Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Jika ingin mengetahui sejarah Kota Jakarta, maka sudah semestinya wajib mengunjungi Museum Fatahillah. Museum ini memiliki keberagaman objek sejarah dan menyimpan 23.500 koleksi barang bersejarah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Museum Fatahillah terletak di Jalan Taman Fatahillah No 1, Pinangsia, Kecamatan Taman Sari, Kota Jakarta Barat, Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Dahulu, Museum Fatahillah lebih dikenal dengan Musem Sejarah Jakarta atau Museum Batavia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbagai koleksi yang ada di museum ini ditampilkan sesuai periode asalnya. Di antaranya teridiri dari Ruang Prasejarah Jakarta, Ruang Tarumanegara, Ruang Jayakarta, Ruang Sultan Agung, dan Ruang MH. Thamrin.
Sekitar 500 buah koleksi ditampilkan dalam Musem Fatahillah. Sementara itu, masih terdapat sisa koleksi yang masih disimpan dalam ruang penyimpanan. Nantinya koleksi akan diputar secara berkala.
Lantas, apa saja koleksi terbaik dari Musem Fatahillah Ini? Berikut penjelasannya:
Mural yang Belum Selesai oleh Harijadi Sumodidjojo
Hardjijadi Somudidjojo merupakan seniman asal Ketawang, Kutoardjo, Jawa Tengah. Ia lahir pada tanggal 25 Juli 1919. Begitu pula dengan karyannya yang lekat dengan masa Revolusi Indonesia.
Salah satu karya terbaiknya di Museum Fatahillah adalah mural seluas 200 meter yang belum terselesaikan. Mural tersebut bercerita mengenai gambaran kehidupan masyarakat Batavia sejak tahun 1880 hingga1920.
Dalam muralnya ia mampu menjelaskan bahwa terdapat berbagai kultur dan etnik hidup dalam sejarah Jakarta, seperti dari etnik Melayu, Arab, Cina, hingga Eropa. Suasana seperti kebiasaan saudagar Arab yang sedang mengawasi hasil laut sampai pesta malam yang dipenuhi budak telah digambarnya.
Di bagian atas mural pun terlukiskan Stasiun Jatinegara, Harmoni, Kota, Pelabuhan Sunda Kelapa dan Tanjung Priok, serta pecinan. Selain itu, terdapat gambar Kali Ciliwung dan Pintu Gerbang Amsterdam.
Replika Padrão Sunda Kalapa
Replika Padrão Sunda kelapa adalah prasasti yang menandai peristiwa perjanjian Sunda-Portugal. Prasasti ini berbentuk tugu batu (Padrão) setinggi 165 cm yang ditemukan pada tahun 1918 di Batavia, Hindia Belanda.
Tujuan pembuatan Padrao ialah untuk membangun benteng serta gudang bagi masyarakat portugis di masa penjajahan.
Secara keseluruhan, Padao ini berbentuk gambar bola pada bagian atas prasastinya. Biasanya lambang ini dipakai oleh Raja Manuel I dan João III dari Portugal pada masa kepemerintahannya.
Pada bawah prasasti ini tertuliskan DSPOR yang merupakan singkatan dari Do Senhario de Portugal, yang artinya adlaah penguasa Portugal. Sementara pada baris kedua tertuliskan ESFER?/M singkatan dari Esfera do Mundo yang berarti bola atau harapan dunia.
Prasasti ini sempat hilang dan ditemukan kembali ketika melakukan penggalian untuk membangun fondasi gudang di sudut Prinsenstraat (sekarang Jalan Cengkih) dan Groenestraat (Jalan Kali Besar Timur I). Hingga akhirnya, replika dari prasasti Padrao Sunda Kelapa bisa dilihat pada Museum Fatahillah saat ini.
Replika Prasasti Ciaruteun
Replika dari rasasti Ciaruteun dapat kalian temukan di tiga museum yang ada di Indonesia, yaitu Museum Nasional Indonesia, Museum Fatahillah, dan Museum Sri Baduga Bandung.
Sementara, prasasti yang asli diletakan di diletakkan di Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang. Terletak di sekitar 19 kilometer dari sebelah Barat Laut pusat Kota Bogor.
Sebagai gambaran, prasasti ini ditulis dalam bentuk puisi India dan terdiri dari empat baris. Jika tulisannya diterjemahkan, maka didapatkan arti “Ini (bekas) dua kaki, yang seperti kaki Dewa Wisnu, ialah kaki Yang Mulia Sang Purnawarman, raja di negeri Taruma, raja yang gagah berani di dunia.”
Patung Dewa Hermes
Berdasarkan data p2k.unkris.ac.id, patung Dewa Hermes berasal dari mitologi Yunani. Dewa Hermes dipercaya sebagai tanda dari keberuntungan dan perlindungan bagi kaum pedagang.
Anda dapat menemukan patung ini terletak di depan bekas penjara bawah tanah masa penjajahan. Patung Dewa Hermes berbentuk patung perunggu. Mukanya mengarah ke langit-langit, sedangkan kakinya mengangkat satu sembari membawa tongkat yang dililit ular.
Pada awalnya, patung ini merupakan milik seorang warga negara Belanda yang menjual barang logam dan pecah belah. Kemudian ia membeli patung Hermes dari Jerman pada tahun 1920-an.
Singkat cerita, patung tersebut diberikannya kepada pemerintah Batavia. Oleh pemerintah Hindia Belanda, patung ini dipasang di jembatan Harmoni. Terakhir, patung Hermes ini dipindahkan atas izin Gubernur Sutiyoso. Hingga akhirnya, patung Dewa Hermes yang asli sekarang berada di halaman belakang Museum Fatahilah
FATHUR RACHMAN
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.