Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Konsep Hijau dan Ramah Lingkungan yang Dipilih Bandara Banyuwangi

Tidak bermegah-megah dengan fasilitas mirip mal serba ada, Bandara Banyuwangi mengusung konsep hijau dan ramah lingkungan.

8 Januari 2019 | 10.37 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pemandangan hijau merayu mata dari segala arah di Bandara Banyuwangi. Suara gemericik air dari kolam ikan melenakan telinga. Saya menyelonjorkan kaki di bangku kayu, melepaskan tas, dan menutup mata sejenak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di belakang tempat duduk, ada kisi-kisi kayu sebagai dinding. Dari situ, saya bisa melihat adegan yang terjadi di dalam. Ada petugas kebersihan sedang menjulur-julurkan lap pelnya, dan ada dua petugas bergerak tak beraturan.

Ruangan hampir senyap, penumpang pesawat NAM AIR jurusan Jakarta – Banyuwangi sudah meninggalkan bandara. Sebagian langsung pergi, mungkin dijemput keluarga, sopir travel, atau pacar. Saya yang tidak terikat dengan apa pun dan siapa pun di Banyuwangi, memilih duduk sebentar dan menikmati bandara.

Bandara Banyuwangi namanya. Dulu bandara ini bernama Blimbingsari, merujuk pada desa tempat landasan pacu sepanjang 2.250 meter itu berada. Keberadaannya dirintis di Kecamatan Glenmore, Banyuwangi pada dekade 1970-an. Lahannya mengambil landasan pacu pesawat capung yang sebelumnya digunakan untuk menyemprot pestisida pada hama wereng.

Pembangunan bandara di Glenmore terhenti karena peristiwa pembantaian Banyuwangi. Lalu disusul pula studi yang menyimpulkan lahan Glenmore yang berbukit-bukit menjadikannya tidak layak sebagai bandara. Pada 2003 palu diketuk, dan disiapkan lahan bandara baru di Kecamatan Blimbingsari, Banyuwangi.

Bukannya tanpa intrik, bandara melewati sekian banyak kasus seperti pembebasan tanah berlarut dan korupsi pejabat. Pada 2009, bandara mulai digunakan oleh Bali International Flight Academy (BIFA) untuk pelatihan bagi para calon pilot. Untuk penerbangan komersil, bandara mulai dibuka pada 29 Desember 2010. Penerbangan komersil perdana diambil oleh maskapai Sky Aviation dengan rute Surabaya-Banyuwangi.

Seiring perkembangan Banyuwangi sebagai kota wisata, dibutuhkan bandara yang lebih luas. Terminal yang lebih besar pun dibangun. Tidak bermegah-megah dengan fasilitas mirip mal serba ada, Bandara Banyuwangi mengusung konsep hijau dan ramah lingkungan.

Saya adalah bukti hidup kalau konsep itu berhasil. Bandara ini tidak menggunakan AC sama sekali! Turun pesawat, mata pengunjung akan tertumbuk pada bangunan bandara yang atapnya penuh tanaman. Masuk ke dalam, kita akan bertemu ruangan dengan langit-langit tinggi yang minim sekat. Dindingnya menggunakan kayu ulin yang berjarak agar udara mudah keluar masuk. Dalam ruangan, bandara menggunakan sunroof untuk pencahayaan alami di siang hari.

Sembari menunggu bagasi diantarkan masuk, saya menghampiri petugas Damri yang sedari tadi sibuk memanggil-manggil penumpang untuk menawarkan jasa. “Saya ingin menumpang, Pak. Apa Damri lewat Hotel Illira?” tanya saya.

Setelah bapak petugas menjawab iya, hati saya langsung tenang. Rasanya nyaman sekali punya pilihan menggunakan angkutan umum menuju kota, alih-alih harus pakai taksi bandara dengan harga yang lebih tinggi.

Bagasi belum tiba. Saya memanfaatkan waktu memandang-mandangi ruangan dalam. Mengintip melalui celah terali kayu, ada taman hijau dengan semprotan air otomatis. Sesaat saya lupa kalau sedang ada di bandara. Suasananya lebih mirip di restoran tradisional ala Jawa. Ornamen kayu di mana-mana, suasana sejuk, tanaman hadir di tiap arah. Hanya kurang lamat-lamat gending dan makanan khas saja.

Konsep hijau dan hemat energi ini diadaptasi pada semua ruangan bandara, termasuk toilet-ruangan favorit bagi penumpang setelah terbang sekian panjang. Pada dinding bagian atas toilet ada ruang kosong untuk mengalirkan udara. Saya sempat berpikir akan kegerahan saat masuk ke kubikel toilet, ternyata tidak juga.

Toilet tanpa AC

Konsep hijau dan ramah lingkungan di Bandara Banyuwangi ini adalah salah satu karya Isandra Matin Ahmad. Andra Matin, demikian ia biasa disapa, telah meraih penghargaan dari Ikatan Arsitek Indonesia untuk beberapa karyanya yaitu Le Bo Ye Graphic Design dan Gedung Dua8 (Jakarta),  Conrad Chapel (Bali), dan kantor Javaplant (Tawangmangu).

Menggandeng Andra Matin, memang pas. Arsitek ini dikenal dengan karyanya yang modern dan “clean”. Ia membuang ornamen tak penting, memilih gaya minimalis dengan struktur geometris. Karya-karyanya berlimpah cahaya alam, dan tentu saja hemat energi.

Bandara Banyuwangi ini semacam pintu masuk yang ramah bagi pengunjung kota Banyuwangi. Ucapan selamat datang sebelum menikmati puluhan destinasi wisata di bagian paling timur Pulau Jawa. Pak Herman, sopir Damri yang mengantarkan saya ke kota, bilang, “Saya bangga dengan Bandara Banyuwangi. Sudah banyak yang meliput, katanya bandaranya unik karena tidak pakai AC,” katanya sambil tersenyum lebar.

Buat saya, yang unik dari Bandara Banyuwangi bukan hanya ketiadaan pendingan ruangannya saja, melainkan ide besar yang melatar belakanginya. Setelah melihat konsep hijau di fasilitas sebesar ini, saya merasa hemat energi itu mungkin. Hanya, kita mau atau tidak untuk memulainya.

Tak usah muluk-muluk mengubah satu negara, bagaimana kalau kita mulai dari diri sendiri lebih dulu? Dan ini sudah dimulai oleh Bandara Banyuwangi.

 

Tulisan ini sudah tayang di Atemalem

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus