Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Palembang - Dua gergaji kayu masih menggelantung di tembok dinding mini workshop di kawasan gang kecil Gubah Atas, 29 Ilir, Palembang. Di atas meja kerja berukuran sekitar 60 sentimeter persegi itu tampak sejumlah perkakas tukang semacam bor ukir, amplas, pahat dan mistar siku yang digunakan untuk mengerjakan hulu dan warangka keris.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Workshop kecil itu milik Cek Eri. Siang itu, seniman dengan nama lengkap Heri Sutanto itu sedang mengerjakan hulu keris.
Sembari bercerita, diambilnya sepotong kecil kayu tembesu yang kemudian dijepitkannya pada sebuah ragum besi pada salah satu sisi meja kerjanya. Sejurus kemudian, alat ia menggosok untuk mengahaluskan permukaan kayu agar lebih mudah diukir dengan beragam motif.
Di bengkelnya, selain mengerjakan hulu atau gagang dan warangka atau sarung baru, Eri juga melayani permintaan merestorasi hulu dan warangka keris khas Palembang. Secara ekonomi, kegiatan yang ia tekuni sejak puncak pandemi Covid-19 yang baru lalu itu tidak terlalu menjanjikan. Namun, ia merasa bangga dapat ikut andil melestarikan pusaka kuno dari zaman keemasan Kesultanan Palembang Darussalam lebih dari seabad silam.
Usai mengikir kayu tembesu, Eri mengambil bor mini. Bor ini ia fungsikan untuk mengukir motif kepala burung elang, serta motif daun sirih pada bagian bawahnya. Dengung halus suara mesin bor mengiringinya menuntaskan pesan hulu keris yang lebih dikenal sebagai hulu luday.
Ragam motif hulu keris Palembang: hulu luday, putri malu, primitif dan Jawa demam anak ayam. TEMPO/Parliza Hendrawan
Kelestarian keris Palembang
Sambil bekerja, seniman ini berceloteh tentang kegundahannya akan kelestarian keris Palembang. Menjurut dia, keris Palembang saat ini mulai langka, pengrajinnya pun cuma ada satu atau dua. Itu pun hanya pengrajin hulu dan warangkanya, sedangkan untuk empu pembuat bilah dan cincin kerisnya sudah tidak ada.
“Ukiran pada hulu Keris Palembang sangat istimewa tidak terdapat di daerah lain dan sampai saat ini belum ada yang mampu menyamainya. Sangat halus dan detail ukirannya. Tetapi sangat disayangkan belum adanya perhatian dari pihak terkait terhadap pengrajin keris Palembang,” ujarnya Ahad, 24 Desember yang lalu.
Ia mencoba untuk membandingkan situasi ini dengan daerah lain. Di Jawa dan Bali, katanya, keris dijadikan cendera mata. Demikian juga di Aceh, rencong juga sama menjadi ciri khas daerahnya. Bahkan di Madura menjadi industri yang menunjang ekonomi daerah. Kerajinan keris dari Madura merambah dunia. Para empu di Sulawesi Selatan kini pun mulai lagi berkarya.
Belajar otodidak
Secara otodidak Eri mempelajari motif yang tersemat dalam hulu dan warangka keris Palembang. Ia buka foto-foto lama dan bertanya pada tetua Palembang yang dinilai mengetahui isi dan nilai yang terkandung dalam sebilah keris.
Ia mencoba mengukir, menghaluskan potongan-potongan kecil kayu tembesu sehingga muncul hulu dan warangka yang estetik dan layak untuk dinikmati oleh penghobi pusaka. Bukan sekali dua kali ia harus membuang karya karena sesuai dengan detail yang diinginkan.
Selama menekuni ikhtiarnya itu sejak 4 tahun belakangan ini, Eri sudah mengerjakan ratusan hulu juga warangka. Setidaknya ada empat macam hulu yang ia kerjakan secara otodidak pada bengkel miliknya, yakni hulu luday dengan motif menyerupai kepala elang laut, hulu Jawa demam yang menyerupai paruh anak ayam, dan hulu putri malu yang tampak seperti siluet kepala manusia. Satu lagi adalah hulu primitif yang banyak ditemukan pada keris zaman kesultanan. Pengerjaannya yang terakhir ini terbilang sulit dan membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan tiga motif diatas. “Ada seperti benjolan-benjolan kecil pada bagian kepala yang itu merip pembesar yang sedang merunduk sambil mengenakan mahkota,” ujar Eri.
Proses pengerjaan
Sebuah hulu yang penuh dengan nilai dan pesan moral dikerjakan dalam waktu 2-3 hari. Makin detail pengerjaan maka waktu yang dibutuhkan lebih lama lagi.
Tahap pengerjaan dimulai dengan mencari materi untuk dijadikan hulu berupa kayu tembesu, trembalo, dan kemuning gading. Setelah mendapatkan kayu dan gambaran motif yang akan diukir maka seniman akan memotong kayu, kecil kurang dari 10 cm. Kemudian dilakukan pemahatan, penghalusan dan mengukir pakai bor ukir dengan mata jarum halus.
Kemudian kata Eri, tahap finishing dilakukan dengan ampelas halus yang dilanjutkan dengan pewarnaan. Setelah itu, kembali dilakukan pengampelasan dengan mencampurkan dengan minyak pelumas. “Poles pakai kain kemudian dijemur,” urainya.
Untuk warangka, ia biasanya membuatnya menyerupai bentuk sampir perahu dan bulan sabit. Sampir perahu memiliki kemudi pada bagian belakangnya, sedangkan tipe bulan sehari atau bulan sabit berbentuk lengkungan sebagaimana bulan yang sedang menerangi malam.
Nilai ekonomi
Hulu keris buatan Heri Sutanto dijual dengan harga bervariasi mulai dari Rp150 ribu hingga Rp350 ribu, tergantung dengan tingkat kesulitan pengerjaanya. Adapun warangkan dia jual rata-rata seharga Rp300 ribu.
Hingga kini banyak pihak yang memanfaatkan keahliannya dalam membuat hulu, warangka maupun restorasi aksesori keris lainnya. Salah satu langganan tetap Cek Eri adalah Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin, Sultan Palembang Darussalam yang dinobatkan sejak 2006.
PARLIZA HENDRAWAN
Pilihan Editor: Kirab Pusaka Solo akan Tampilkan Keris Raksasa Sepanjang 3,5 Meter
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini