Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Nikko - Lima pria berbaris ke belakang. Mereka berbaju kimono yang sedikit bersayap pada bagian bahunya. Kepala mereka mengenakan wig palsu yang sebelumnya dilapis karet untuk memperlihatkan seolah memang botak. Rambut palsu itu dicepol selayaknya pria Jepang zaman dulu. Kelimanya berteriak menyambut kedatangan pengunjung di Edo Wonderland sambil membungkukkan badan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Edo Wonderland Nikko Edomura atau bisa disebut Edo Wonderland merupakan taman hiburan sejarah yang membentuk kota imajinasi Jepang di masa lalu. Kawasan yang berada di 470-2 Karakura, Nikko, Tochigi 321-2524, Prefektur Tochigi, Kawasan Kanto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah mendapatkan sambutan dari lima orang berkimono, pandangan saya tertuju kepada sosok tua berkimono berjalan setengah berlari. Kantung matanya sangat tebal, lipatan dahinya berbaris ke bawah, menandakan pengalamannya di dunia lama. Saya pun menghampirinya dan bertanya siapa nama dan usianya.
“Saya Ichigoya, di sini menyewakan kimono, usia 77 tahun,” jawabnya dengan tertawa mendapat pertanyaan saya. Harga yang dipatok untuk sewa kimono sebesar 5.000 Yen atau sekitar Rp 500 ribu yang bisa digunakan berkeliling di Kota Edo dan meninggalkan kenangan dari sana.
Ia mengaku sudah lama mencari rezeki di tempat itu tanpa menyebutkan berapa lama usahanya dirintis. Meski mengaku terburu-buru, Ichigoya bersedia menerima ajakan saya berfoto.
Semua pedagang seperti Ichigoya dan orang-orang yang bekerja di Edo Wonderland mengenakan kimono. Rambutnya ditata dengan wig yang mengaburkan penampilan aslinya. Desain arsitektur dan interior rumah dan perabotannya benar-benar mengingatkan kita pada film-film perang Jepang zaman samurai.
Jelajahi Jepang Masa Lalu di Edo Wonderland
Pintu masuk Edo Wonderland. Foto: TEMPO| Istiqomatul Hayati.
Suasana Jepang tempo doeloe ini bisa dirasakan kala mendapatkan undangan dari Japan National Tourism Organisation atau JNTO pada November tahun lalu. Selama sepekan, saya dan Nila, juga wartawan Indonesia berkeliling di kawasan Tohoku dan Kanto.
Di kota buatan ini, kita akan diajak menapak tilas Jepang masa lalu, khususnya kembali ke Zaman Edo yang berkuasa di Jepang pada 1603-1867 Masehi. Suasana Jepang tempo doeloe sudah terasa saat masuk.
Dikutip dari laman resmi Edo Wonderland, kawasan taman budaya seluas 50 hektare yang berusaha menciptakan kembali Kota Edo dengan latar belakang Pegunungan Nikko nan indah. Berada di sini, Anda bisa berubah menjadi seperti penduduk Edo, lantaran akan mengakrabi benda-benda yang umum di masa itu seperti samurai, kimono, shuriken atau senjata tradisional Jepang, busur panah, dan baju ninja yang membuat Anda seolah-olah memang ninja.
Anda bisa bersalin baju dan menyewa kimono atau baju ninja dan berjalan-jalan di sekitar Kota Edo, sambil menikmati pengalaman menjelajahi waktu dari masa depan ke zaman Edo.
“Kenapa yang dipilih Zaman Edo? Karena zaman ini tidak ada perang, tenang, dan kebudayaannya ditingkatkan. Tak ada polusi, kehidupannya sangat bagus, dan ini harus dipelajari generasi muda,” kata Operation and Promotion Department Subsection Chief Edo Wonderland, Nikko Edomura, Kazuhiro Kimura.
Ia meminta kami benar-benar menikmati petualangan selama kembali ke Zaman Edo. “Anda bisa menikmati fashion di Zaman Edo,” katanya sambil merekomendasikan kami mengikuti workshop, mencoba permainan, jalan-jalan, atau sekadar mengambil gambar.
Selanjutnya, menonton pertunjukan Ninja Show
Menonton Pertunjukan Ninja Show
Saat kami datang, waktu mendekati jadwal Ninja Show. Jadi kami menonton pertunjukan Ninja yang menempati Theatre Zone, karena sungguh sayang kalau dilewatkan. Apalagi menonton pertunjukan ini gratis.
Selama setengah jam, kami terpana menyaksikan atraksi para ninja dan samurai yang bisa bergerak loncat ke sana ke mari di atap rumah, lalu terjun ke bawah dengan enteng seperti tidak ada gravitasi bumi. Bahkan ia bisa berpindah ke atap rumah dengan cari setengah berlari berpijak pada tembok. Mereka profesional dan butuh latihan bertahun-tahun.
Ninja Show ini menceritakan pertarungan antarshinobi (ninja), 500 tahun lalu. Ada calon shinobi yang nyadran di rumah seorang sesepuh shinobi, Dia menjadi saksi bagaimana gurunya dibunuh oleh shinobi yang berkhianat. Si shinobi yang berwajah bak actor Korea itu, membalas dendam atas ‘kematian’ gurunya yang tiba-tiba datang kembali untuk membantunya.
Sayangnya, kami tak boleh merekam atau memotret pertunjukan dengan alasan melindungi hak cipta. Sehingga pertunjukan apik ini tak bisa dibuktikan di sini.
Melempar Shuriken dan Panah
Setelah menonton Ninja Show, kami diberikan waktu bebas sebelum berkumpul untuk merasaka mi soba di salah satu restoran. Kami diarahkan ke Shuriken Dojo, rumah yang menjadi tempat melemparkan shuriken ke lingkaran sasaran. Meski ada yang menempel, sayangnya shuriken itu menancap di luar lingkaran.
Percobaan berikutnya adalah melempar busur panah ke tempat sasaran. Setelah berlatih cepat, kami diberikan kesempatan tiga kali. Satu busur panah yang saya lepaskan berada di lingkaran sasaran, meski bukan yang utama. Saat itu, saya merasa benar-benar seorang ninja setelah berhasil melesakkan satu busur ke sasaran.
Melempar shuriken, senjata tradisional yang digunakan ninja. Foto: Istimewa.
Kami kemudian masuk ke rumah hantu. Sebelum masuk, saya melihat rombongan sekolah dasar anak-anak Jepang. Mereka terlihat senang melihat saya yang langsung disimpulkan sebagai wisatawan lantaran satu-satunya yang mengenakan hijab. Mereka mencoba menyapa saya. “Hello…,” teriak mereka. Saya pun meladeni dan bercanda dengan mereka.
Semula, saya diliputi keraguan saat mau masuk ke rumah hantu. Bayangan bertemu hantu Sadako di film horor Jepang dengan rambut menutupi muka tiba-tiba muncul dari dalam sumur.
Tapi mungkin ekspektasi saya berlebihan. Tak seperti warga lokal yang menjerit ketakutan, reaksi saya justru mengernyit, keheranan lantaran tak menakutkan sama sekali. Lebih mengerikan masuk ke wahana rumah hantu di Dufan.
Saya kemudian memilih beristirahat. Kesempatan ini saya gunakan untuk membeli sate mochi, sebagai makanan khas Jepang. Satu tusuk sate berisi tiga mochi yang dijual dengan harga 300 Yen. Sayangnya, mochi dari tepung ketan yang dijual di pasar Kota Edo ini tak ada isinya, hanya manis. “Lebih enak mochi Cianjur,” gumam saya.
Jangan Lewatkan Menyantap Mi Soba dan Tempura
Mi soba dan tempura yang disajikan di salah satu restoran di dalam Edo Wonderland, Nikko, Jepang. Foto: TEMPO| Istiqomatul Hayati.
Perjalanan di Edo Wonderland kami akhiri dengan menyantap mi soba dan tempura. Kami memesan mi soba panas, sedikit menyalahi aturan lantaran yang otentik justru mi soba dingin. Tapi mi soba panas ini bisa menawar dingin di Nikko yang bersuhu 12 derajat saat kami datang di sana di musim gugur.
Untuk merasakan petualangan di Edo Wonderland, Anda harus merogoh 5.800 Yen untuk dewasa dan 3.000 Yen anak-anak. Harga ini membebaskan Anda seharian menjelajahi Kota Edo seharian. Tapi jika Anda membelinya setelah pukul 14 atau 13 saat musim dingin, tiket dipatok dewasa 5.000 Yen dan anak-anak 2.600 Yen.
Dari Tokyo, Anda bisa menggunakan kereta ke Stasiun Kinugawa lalu berganti bus sampai di parkiran Edo Wonderland.
Pilihan Editor: Mengunjungi Sendai, Kota dengan Sejarah Samurai di Jepang