan itu sudah termasuk membeli proyektor, layar perak, kursi, dan dolby stereo. Bioskop di pusat kota ini sekarang menjadi kebanggaan warga Bandung. Ruang tunggunya nyaman, dingin, dan berkursi empuk. Kesannya mewah dan gemerlapan. Kursi di dalam pun diatur dengan jarak yang mengikuti standar internasional, yaitu jarak kursi depan dan belakang 1,1 meter. Sedang jarak layar dengan kursi terdepan enam meter. Supaya penonton paling pinggir tak pusing, layar dibikin melengkung. Bagi Parwez, siasat bisnis model begini tak lain karena penonton film merosot dari hari ke hari. Jenis hiburan makin beragam, dan orang mulai berkurang mendatangi gedung bioskop. Parwez melihat bahwa kenyamanan dalam bioskop itulah yang kalah, bukan jenis hiburannya. Itu sebabnya, suasana gedung dibenahi lebih dulu. Dengan langkah ini, ia berharap calon penonton bisa diperbanyak. Kiat Parwez dibenarkan pengusaha bioskop yang lain. Tapi masalahnya, tak semua pengusaha bisa mendandani gedungnya. Banyak bioskop yang hidupnya kembangkempis. "Selain penonton sepi, mereka sulit bertahan karena mahalnya pajak tontotan," kata Edison, pengelola Bandung Theatre. Ia menyebutkan contoh, lima tahun lalu jumlah bioskop di Bandung tercatat 40 buah. Kini tinggal 33 buah di 28 gedung. Itu akibat pajak tontonan yang menurut Edison termasuk pajak paling tinggi di Indonesia, yakni 35 hingga 37 persen. Di lain pihak, menurut Edison, pengelola bioskop masih harus berperang dengan video bajakan, terutama untuk film Indonesia. "Lebih murah menyewa video dan toh bahasanya sama," kata Edison, yang juga Sekretaris Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) Jawa Barat. Dalam hal ini Edison menyebut film Ayahku. Biarpun film ini bagus dan lolos dari komite seleksi FFI, toh ketika diputar di bioskop penontonnya sepi. Karena videonya sudah lama beredar. Memang, munculnya bioskop kembar dengan penataan interior keren dan mewah tak berarti mengangkat film nasional. Nusantara Palaguna, misalnya, nanti hanya menyediakan dua bioskopnya untuk film nasional, itu pun setelah diseleksi ketat. Tiga bioskop tetap untuk film Eropa-Amerika, dua untuk film Mandarin, dan satu lagi untuk film Asia non-Mandarin. Film nasional karcisnya paling murah, rata-rata Rp 2.500. Kebijaksanaan ini tampaknya sudah menggejala sejak pengusaha Sudwikatmono memperkenalkan bioskop kembar empat di Jakarta, yaitu Studio Twenty One dan Kartika Chandra Theatre. Dari empat bioskop itu, hanya satu untuk film nasional, itu pun kalau filmnya dinilai lumayan. Dan trend bioskop kembar begini menjalar di berbagai kota. Surabaya punya bioskop kembar lima (Studio 1-5), bioskop kembar empat (Oscar 1-4), dan gedung bioskop kembar tiga (Plaza, Arjuna, Wijaya, dan Delta). "Terus terang, semula saya mengikuti mode," kata Poedjihartono, Direktur Oscar Theatre. Namun, Juli lalu, setelah gedungnya dibenahi dan dibuat kembar empat, penontonnya semakin ramai. Semarang juga punya Plaza Theatre dengan bioskop kembar empat sejak Februari lalu. Uniknya, setiap bioskop dikelola pengusaha yang berbeda. Mereka hanya patungan ruang tunggu, dan ternyata kiat itu pun bisa menarik pengunjungnya lebih banyak. "Dengan empat bioskop di satu gedung, penonton punya banyak pilihan film," kata Soemarman, salah seorang pengelola Plaza Theatre. Solo Theatre, di Solo, tak mau kalah. Sejak April lalu gedungnya disulap menjadi kembar empat. Penonton membanjir, apalagi ada harga karcis khusus untuk pelajar dan sesekali disediakan door prize. Dari segi penonton, mengunjungi bioskop kembar berarti bisa memilih film lebih selektif lewat poster-poster yang ditempelkan di ruang tunggu. Di situ bisa diperbandingkan film mana yang lebih baik. Karena menurut pengusaha bioskop, banyak penonton yang tak siap dari rumah, film apa yang akan ditontonnya. Lagi pula, "Pergi ke bioskop sekarang ini tak cuma melihat film, tetapi juga mencuci mata di ruang tunggu. Siapa tahu, ada jodoh," kata seorang pemuda di Solo. Yusroni Henridewanto, Ida Farida (Bandung), Kastoyo Ramelan (Solo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus