Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Mencari Harmoni Timur dan Barat

Konser kedua Orkes Filharmonik Indonesia disambut meriah. Kalau ingin berkesinambungan, program musik bermutu ini memerlukan dukungan finansial dan manajerial yang baik.

8 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH repertoar klasik digelar dan terasa menggetarkan ruang berkapasitas seribu tempat duduk itu. Para pengunjung yang berbahagia, Rabu malam pekan lalu, tampak khidmat mendengarkan Overture from Opera The Barber of Seville. Inilah sebuah komposisi karya Giaocchino Rossini, komponis Italia yang masyhur pada abad ke-18. Selama 10 menit, penonton seakan dibawa ke suasana klasik Kota Roma, tempat Rossini mula-mula menciptakan Il Barbiere di Siviglia. Overture itu mengawali konser kedua yang digelar Orkes Filharmonik Indonesia (OFI). Nomor pembuka konser bertema Persembahanku itu mengandalkan suara biola dan selo dalam tempo panjang pendek, ditingkah suara perkusi dan drum yang mengentak pada akhir komposisi. Selama 90 menit, bertempat di ruang Bhirawa Wisma Bidakara, Jakarta Selatan, 70 musisi memadukan warna Timur dan Barat melalui lagu-lagu klasik Barat dan tradisional Indonesia. Di luar nomor pembukaan, semua nomor yang dimainkan adalah lagu tradisional Indonesia. Ada The Mystery of Roro Jonggrang, Wus Sumilir, Suwe Ora Jamu, hingga Sepasang Mata Bola. Dua nomor terakhir ini diaransemen oleh Direktur Musik OFI, Yazeed Djamin. Konser dengan harga karcis Rp 75 ribu itu ditutup dengan dua enchore: Widuri dan Redetsky March. Dominasi lagu tradisional Indonesia memang direncanakan sebagai ciri OFI di masa depan. Dalam konser kali ini, suasana tradisional itu lahir dari instrumen gamelan dan suara pesinden. Memainkan repertoar dari musik tradisional Indonesia adalah upaya OFI untuk merebut penonton dari dalam dan luar negeri. Dengan kata lain, menggelar musik tradisional adalah cara OFI menemukan "jati diri". Sedangkan bagi penonton asing, musik tradisional menjadi menu utama sekaligus daya tarik. Tentang program "gado-gado" itu, Yazeed Djamin berkata, "Jika kita mainkan lagu-lagu Mozart dan Beethoven di negeri-negeri Barat, siapa yang mau mendengar? Mereka punya orkes yang jauh lebih hebat." Karena itu, mereka harus menyajikan sesuatu yang unik sekaligus mengoptimalkan lagu-lagu negeri sendiri yang selama ini lebih sering disisihkan. Rencana yang bagus itu tak mudah dilaksanakan. Soalnya, bagaimana mengelola sebuah orkes yang mandiri secara manajerial maupun finansial. Sudah bukan rahasia lagi bahwa sampai kini belum ada satu pun orkes Indonesia yang sukses dan mampu mandiri serta menghidupi para musisinya. Orkes Simfoni Institut Seni Indonesia Yogyakarta (berdiri sebelum tahun 1984), Orkes Kamar Nusantara (1984), dan Indonesia Youth Orchestra (1997), semuanya tidak berumur panjang. Yazeed terlibat dalam pengelolaan ketiga orkes ini sebelum mendirikan OFI bersama Ilham Habibie pada April 1999. Padahal, jauh sebelum itu, pada era 1970, Orkes Simfoni Jakarta secara rutin menggelar berbagai gubahan musik Indonesia, setiap Kamis malam, di Studio V RRI. Berapa jumlah uang yang diperlukan untuk membiayai para pemain agar mereka bisa memusatkan kegiatan melulu untuk OFI? Ilham tidak menyebut angka. Yazeed secara kasar mematok, minimal harus ada Rp 100 juta per bulan, hanya untuk membayar 70 musisi. Salah satu kiat yang diupayakan Ilham dan Yazeed adalah dengan mencari sponsor tetap. Berbeda dengan musik dangdut, lagu-lagu klasik Barat hampir tidak mendapat tempat di hati masyarakat. Wajar sekali jika Indonesia lalu ketinggalan dibandingkan dengan negeri jiran. Singapura memiliki Singapore Symphonic Orchestra dan Malaysia amat bangga dengan Orkes Simfoni Kebangsaan. Keduanya bukan saja mampu membiayai para musisinya menurut standar internasional, tapi juga memiliki gedung konser yang sangat modern. Sedangkan bagi kita, gedung konser masih terpendam di angan-angan. Akan halnya OFI, orkes besar ini juga masih harus banyak belajar. Bukan saja dalam hal menemukan harmoni musik Timur dan Barat, tapi juga menanamkan sikap disiplin. Maksudnya, bukan semata-mata disiplin dalam bermusik tapi juga dalam menggelar sebuah orkes secara semestinya. Sebab, apa pun niatnya, nyanyian ulang tahun bagi Nyonya Ainun Habibie di tengah konser pekan lalu itu tampaknya terlalu dipaksakan. Penonton yang membayar tiket layak mendapat pertunjukan musik yang serius, tanpa embel-embel acara keluarga. Hermien Y. Kleden dan Dwi Arjanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus