Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Lenong, masih cerita lama

Pekan lenong di tim, tak menampilkan tokoh baru. jumlah grup pun menyusut. ada usaha pembaruan pada pekan lenong ini, antara lain bentuk pengajian dan ceritanya.

12 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"KIR, udah jam delapan, nih!" teriak seorang penonton. "Mau hujan!" sambung yang lain, mengingatkan. Yang diseru-seru itu, siapa lagi kalau bukan Bokir, pentolan grup Topeng Betawi 'Setia Warga' dan pemain lenong yang--bersama Nasir, Anen dan su Siti --tersohor, dicintai dan sangat akrab dengan publiknya. Malam itu, 4 September, Bokir bersama Nasir dan grupnya memang hendak mentas, dalarn acara Pekan Lenong yang berlangsung hingga 9 September di Teater Terbuka TIM. Lakonnya Tamu Agung, disutradarai Sumantri Sastrosuwondo . Begitu pertunjukan dimulai, hujan tak jadi turun. Penonton--yang membeli karcis Rp 1.500, 1.000 dan 500-lumayan banyak meski tak seramai kalau Srimulat main. Walaupun malam itu dan malam berikutnya dipasang pula bintang-bintang dari dunia lain Rina Hassim, Conie Sutedja, Ateng, Iskak, Soeroto dan Hamid Arief. Dan dari dunia lenongnya sendiri, yang manggung selama sepekan itu pun nama-nama beken. Mamit, M. Toha, Nasrin misalnya. Sutradaranya cuma tiga orang Sumantri (untuk lakon Tamu Agung dan Anemer Kodok--keduanya produksi grup topeng Betawi 'Setia Warga'), SM. Ardan (Mandor Bego, produksi Ikaran Lenong Jakarta) dan Firman Muntaco (Perawan Buron, Sanggar Seni Betawi). Wah, apakah selama ini tak ada wajah baru yang muncul? Apakah tak ada kaderisasi? "Itu untuk menarik penonton saja," sanggah Ardan, 49 tahun, pengarang yang selama ini--di samping bekerja di Sinematek Pusat Perfilman Usmar Ismail -- iat menvutradarai dan mengasuh perkumpulan lenong itu, bahwa tak ada kaderisasi lenong. Usaha pengkaderan, terutama dalam hal pemain, "berjalan baik," ujarnya. Ia menyebutkan contoh pemain-pemain yang sudah terkenal--lewat panggung atau televisi -- biasanya lantas banyak mendapat panggilan manggung di kampung-kampung. Ketika itulah, "mereka membawa anggota-anggota baru," katanya. Untuk kesempatan latihan praktis, itu nampaknya memadai. Apalagi grup lenong pimpinan Bokir misalnya, dalam sebulan bisa diundang main 15 kali. Pemain-pemain baru memang ada yang sudah mulai memperoleh nama, seperti Malih, Madih, Mandra dan Karlin (yang ini cewek, Iho). Tapi di panggung, tetap saja mereka yang baru-baru ini kalah pamor dengan yang lama. Dan dalam menarik penonton, boleh dikata masih tergantung pada nama-nama lama. Dan tak hanya soal kaderisasi. Jumlah grup lenong pun merosot. Dulu, 1970, ketika Dewan Kesenian Jakarta memprakarsai pembinaan lenong ada sekitar 50 grup lenong yang beroperasi di Jakarta. Kini, tinggal 10 grup saja. Memang bisa dipersoalkan, apakah membengkaknya jumlah grup dulu itu bukan karena semangat hangat-hangat tahi ayam saja. Tentu saja DKJ tak bisa disalahkan, telah memprakarsai pembinaan lenong sekitar 10 tahun yang lalu itu. DKJ 'kan tak bisa selamanya menunjang grup yang banyak tersebut. Pada akhirnya, hidup matinya kesenian rakyat Betawi itu terpulang juga pada masyarakat pendukungnya sendiri. Masyarakat kalangan atas yang berduit, beberapa waktu lalu sempat tergaet, sebagaimana diakui Abdurrachman Sabri -- pimpinan produksi Pekan Lenong kali ini-- "tidak pernah muncul lagi". Khususnya di TIM. Mengapa? Pengusaha perkapalan yang tertarik pada lenong itu menyimpan jawaban "Karena lenong terlalu monoton." Bisa Sirna Itu agaknya yang membuat penonton lenong di TIM menyusut. Dan di luar, penanggap pertunjukan lenong terbatas pada masyarakat pinggiran. Mungkin Sabri benar. Tapi Sumantri, orang Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesenian Rakyat Betawi, misalnya sudah berusaha agar tontonan ini menarik bagi publik masa kini, sebenarnya. Ia melakukap perombakan dan pembaruan di sana sini. Antara lain bentuk penyajian dan ceritanya. Cuma, bila dibandingkan dengan rombongan Srimulat yang selalu laris itu, faktor cerita masih juga ketinggalan. "Dulu lenong merupakan lenong dines, sekarang preman," kata Nasrin. Lenong dines (dinas) biasanya mementaskan lakon ala Romeo & Juliet (Remene dan Julehe) atau Sam Pek Eng Thay. Lenong preman menceritakan kisah para jawara seperti Si Pitung, Jampang atau Mand or Bego. Nah, agaknya ini yang membuat lenong terasa tak aktual. Pada pekan ini pun Sumantri, S.M. Ardan dan Firman Muntaco mencobakan cerita yang lebih aktual. Tapi cerita mereka masih berkisar pada, misalnya penderitaan anak gadis yang ikut orang tua tiri (Perawan Buron, dipentaskan 7 & 8 September ini). Bandingkan saja misalnya dengan cerita Drakula dari Srimulat. Meskipun harus diakui, tak mudah memasukkan cerita baru pada lenong -- bisa-bisa kekhasannya, kebetawiannya, sirna.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus