Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Ia orang kampung penemu mesin

Amir achmari seorang pengrajin/pembuat tempe di kampung sanan, malang berhasil membuat mesin penggilas tempe. mesin buatannya sudah menjalar ke luar jawa.

12 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI sela-sela rumah penduduk kampung Sanan, di belakang penjara Lowokwaru, Malang, deru suara itu menggetarkan. Hampir tiap pagi, berbarengan dengan datangnya fajar, getaran itu seakan berpacu. Itulah suara mesin pengolah tempe buatan Achmari Amir, 43 tahun. Kampung itu adalah basis pembuatan tempe di Malang, dan Achmari Amir pada mulanya pengrajin tempe sejak tahun 1970. Ia tak punya kepandaian teknik. Ia hanya jebolan madrasah kelas V. Badannya kurus, agak pendek, rapi dia gesit. Dan punya tekad. Waktu di bangku sekolah, ia bercita-cita menjadi insinyur. Cita-citanya ternyata tak terwujud. Ia hanya jadi tukang pembuat dan penjual tempe. Pendidikan yang minim itu ternyata tak disesalinya. "Bisa sekolah saja sudah untung," katanya mengenang masa lalu. Maklum, zaman perang. Suatu ketika, di tepi sungai kecil di belakang Lembaga Pemasyarakatan itu, Achmari tercenung. Dari atas batu di pinggir kali, ia melihat para pengrajin tempe teman-temannya bagai berdisko menginjak-injak keranjang berisi kedelai setengah maung. Nyaris tanpa henti. Pekerjaan itu memang banyak membuang tenaga, di samping terasa risih mengingat calon makanan orang banyak itu diproses dengan telapak kaki para kuli. Pikirannya tersentuh. "Seandainya ada mesm pengolah tempe, orang-orang itu tidak akan berpayah-payah," cerita Achmari kemudian. Jumlah pengrajin tempe di Malang saat itu kurang lebih 500. Kebanyakan kelas teri, termasuk Achmari. Rata-rata produksinya hanya berkisar 3 sampai 5 kg sehari. Dibantu dengan tenaga buruh seorang, keuntungan Achmari tak seberapa. Tapi, niat sudah bulat. Ia harus bisa membuat mesin tempe. Sedikit demi sedikit ia kumpulkan keuntungan itu, baik keuntungan dari dagang tempe maupun dari dagang kelontong kecil-kecilan. Di waktu malam ia sering mengutikutik mesin giling hingga hari larut. Ia juga mulai membikin sketsa atau gambar-gambar perencanaan mesin yang sedang digagasnya. Setelah modal cukup, dengan uang Rp 100.000 ia pergi ke toko besi untuk memborong besi siku, as, seng tebal, gurinda serta peralatan untuk las. Sebulan kemudian, di thun 1972, terciptalah sebuah mesin pengolah tempe. Girang hati Achmari bukan main. Tapi, ternyata mesin itu tak bisa lang sung dipakai. "Gerindanya keliru mengikir," katanya. Gerinda dari batu, yang berfungsi menumbuk kedelai, tak sempurna. Akibatnya "kedelai menjadi halus. Padahal membuat tempe 'kan kedelainya tak boleh halus," ceritanya. Berkali-kali gerinda digantinya. Percobaan itu tentu saja tak menggunakan dinamo, cukup dengan tangan. Merasa kurang puas dengan hasilnya, kemudian Achmari membeli dinamo dan dipasang pada mesin itu. Dan hasilnya? Sekeranjang kedelai vang dimasukkan pada seng berbenruk kerucut itu hanya beberapa menit saja sudah tergilas. Lalu hasilnya jatuh ke dalam tenggok, pecah dan mengelupas. Tak semuanya otomatis. Untuk memisahkan kulit, kacang dan menirnya masih dibutuhkan penampi dengan anyaman dari bambu. Kapasitas persis mesin itu tiap dua kuintal kedelai tergiling dalam waktu satu jam. Dengan keberhasilan ini, Achmari yang semula sudah ingin menggulung usaha tempenya mengurungkan niatnya. Malah kemampuannya membuat tempe menjadi berlipat ganda. "Sehari bisa menghabiskan dua sampai empat kuintal kedelai," katanya. Istrinya, seorang lulusan SMA, ikut pula mencetak tempe. Tempe itu kemudian dipasarkan untuk memenuhi kebutuhan penduduk Malang. Selalu laku? "Kalau tak laku dibuat menjos," kata istri Achmari. Menjos adalah tempe yang sudah membusuk, dimasak dan biasanya dimakan dengan lalap petis. Harganya murah sekali. Melihat keberhasilan Achmari, putra ulama dari Pasuruan itu, tetangga yang ingin maju berebut memberi porsekot untuk mendapatkan mesin kreasi orang Sanan ini. "Belum apa-apa sudah lima orang yang mau menyodorkan persekot," kata Achmari, bangga. Tentu saja tak semua bisa dilayani sekaligus. Yang jelas hingga kini sudah ada 10 pengusaha tempe dari Sanan yang menggunakan mesin Achmari. Untuk setiap penjualan satu mesin berdinamo ia untung Rp 25.000, seda,ng laba yang diperoleh dari penjualan mesin yang digerakkan tangan Rp 10.000. ("Keuntungan Rp 10.000 itu tidak termasuk ongkos las dan ini itu," kata Achmari). Mesin buatan Achmari juga sudah terbang ke Medan, Jakarta, Surabaya dan Denpasar. Mesin itu dicat menyala. Kerangkanya berwarna kuning. Seng pembungkus gerinda dan penampung kacang kedelai dicat merah. Pada sisi dalam kerangka dari besi siku itu kadang tercantum nama pembuatnya. "Untuk kenang-kennangan saja," kami pencipta dengan senyum. Sudah lebih 27 unit yang dibuamya hingga kini. Ia belum berniat memproduksikannya secara massal. "Saya belum punya modal," katanya. Padahal ia kini berniat menjadi produsen mesin giling tempe. Meski begitu hasil yang dinikmati dari jerih payah ini sudah terlihat. Rumah Achmari sudah diperbaiki. Perabotan pun sudah disulap bertaraf menengah. Di belakang rumahnya sudah pula dibangun tempat penyimpanan kedelai dan bak cuci berporselin. Sukses ini tentu saja menjalar kepada para pembeli mesinnya. Pembuat tempe dari Medan yang sudah dua tahun menggunakan mesin buatan Achmari bercerita tentang hasilnya: ia bisa membeli sebuah kolt disel berkat keuntungan penjualan tempenya. Dan dengan kendaraan itu pemasarannya makin jauh ke luar Kota Medan. Mutu bikinan mesin ini pun, katanya, tak kalah dengan tempe yang dibuat dengan cara tradisional," alias tempe dengan injakan kaki."Dengan mesin dijamin lebih sehat ketimbang diolah oleh kaki di sungai," kata Achmari. Yang lebih penting lagi, waktu prosesnya lebih singkat. Dengan cara tradisional waktu habis untuk mengupas dan membelah kedelai saja. Perkara mesin tempe Achmari rupanya terdengar pula oleh seorang insinyur dari Denmark, Robert Djurtof. Ia datang disertai sejumlah mahasiswa ITB. "Sampai sekarang Djurtof masih tetap kirim surat dan kagum pada mesin pengolah tempe Malang ini," kata Achmari. Seorang dosen dari Ul pernah juga datang untuk mewawancarai Achmari. Katanya, untuk pelengkap ceramahnya di Canada dan Jepang tentang tempe Indonesia. Maklum kini soal tempe tambah ramai. Ada percobaan membuat tempe dalam wadah kalengan misalnya. Ini sempat terdengar Achmari. Ia senang. "Itu berarti nasib pengusaha tempe akan bagus," katanya. Achmari yakin kalau nanti pengalengan tempe sudah dimassalkan, dan para pengrajin mendapat kredit, maka lauk khas Indonesia yang penuh gizi itu akan mendapat tempat lebih baik, di dalam maupun di luar negeri. Dan hiduplah bangsa kita, bangsa tempe.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus