"KIR, udah jam delapan, nih!" teriak seorang penonton. "Mau
hujan!" sambung yang lain, mengingatkan. Yang diseru-seru itu,
siapa lagi kalau bukan Bokir, pentolan grup Topeng Betawi 'Setia
Warga' dan pemain lenong yang--bersama Nasir, Anen dan su Siti
--tersohor, dicintai dan sangat akrab dengan publiknya.
Malam itu, 4 September, Bokir bersama Nasir dan grupnya memang
hendak mentas, dalarn acara Pekan Lenong yang berlangsung hingga
9 September di Teater Terbuka TIM. Lakonnya Tamu Agung,
disutradarai Sumantri Sastrosuwondo .
Begitu pertunjukan dimulai, hujan tak jadi turun. Penonton--yang
membeli karcis Rp 1.500, 1.000 dan 500-lumayan banyak meski tak
seramai kalau Srimulat main. Walaupun malam itu dan malam
berikutnya dipasang pula bintang-bintang dari dunia lain Rina
Hassim, Conie Sutedja, Ateng, Iskak, Soeroto dan Hamid Arief.
Dan dari dunia lenongnya sendiri, yang manggung selama sepekan
itu pun nama-nama beken. Mamit, M. Toha, Nasrin misalnya.
Sutradaranya cuma tiga orang Sumantri (untuk lakon Tamu Agung
dan Anemer Kodok--keduanya produksi grup topeng Betawi 'Setia
Warga'), SM. Ardan (Mandor Bego, produksi Ikaran Lenong Jakarta)
dan Firman Muntaco (Perawan Buron, Sanggar Seni Betawi).
Wah, apakah selama ini tak ada wajah baru yang muncul? Apakah
tak ada kaderisasi?
"Itu untuk menarik penonton saja," sanggah Ardan, 49 tahun,
pengarang yang selama ini--di samping bekerja di Sinematek Pusat
Perfilman Usmar Ismail -- iat menvutradarai dan mengasuh
perkumpulan lenong itu, bahwa tak ada kaderisasi lenong.
Usaha pengkaderan, terutama dalam hal pemain, "berjalan baik,"
ujarnya. Ia menyebutkan contoh pemain-pemain yang sudah
terkenal--lewat panggung atau televisi -- biasanya lantas banyak
mendapat panggilan manggung di kampung-kampung. Ketika itulah,
"mereka membawa anggota-anggota baru," katanya. Untuk kesempatan
latihan praktis, itu nampaknya memadai. Apalagi grup lenong
pimpinan Bokir misalnya, dalam sebulan bisa diundang main 15
kali.
Pemain-pemain baru memang ada yang sudah mulai memperoleh nama,
seperti Malih, Madih, Mandra dan Karlin (yang ini cewek, Iho).
Tapi di panggung, tetap saja mereka yang baru-baru ini kalah
pamor dengan yang lama. Dan dalam menarik penonton, boleh dikata
masih tergantung pada nama-nama lama.
Dan tak hanya soal kaderisasi. Jumlah grup lenong pun merosot.
Dulu, 1970, ketika Dewan Kesenian Jakarta memprakarsai pembinaan
lenong ada sekitar 50 grup lenong yang beroperasi di Jakarta.
Kini, tinggal 10 grup saja. Memang bisa dipersoalkan, apakah
membengkaknya jumlah grup dulu itu bukan karena semangat
hangat-hangat tahi ayam saja.
Tentu saja DKJ tak bisa disalahkan, telah memprakarsai pembinaan
lenong sekitar 10 tahun yang lalu itu. DKJ 'kan tak bisa
selamanya menunjang grup yang banyak tersebut. Pada akhirnya,
hidup matinya kesenian rakyat Betawi itu terpulang juga pada
masyarakat pendukungnya sendiri.
Masyarakat kalangan atas yang berduit, beberapa waktu lalu
sempat tergaet, sebagaimana diakui Abdurrachman Sabri --
pimpinan produksi Pekan Lenong kali ini-- "tidak pernah muncul
lagi". Khususnya di TIM. Mengapa? Pengusaha perkapalan yang
tertarik pada lenong itu menyimpan jawaban "Karena lenong
terlalu monoton."
Bisa Sirna
Itu agaknya yang membuat penonton lenong di TIM menyusut. Dan di
luar, penanggap pertunjukan lenong terbatas pada masyarakat
pinggiran.
Mungkin Sabri benar. Tapi Sumantri, orang Pusat Penelitian dan
Pengembangan Kesenian Rakyat Betawi, misalnya sudah berusaha
agar tontonan ini menarik bagi publik masa kini, sebenarnya. Ia
melakukap perombakan dan pembaruan di sana sini. Antara lain
bentuk penyajian dan ceritanya.
Cuma, bila dibandingkan dengan rombongan Srimulat yang selalu
laris itu, faktor cerita masih juga ketinggalan. "Dulu lenong
merupakan lenong dines, sekarang preman," kata Nasrin. Lenong
dines (dinas) biasanya mementaskan lakon ala Romeo & Juliet
(Remene dan Julehe) atau Sam Pek Eng Thay. Lenong preman
menceritakan kisah para jawara seperti Si Pitung, Jampang atau
Mand or Bego. Nah, agaknya ini yang membuat lenong terasa tak
aktual.
Pada pekan ini pun Sumantri, S.M. Ardan dan Firman Muntaco
mencobakan cerita yang lebih aktual. Tapi cerita mereka masih
berkisar pada, misalnya penderitaan anak gadis yang ikut orang
tua tiri (Perawan Buron, dipentaskan 7 & 8 September ini).
Bandingkan saja misalnya dengan cerita Drakula dari Srimulat.
Meskipun harus diakui, tak mudah memasukkan cerita baru pada
lenong -- bisa-bisa kekhasannya, kebetawiannya, sirna.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini