DI sela-sela rumah penduduk kampung Sanan, di belakang penjara
Lowokwaru, Malang, deru suara itu menggetarkan. Hampir tiap
pagi, berbarengan dengan datangnya fajar, getaran itu seakan
berpacu. Itulah suara mesin pengolah tempe buatan Achmari Amir,
43 tahun.
Kampung itu adalah basis pembuatan tempe di Malang, dan Achmari
Amir pada mulanya pengrajin tempe sejak tahun 1970. Ia tak punya
kepandaian teknik. Ia hanya jebolan madrasah kelas V. Badannya
kurus, agak pendek, rapi dia gesit. Dan punya tekad. Waktu di
bangku sekolah, ia bercita-cita menjadi insinyur. Cita-citanya
ternyata tak terwujud. Ia hanya jadi tukang pembuat dan penjual
tempe. Pendidikan yang minim itu ternyata tak disesalinya. "Bisa
sekolah saja sudah untung," katanya mengenang masa lalu. Maklum,
zaman perang.
Suatu ketika, di tepi sungai kecil di belakang Lembaga
Pemasyarakatan itu, Achmari tercenung. Dari atas batu di pinggir
kali, ia melihat para pengrajin tempe teman-temannya bagai
berdisko menginjak-injak keranjang berisi kedelai setengah
maung. Nyaris tanpa henti. Pekerjaan itu memang banyak membuang
tenaga, di samping terasa risih mengingat calon makanan orang
banyak itu diproses dengan telapak kaki para kuli. Pikirannya
tersentuh. "Seandainya ada mesm pengolah tempe, orang-orang itu
tidak akan berpayah-payah," cerita Achmari kemudian.
Jumlah pengrajin tempe di Malang saat itu kurang lebih 500.
Kebanyakan kelas teri, termasuk Achmari. Rata-rata produksinya
hanya berkisar 3 sampai 5 kg sehari. Dibantu dengan tenaga buruh
seorang, keuntungan Achmari tak seberapa. Tapi, niat sudah
bulat. Ia harus bisa membuat mesin tempe. Sedikit demi sedikit
ia kumpulkan keuntungan itu, baik keuntungan dari dagang tempe
maupun dari dagang kelontong kecil-kecilan.
Di waktu malam ia sering mengutikutik mesin giling hingga hari
larut. Ia juga mulai membikin sketsa atau gambar-gambar
perencanaan mesin yang sedang digagasnya. Setelah modal cukup,
dengan uang Rp 100.000 ia pergi ke toko besi untuk memborong
besi siku, as, seng tebal, gurinda serta peralatan untuk las.
Sebulan kemudian, di thun 1972, terciptalah sebuah mesin
pengolah tempe. Girang hati Achmari bukan main. Tapi, ternyata
mesin itu tak bisa lang sung dipakai. "Gerindanya keliru
mengikir," katanya. Gerinda dari batu, yang berfungsi menumbuk
kedelai, tak sempurna. Akibatnya "kedelai menjadi halus. Padahal
membuat tempe 'kan kedelainya tak boleh halus," ceritanya.
Berkali-kali gerinda digantinya.
Percobaan itu tentu saja tak menggunakan dinamo, cukup dengan
tangan. Merasa kurang puas dengan hasilnya, kemudian Achmari
membeli dinamo dan dipasang pada mesin itu.
Dan hasilnya? Sekeranjang kedelai vang dimasukkan pada seng
berbenruk kerucut itu hanya beberapa menit saja sudah tergilas.
Lalu hasilnya jatuh ke dalam tenggok, pecah dan mengelupas. Tak
semuanya otomatis. Untuk memisahkan kulit, kacang dan menirnya
masih dibutuhkan penampi dengan anyaman dari bambu. Kapasitas
persis mesin itu tiap dua kuintal kedelai tergiling dalam waktu
satu jam.
Dengan keberhasilan ini, Achmari yang semula sudah ingin
menggulung usaha tempenya mengurungkan niatnya. Malah
kemampuannya membuat tempe menjadi berlipat ganda. "Sehari bisa
menghabiskan dua sampai empat kuintal kedelai," katanya.
Istrinya, seorang lulusan SMA, ikut pula mencetak tempe. Tempe
itu kemudian dipasarkan untuk memenuhi kebutuhan penduduk
Malang. Selalu laku? "Kalau tak laku dibuat menjos," kata istri
Achmari. Menjos adalah tempe yang sudah membusuk, dimasak dan
biasanya dimakan dengan lalap petis. Harganya murah sekali.
Melihat keberhasilan Achmari, putra ulama dari Pasuruan itu,
tetangga yang ingin maju berebut memberi porsekot untuk
mendapatkan mesin kreasi orang Sanan ini. "Belum apa-apa sudah
lima orang yang mau menyodorkan persekot," kata Achmari, bangga.
Tentu saja tak semua bisa dilayani sekaligus. Yang jelas hingga
kini sudah ada 10 pengusaha tempe dari Sanan yang menggunakan
mesin Achmari. Untuk setiap penjualan satu mesin berdinamo ia
untung Rp 25.000, seda,ng laba yang diperoleh dari penjualan
mesin yang digerakkan tangan Rp 10.000. ("Keuntungan Rp 10.000
itu tidak termasuk ongkos las dan ini itu," kata Achmari). Mesin
buatan Achmari juga sudah terbang ke Medan, Jakarta, Surabaya
dan Denpasar.
Mesin itu dicat menyala. Kerangkanya berwarna kuning. Seng
pembungkus gerinda dan penampung kacang kedelai dicat merah.
Pada sisi dalam kerangka dari besi siku itu kadang tercantum
nama pembuatnya. "Untuk kenang-kennangan saja," kami pencipta
dengan senyum.
Sudah lebih 27 unit yang dibuamya hingga kini. Ia belum berniat
memproduksikannya secara massal. "Saya belum punya modal,"
katanya. Padahal ia kini berniat menjadi produsen mesin giling
tempe.
Meski begitu hasil yang dinikmati dari jerih payah ini sudah
terlihat. Rumah Achmari sudah diperbaiki. Perabotan pun sudah
disulap bertaraf menengah. Di belakang rumahnya sudah pula
dibangun tempat penyimpanan kedelai dan bak cuci berporselin.
Sukses ini tentu saja menjalar kepada para pembeli mesinnya.
Pembuat tempe dari Medan yang sudah dua tahun menggunakan mesin
buatan Achmari bercerita tentang hasilnya: ia bisa membeli
sebuah kolt disel berkat keuntungan penjualan tempenya. Dan
dengan kendaraan itu pemasarannya makin jauh ke luar Kota Medan.
Mutu bikinan mesin ini pun, katanya, tak kalah dengan tempe yang
dibuat dengan cara tradisional," alias tempe dengan injakan
kaki."Dengan mesin dijamin lebih sehat ketimbang diolah oleh
kaki di sungai," kata Achmari. Yang lebih penting lagi, waktu
prosesnya lebih singkat. Dengan cara tradisional waktu habis
untuk mengupas dan membelah kedelai saja.
Perkara mesin tempe Achmari rupanya terdengar pula oleh seorang
insinyur dari Denmark, Robert Djurtof. Ia datang disertai
sejumlah mahasiswa ITB. "Sampai sekarang Djurtof masih tetap
kirim surat dan kagum pada mesin pengolah tempe Malang ini,"
kata Achmari.
Seorang dosen dari Ul pernah juga datang untuk mewawancarai
Achmari. Katanya, untuk pelengkap ceramahnya di Canada dan
Jepang tentang tempe Indonesia.
Maklum kini soal tempe tambah ramai. Ada percobaan membuat tempe
dalam wadah kalengan misalnya. Ini sempat terdengar Achmari. Ia
senang. "Itu berarti nasib pengusaha tempe akan bagus," katanya.
Achmari yakin kalau nanti pengalengan tempe sudah dimassalkan,
dan para pengrajin mendapat kredit, maka lauk khas Indonesia
yang penuh gizi itu akan mendapat tempat lebih baik, di dalam
maupun di luar negeri. Dan hiduplah bangsa kita, bangsa tempe.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini